TIADALAH sesuatu yang ada pasti ia akan tiada. Sunatullah kehidupan telah mengajarkan kita pada sebuah realita tentang keberadaan makhluk. Sesuatu tidaklah akan selamanya bersama kita. Entah sesuatu itu berupa benda, rasa, bahkan orang-orang tercinta. Harta yang berlimpah tidaklah selamanya kita miliki. Rasa bahagia juga tidak selamanya menyapa seseorang. Bahkan keberadaan orang-orang tercinta, tidak akan selamanya berada di sisi kita. Semua senantiasa dipergilirkan oleh Allah Swt.
Tak terlepas dengan saya. Sebagai seorang ibu yang bercita-cita memiliki keturunan yang bisa menjadi bekal di akhirat, berharap mereka akan selalu mengalirkan pahala jariyah kepada orang tuanya. Maka, pergiliran rasa yang senantiasa akan Allah swt hadirkan adalah hal yang wajar. Mempersiapkan diri untuk menghadapi “rasa kehilangan” saat anak-anak mulai menapaki jalan kedewasaan. Melangkah menuju kehidupan di sisi lain yang tak lagi bersama ayah bundanya. Adalah hal yang harus dipersiapkan bagi seorang ibu yang merindu surga Allah Swt.
Dan itulah yang sedang saya rasakan. Ketika tiba saatnya saya harus melepas putri kedua saya untuk menjalani kehidupan barunya di pondok. Buncahan rasa sedih tak lagi mampu ditahan. Sungguh, Allah swt hadirkan rasa yang jauh berbeda. Saat dulu melepas si Sulung yang laki-laki, rasa sedih yang Allah swt hadirkan lebih tersuguh sebagai motivasi bagi saya untuk menempa jiwa lelakinya sebagai pemimpin. Sedang saat melepas si adik kedua yang perempuan, rasa sedih yang Allah swt hadirkan lebih dahsyat terasa, seperti “tercabutnya sesuatu” dari dalam diri saya sebagai seorang ibu. Masyaa Allah.. Jikalau bukan karena tekad untuk mengantarkan mereka ke jalan Surga. Tentulah waktu 6 tahun yang Allah swt hadirkan untuk membersamai mereka, akan terus saya tarik hingga di ujung ke-egoisan rasa yang saya inginkan.
Ternyata, tak cukup sebatas teori yang akan membuat jiwa kita kuat. Tetapi tempaan rasa yang senantiasa Allah swt hadirkan, merupakan kekuatan kedua yang akan membangun kokoh pribadi seorang mukmin. Ketika kekuatan nafsiyah_pola sikap/jiwabisa diwujudkan oleh muslim untuk memenuhi tuntutan kebutuhan jasmani dan naluri berdasar akidah Islam, mengolah rasa sesuai yang dimau Allah swt. Kemudian hal tersebut bersanding dengan aqliyah_pola pikir yang kuat, yang senantiasa berupaya menganalisa dan memahami realita kehidupan dengan sudut pandang halal dan haram. Maka pribadi muslim yang tangguh luar dalam akan terpancar indah dan mengagumkan seluruh makhluk.
Inilah yang kemudian membuat saya bangkit. Membuka kembali lembar penguat jiwa dari kekasih Allah swt., saat rasa sedih tak lagi mampu dibendung. Menapak tilas kisah kepergian seorang muslim yang meminta “bekal” terbaik dari manusia “terbaik”. Sebagaimana diriwayatkan Imam at-Tirmidzi rahimahullah, dari Anas ra, dia berkata: Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian/safar maka berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Zawwadakallahut taqwa (semoga Allah membekalimu takwa).” Lalu dia berkata, “Tambahkan lagi bekal untukku.” Beliau menjawab, “Wa ghafara dzanbaka (semoga Allah mengampuni dosamu).” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi bekal untukku, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.” Beliau menjawab, “Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada).”
Sungguh, sebaik-baik bekal adalah takwa. Allah swt berfirman “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Qs. al-Baqarah: 197). Dengan takwa, seorang hamba akan terjaga dan selamat. Setiap langkahnya terukur dari apa yang diwajibkan dan yang dilarang oleh Allah swt. Maka tak pantas bagi kita, saat telah ber-azzam berniat untuk kebaikan. Mengantarkan generasi terbaik umat menapaki jalan menuju takwa kepada Allah swt. Dengan harapan tertinggi bagi mereka supaya menjadi generasi pengawal dan pejuang kebangiktan Islam. Kemudian melemah dan kalah hanya karena seonggok rasa yang terus dibisikan oleh syaithan agar kita lepas dari tali kemuliaan.
Cukuplah kita bersandar dan berserah kepada Dzat Yang Maha Melindungi. Dzat yang tidak akan pernah menyia-nyiakan titipan. Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha Perkasa. Tenangkanlah dirimu wahai para bunda generasi penakluk Roma, bahwa jaminan Allah swt adalah jaminan terbaik dunia dan akhirat. Imam Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan, dari Abu Hurairah ra-, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku dengan mengucapkan, ‘Astaudi’ukallahalladzi laa tadhii’u wadaa-i’uhu‘ (Kutitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan pernah tersia-siakan apa yang dititipkan kepada-Nya).” (HR. Ibnu Majah. Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [16 dan 2547] dan Takhrij al-Kalim at-Thayyib [167], lihat Shahih Ibnu Majah [2/133]
Sungguh di heningnya kalbu, di penghujung gulitamya malam, saat terang fajar hendak Kau pergilirkan untuk menerangi dan menghangatkan semua makhlukMu. Kusandarkan seluruh pengharapanku padaMu. Duhai Dzat yang tidak akan pernah menyia-nyiapkan titipan. Kubisikan dengan getaran keimanan..”Yaa Rabb, kutitipkan putriku pada naungan Rahman dan Rahim-Mu. Dan satukanlah kerinduan jiwa kami pada ridlo dan JannahMu. Amin..!”
Ummu Asma