View Full Version
Rabu, 17 Jul 2019

Pengantin Pesanan, Beginikah Perempuan Diperlakukan?

 

Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd

 

"Wanita dijajah pria sejak dulu

Dijadikan perhiasan sangkar kumadu" (sabda alam)

Lagu di atas adalah salah satu lagu pemberontakan atas 'penjajahan' yang terjadi menimpa wanita. Sehingga kini bermunculan banyak gerakan emansipasi wanita, mendobrak adat menomorduakan wanita. Kesetaraan gender pun semakin didengungkan.

Benarkah wanita terjajah oleh pria? Terjajah oleh adat patriarki? Atau terjajah oleh gendernya?

Belum lama ini diberitakan 29 perempuan WNI menjadi korban pengantin pesanan di Cina. Ada 29 perempuan dan keluarganya ini dijanjikan akan dinikahi oleh orang kaya di Cina sana. Mereka dijanjikan penghidupan yang layak untuk sang perempuan dan keluarga di kampung halaman.

Awalnya memang mereka dapat sejumlah uang. Tapi sesampainya di Tiongkok sana, perempuan-perempuan ini mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan dari suami dan keluarganya. Mulai dari pemaksaan melayani suami padahal sedang datang bulan atau sakit. Pemaksaan bekerja dengan jam panjang di pabrik dengan upah yang dikuasai suami dan keluarganya. Hingga dihukum tidur di luar rumah tanpa bantal dan selimut juga tak diberi makan 3-5 hari jika melawan.

Ya, tidak ada hubungan kekeluargaan. Yang nampak justru lebih kepada perbudakan dan eksploitasi. Mana ada suami yang tega istrinya diperlakukan seperti itu? Mana ada mertua yang sejahat itu kecuali di sinetron? Sayangnya ini bukan sinetron, ini kenyataan pahit yang harus dihadapi sekitar 29 perempuan WNI yang jadi korban pengantin pesanan. Tiga diantaranya alhamdulillah berhasil kabur dan sudah berada di Indonesia, 26 orang sisanya masih dalam jeratan suaminya di Cina. Dan ternyata, fenomena pengantin pesanan ini tidak hanya menimpa negeri zamrud khatulistiwa saja. Negara-negara ASEAN lainnya ternyata juga mengalaminya. 

Fenomena ini terjadi disinyalir karena populasi perempuan di Cina yang lebih sedikit dari laki-lakinya, enggannya perempuan Cina untuk menikah, ditambah biaya 'mahar' yang mahal jika menikah dengan perempuan Cina. Adanya fenomena pengantin pesanan ini akan lebih dipermudah lagi transaksinya dalam balutan proyek One Belt One Road yang digagas Cina. Semua bentuk transaksi dari dan ke Cina akan sangat dipermudah, termasuk transaksi manusia.

Fenomena yang termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang ini terjadi karena cara pandang terhadap perempuan. Perempuan dipandang sebagai barang komoditas yang bisa diperjualbelikan. Inilah kacamata ala kapitalisme. Semuanya bisa dijual, semuanya termasuk komoditas asal menguntungkan si penjual. Ada supply, ada demand. Ada permintaan ada penawaran. Tak ada pertimbangan halal haram, atau bahkan Ridho Allah. Yang ada hanya untung rugi.

Inilah derita perempuan yang sesungguhnya terjadi. Kejadian ini bukan karena patriarki, juga bukan karena adat. Tapi karena kapitalisme yang memandang perempuan sebagai komoditas, tak ada bedanya dengan boneka, dan barang lainnya.

Beda halnya dengan Islam, Islam memandang perempuan sebagai makhluk mulia, tonggak peradaban dengan tugas utama ummu wa robbatul bayt: ibu dan pengurus rumah tangga. Dari rahimnya lahir generasi-generasi berkualitas yang diasuh dengan pondasi keimanan. Sehingga tak heran lahir generasi terbaik yang melegenda hingga kini. Seperti Imam Syafi'i, Muhammad Al Fatih, Umar bin Abdul Aziz, dan banyak lagi. Ada peran besar ibunda yang mendidik mereka. 

Jadi, yang seharusnya diperjuangkan bukanlah penghapusan patriarki, adat atau yang senada dengan hal tersebut. Tapi, yang harus dihapuskan adalah penerapan sistem kapitalisme. Ialah yang menjadi racun pemikiran, yang menggerakkan aktivitas manusia dengan landasan materi semata. Semua ditimbang dalam untung rugi ala manusia, ala pengusaha. Dan ini bertentangan dengan aturan dari Allah. Sehingga wajar jika kesengsaraan yang hadir. Akankah aturan seperti ini yang diinginkan untuk mengatur hidup kita? Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version