View Full Version
Ahad, 14 Jul 2019

Rithah binti Abdullah: Ketika Karier Bukan Demi Kesetaraan

 

Oleh:

Faiqoh Himmah*

 

APA yang dibanggakan wanita di era modern ini? Hampir pasti mayoritas sepakat jawabannya adalah karier. Di era emansipasi, karier bagi wanita ibarat sebuah “kewajiban modern” untuk meraih yang disebut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut doktrin feminisme (yang merupakan induk emansipasi), wanita berkarier lebih terlindungi dari ancaman kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Wanita karier lebih mandiri secara ekonomi, sehingga mereka mandiri dalam mengambil keputusan. Tidak melulu harus bergantung pada suami.

Secara kasat mata, kita menyaksikan ini sebagai sebuah kemajuan. Para wanita memiliki kesempatan luas untuk mengaplikasikan ilmu, menuangkan gagasan dan berlomba dalam kreativitas. Namun dampak turunan dari kemandirian wanita bernafaskan tuntutan kesetaraan ini amat mengerikan. Angka gugat cerai kian tinggi. Membawa dampak pada nasib generasi.

Lebih dari itu, paham kesetaraan telah menjauhkan wanita muslimah (sadar atau tidak) dari ruh Islam. Islam seringkali dituduh mengekang kebebasan wanita. Terutama dalam hal hukum bekerja/karier. Padahal sejatinya, bekerja adalah mubah saja bagi wanita. Bahkan dalam sejarah Islam, terdapat kisah mengagumkan. Di mana wanita menjadi tulang punggung keluarga, dan berbahagia dengannya. Bukan karena paham kesetaraan atau emansipasi ala feminisme. Namun karena dorongan iman.

Sebutlah Rithah binti Abdullah atau Zainab Ats-Tsaqafiyyah binti Abdullah bin Mu’awiyah Ats-Tsaqafiyyah, istri Abdullah bin Mas’ud. Ada yang mengatakan Ra’ithah, ada pula yang mengatakan bahwa namanya adalah Zainab, sedangkan Ra’ithah  adalah panggilannya. Ada juga yang mengatakan namanya adalah Zainab sedangkan Ra’ithah adalah panggilannya. Ada juga yang mengatakan bahwa Rithah adalah istri lain dari Abdullah bin Mas’ud.

Dan siapakah yang tak kenal Adullah bin Mas’ud? Salah seorang shahabat yang amat dekat dan dicintai Rasulullah saw. Abdullah bin Mas’ud begitu istimewa karena pemahamannya terhadap Al-Quran dan fiqih, juga karena kesalehan dan ketakwaannyaa. Hal ini diakui di kalangan para shahabat Nabi. Abu Musa Al-Asyari pernah berkata tentang  dirinya, “Jangan tanyakan tentang apapun kepadaku selama Ibn Mas’ud ada di antara kalian.”

Namun di tengah karunia dan keistimewaan yang Allah swt berikan kepada Abdullah bin Mas’ud, pernah dalam satu episode kehidupannya dia diuji dengan kemiskinan. Abdullah bin Mas’ud dikenal tidak memiliki harta dan lemah secara fisik. Sementara Rithah, istrinya adalah wanita yang mahir dalam bidang kerajinan tangan. Rupanya Allah menetapkan rizki untuk keluarga Abdullah bin Mas’ud mengalir dari kemahiran istrinya. Rithah menggunakan hasil pekerjaannya untuk menakahi suami dan anak-anaknya. Posisinya sebagai tulang punggung keluarga ini benar-benar menjadikannya sibuk sampai-sampai ia tak memiliki harta untuk disedekahkan. Sementara ia sangat berharap mampu bersedekah karena bersedekah itu mendatangkan ridlo dan pahala dari Allah swt.

Kegelisahannya ini mengantarkannya pada Rasulullah saw. Rithah mengadu pada Rasulullah saw, “Sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang memiliki keahlian dalam bidang kerajian tangan, lalu aku menjual hasilnya. Sedangkan aku, anakku dan suamiku tidak memiliki apapun. Sementara mereka selalu menyibukkanku sehingga aku tidak dapat bersedekah. Apakah aku akan mendapatkan pahala dari memberikan nafkah untuk mereka?”

Rasulullah saw kemudian bersabda, “Engkau akan mendapatkan pahala dari hal tersebut selama engkau menafkahi mereka. Maka berikanlah nafkah untuk mereka.”

Masya Allah… inilah kegelisahan seorang muslimah. Ia gelisah bukan karena suaminya miskin. Ia gelisah bukan menuntut kesetaraan. Ia gelisah bukan hendak menggugat cerai suaminya yang miskin. Ia gelisah bukan hendak menuntut peralihan kepemimpinan keluarga kepadanya karna ialah pemberi nafkah! Ia gelisah bukan menginginkan pertukaran peran dalam rumah tangga! Kemandirian ekonomi Rithah tidak lantas menjadikannya terdorong untuk menggugat itu semua. Ia gelisah semata mencari tahu, apakah Allah ridlo atas nafkahnya? Adakah pahala untuknya? Ia gelisah akan akhiratnya!

Kisah ini sungguh telah memberi teladan kepada para muslimah, Islam sama sekali tidak mempermasalahkan wanita bekerja. Bahwa hukum wanita bekerja adalah mubah. Dan Islam tidak menyia-nyiakan nafkah yang ia berikan pada keluarganya. Bahwa itu semua mendapat pahala dari Allah. Dan ini adalah kesetaraan yang hakiki.

Keluarga Abdullah bin Mas’ud adalah teladan, bagi siapa saja yang memahami bahwa dunia ini fana dan akhiratlah kelak tempat tinggal yang sebenarnya. Dunia adalah materi dan materi tidaklah abadi. Dunia adalah ladang untuk mencapai akhirat. *Mompreneur, pemerhati persoalan perempuan


latestnews

View Full Version