View Full Version
Jum'at, 12 Jul 2019

Poligami Pilihan Dalam Ketaatan

FRAMING negatif terhadap praktik poligami sepertinya akan selalu dikumandangkan tanpa henti dari sejak dulu sampai sekarang. Poligami tetap menjadi isu seksi yang selalu membuat kebanyakan ibu-ibu sensi setengah mati karena poligami kerap dianggap menjadi kambing hitam atas segala kekacauan yang terjadi dalam mahligai rumah tangga.

Kini, masalah poligami kembali ‘hot’. Saat, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengusulkan legalisasi Poligami melalui Qanun hukum keluarga yang mengatur tentang perkawinan, perceraian dan perwalian. Menurut keterangan wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh, Musannif, qanun ini sebenarnya sudah dibahas sejak akhir 2018 lalu dan akan segera di bawa ke sidang rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada tanggal 1 Agustus 2019 mendatang. Alasannya, saat ini marak terjadi kawin siri (pernikahan sah namun tidak masuk dalam pencatatan negara), yang berdampak pada kesulitan mendapatkan legalisasi identitas dari istri dan anak yang lahir (tidak tercatat dalam KK dan akte kelahiran). Konsekuensinya jelas akan mempersulit urusan administrasi dalam pemenuhan hak-hak sebagai warga negara.

DPR Aceh memandang perlu mengusulkan legalisasi poligami bagi masyarakat. Karena dalam hukum Islam, poligami memang bukanlah perkara yang diharamkan. Usulan ini pasti akan memicu munculnya  pro dan kontra. Yang pro menyatakan bahwa aturan ini akan memudahkan pelaksanaan poligami dan pemberian hak yang sama bagi istri-istri dan anak-anak hasil poligami. Sedangkan bagi yang kontra langsung mengeluarkan bola panas bahwa jika poligami dilegalkan justru akan semakin memuaskan nafsu laki-laki.

Memang, pro kontra poligami muncul karena ada realita baik dan buruk yang diindera oleh masyarakat, di satu sisi poligami dapat memberi jaminan kemaslahatan bagi perempuan dan masyarakat, karena saat ini jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki dan dengan poligami akan memiliki peluang menikah dengan laki-laki muslim secara legal. Begitu juga laki-laki yang memang memiliki kebutuhan untuk mempunyai istri lebih dari satu juga akan bisa dilaksanakan secara legal. Hal ini justru akan dapat menekan perilaku yang menyimpang berupa perselingkuhan, zina, pelacuran bahkan perilaku LGBT.

Namun tetap tidak bisa dipungkiri adanya fakta-fakta buruk di tengah-tengah masyarakat, tentang praktisi poligami yang tidak berlaku adil dalam nafkah dan jadwal kunjungan, bahkan ada yang melakukan aktivitas kekerasan. Fakta-fakta buruk ini tentu menjadi “bola panas” bagi para pembenci syari’at islam untuk menyudutkan hukum Islam. Syariat Allah yang mulia dianggap perbuatan yang tak berperikemanusian. Poligami dinilai menimbulkan ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan, mengorbankan bahkan menelantarkan anak-anak. Kaum perempuan seakan dianggap rendah kedudukannya ketika harus berpoligami. 

Jika cara pandang terhadap poligami hanya berdasarkan pada fakta semata saja maka kontroversi pun akan selalu tetap ada. Padahal poligami bukanlah hal yang aneh dalam peradaban manusia, baik sebelum Islam datang maupun setelah Islam datang.

Lantas, formalisasi poligami apakah hanya berdasarkan fakta, keinginan manusia, atau aturan agama? Sesungguhnya, poligami justru sebagai salah satu solusi yang akan menyelesaikan masalah tanpa masalah jika kita mau berkiblat pada pemikiran islam.

Tapi, Kenyataannya kaum sekuler-liberal dengan ide-ide kebebasanya tentu akan terus menggaungkan opini penolakan terhadap poligami ini, mereka seakan-akan ingin tampil menjadi pahlawan kesiangan, ingin menolong dan memperjuangkan hak-hak perempuan tapi hanya sekedar tuntutan perasaan yang bersumber dari fakta-fakta kegagalan praktek poligami, tak ada sandaran hukum yang jelas yang menjadi pegangan dalam jualan opininya. Narasi indah tentang melindungi anak istri, disusun rapi untuk mencitra burukkan poligami. Padahal sejatinya, poligami justru pilihan  terbaik memuliakan perempuan dengan dinikahi, dinafkahi, dan diperlakukan adil antar istri.

Menentang Poligami sama halnya menentang syariat Islam. Hal ini juga berarti ingin menentang pada pembuat syariat  yakni Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika Allah yang Maha segalanya saja dipermasalahkan, maka sudah jelas standar yang akan mereka jadikan alasan kebenaran adalah hawa nafsu kebebasan.

Padahal, Banyak ditemukan dalil atau hujah baik di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang membolehkan seorang Muslim melakukan poligami. Meskipun demikian dalam praktiknya tidak mudah dilakukan oleh setiap orang karena ada beberapa persyaratan yang cukup berat. Pertama, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Kedua, harus semakin meningkatkan ketakwaannya kepada Allah. Ketiga, harus dapat menjaga para istrinya, baik agama maupun kehormatannya. Keempat, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir dan batin para istri dan keluarganya.

Baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai suri teladan telah mencontohkan-nya. Demikian pula dengan para sahabat Beliau. Sebagaimana yang tersurat dalam Alquran, Surah an-Nisa’ ayat 3. 

Allah Subhanahu wa ta’ala membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi dua, tiga atau empat wanita. Jika Sang Pencipta saja telah membolehkan, lalu atas kapasitas apa kita yang sebagai makhluk berani untuk menentang, menolak dan mengharamkan poligami?

Kaum muslimin tidak boleh terpengaruh dengan framing negatif tentang poligami. Kita harus menyadari konsekuensi dalam berakidah Islam yaitu tunduk taat sepenuhnya terhadap seperangkat hukum-hukum Allah  yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk dalam perkara poligami.

Memang, Sebagian besar keluarga lebih memilih hidup monogami. Dan sebagian kecil, memilih hidup poligami. Masing-masing ada konsekuensi dan tanggung-jawab tersendiri. Sebelum Nabi Muhammad diutus jadi nabi, seorang pria bisa menikahi beberapa wanita sekaligus dengan jumlah tanpa batas. Dan ini terjadi di seluruh dunia, bukan di Tanah Arab saja. Bahkan dua wanita bersaudara pun boleh dinikahi pada waktu yang bersamaan. Justru melalui risalah Islam lah, Nabi Muhammad mengajarkan pembatasan poligami dengan syarat-syarat yang sangat berat.

Islam membolehkan poligami bukan berarti mengharuskannya. Poligami adalah pilihan yang ditawarkan oleh Allah bagi hamba-Nya. Sebab, hukum poligami dalam kaca mata syara’ adalah mubah, bukan sunnah bukan pula wajib. Jadi Boleh dipilih bagi yang sanggup untuk melakukannya dan boleh juga tidak dipilih bagi yang tidak sanggup untuk melakukannya. Kebolehan poligami ini pun telah dipahami oleh para ulama salaf.

Sebagai aktivitas yang dibolehkan syara’, maka sudah pasti ia memiliki maslahat yang mampu menjadi solusi sehat berbagai persoalan dalam fakta kehidupan umat.

Agama Islam yang disyariatkan Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang aturannya sempurna dalam menjamin kemaslahatan bagi umatnya untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dalam parktek poligami banyak terdapat kemaslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun perempuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga kesucian,  memperbanyak keturunan, dan memudahkan bagi laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan. Bagi yang tidak mampu berpoligami karena khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita saja, karena Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami dengan menikahi dua sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak.

Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala, Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah, yang maha sempurna, Tentu memiliki banyak hikmah dan faidah mulia. Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan maksiat. Begitu pula dengan nasib suami-istri yang tidak memiliki keturunan karena istri yang mandul, sementara keduanya tidak ingin berpisah tapi  di sisi lain suaminya juga berharap dapat keturunan. Pada fakta semisal ini, maka poligami bisa menjadi solusi alternatif.

Terkadang, di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya sehingga takut terjerumus dalam lembah perzinahan. Maka masalah ini akan bisa terselesaikan dengan poligami.

Poligami merupakan sebab terjaganya kehormatan para wanita, dan terpenuhinya kebutuhan hidupnya berupa nafkah, tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat. Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.  

Hikmah agung poligami bagi seorang istri adalah ketika memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Tentu saja kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami. yang tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya saja yang tidak akan ragu sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah dalam semua itu, karena Allah sudah mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna. Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu tidak berat sebelah dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala hal yang di luar kemampuan manusia.

Kebolehan poligami dalam pandangan Islam tidak bisa diartikan sebagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Sebab Islam telah mengatur sedemikian rupa perihal pernak-pernik poligami ini. Semisal ancaman tegas bagi para lelaki yang mengabaikan salah satu istrinya. Islam juga menuntun para lelaki agar tidak berlaku dzalim terhadap pasangan hidupnya. Suami harus berbuat baik bahkan lemah lembut terhadap istri-istrinya. Bersikap adil, adalah syariat yang Allah Subhanahu wa ta’ala tetapkan bagi para lelaki yang menjalani poligami. Hingga sampai pada tuntunan untuk menikahi satu orang istri saja bagi laki-laki yang takut tidak mampu berbuat adil. Sebab, menikahi satu orang istri adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, (Taqiyuddin an-Nabhani. Sistem Pergaulan Dalam Islam, halaman 213).

Demikianlah kesempurnaan Islam dalam mengatur kehidupan. Segala syariat yang Allah adalah sebagai pelita bagi gelapnya berbagai problematika hidup manusia. Termasuk dalam hal poligami yang saat ini tengah dipertentangkan. Sebagai seorang muslim, kita tidak perlu teracuni dengan kerancuan opini yang tercipta. Cukuplah Allah dan Rasul-Nya sebagai pedoman segala amal-amal kita. Jika Allah Subhanahu wa ta’ala telah membolehkan poligami, maka kita tidak perlu mempersoalkannya.

Amalkan jika punya kesanggupan, dan tinggalkan jika memang dianggap memberatkan. Jangan mencela, menggugat apalagi sengaja mempermasahkan  dengan dalih-dalih pembenaran. Karena poligami adalah bagian dari syariat Islam. Mempersoalkannya berarti mencari perkara langsung dengan sang pembuat aturan yakni Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika tetap ingin mempermasalahkan syaria’at Allah, lebih baik permasalahkan mereka yang hidup serumah tanpa menikah, atau para pelaku LGBT. Karena ini sangat jelas bertentangan dengan Sila Pertama dan Sila Kedua Pancasila, juga bertentangan dengan ajaran semua agama di Indonesia.

Sejatinya, poligami menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah SWT. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan Islam, karena ditetapkan oleh Allah yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya. Maka, jika ingin selamat dunia akhirat maka berpegang teguh lah pada syariat Allah saja. Wallahu ‘alam.*

Normaliana, S.Pd

Pengajar di MTsN 2 HSU, Amuntai


latestnews

View Full Version