Oleh: Oktavia Nurul Hikmah, S.E.
(Komunitas Sinergi Muslimah, Gresik)
Eko Tugas Saputro (33) berhasil mengencani dan mencuri harta belasan ibu rumah tangga dengan mengaku sebagai anggota marinir. Satpam rusunawa di Gresik ini mengelabui para korbannya dengan memasang foto profil anggota TNI AL pada akun facebooknya (detik.com, 28/6).
Sementara itu, media sosial pun ditengarai menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian di Gresik. Sepanjang 2017 saja, jumlah perceraian di Gresik telah mencapai angka 1.854. Sebanyak 70 persen merupakan gugat cerai, yaitu istri yang menggugat cerai suami.
“Di era media sosial, setiap orang bisa berkomunikasi secara bebas dengan siapapun sehingga menjadi faktor perceraian akibat cemburu”, kata panitera muda hukum, Istiqami (tribunnews.com, 5/1/2018).
Kemajuan tekonologi informasi ibarat dua sisi mata uang. Jika digunakan dengan bijak, akan memberikan manfaat yang besar kepada penggunanya. Sebaliknya, ia pun bisa digunakan untuk melakukan kejahatan serta merusak kehidupan rumah tangga.
Beberapa kisah di atas hanyalah sedikit diantara kejadian-kejadian buruk yang menimpa rumah tangga tersebab sosial media. Ada juga kisah ayah yang kehilangan anak puterinya karena sang putri terlena bujuk pemuda via facebook dan media sosial lainnya. Seringkali berujung dengan pernikahan karena kecelakaan, atau bahkan pemerkosaan.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
[at-Tahrîm/66:6].
Media sosial menjadi salah satu tantangan besar yang harus dihadapi keluarga kekinian. Penggunaan media sosial yang tidak disertai keimanan dan ketaqwaan akan menjerumuskan pelakunya pada kemaksiatan dan api neraka. Bagaimana Islam menjawab permasalahan ini?
Pertama, penjagaan internal keluarga. Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah. Suami dan istri menjalankan kewajiban dan saling memenuhi hak semata-mata untuk meraih ridha Allah. Setiap permasalahan dalam rumah tangga diselesaikan dengan syariat.
Suami dan istri menjaga dirinya dari berbagai interaksi yang dilarang syariat, termasuk di dunia maya. Demikian pula orang tua mendidik anak-anaknya menjadi sosok beriman dan bertaqwa yang senantiasa takut melakukan kemaksiatan.
Teknologi informasi digunakan sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai sumber informasi dan memudahkan komunikasi. Namun, keluarga tidak keluar dari batasnya karena memahami sistem pergaulan dalam Islam. Khalwat, ikhtlat dan tabaruj merupakan hal yang dilarang di dunia nyata maupun maya.
Kedua, penjagaan masyarakat. Masyarakat Islami yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama akan melahirkan masyarakat yang gemar melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Itulah gambaran masyarakat yang tidak akan mendiamkan kemaksiatan. Kontrol sosial pun terbangun dengan mudah.
Ketiga, penjagaan negara. Negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan serta memberikan sanksi bagi warga negara yang melakukan pelanggaran. Selain itu, negara juga mengontrol berbagai konten di media-media yang beredar di masyarakat. Konten yang bersifat merusak seperti pornografi dan tayangan lainnya yang mempromosikan gaya hidup bebas dan hedonis tidak akan diizinkan tayang.
Saat ini kita dapati, media dipenuhi tayangan yang mengeksploitasi seksualitas wanita. Mulai dari iklan hingga tayangan berita menggunakan figur wanita cantik yang tidak menutup auratnya. Begitupun konten pornografi beredar bebas di internet. Peristiwa perzinahan dan perselingkuhan diviralkan.
Negara tidak melakukan kontrol optimal atas tayangan media. Sistem sanksi pun tidak mampu memberikan fungsi menjerakan dan mencegah. Kesemuanya melahirkan masyarakat yang tidak takut melakukan kemaksiatan.
Hal ini tidak terlepas dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang diterapkan di negeri ini. Agama tidak dibiarkan mengatur kehidupan secara keseluruhan.
Akibatnya, lahirlah aturan-aturan yang bersumber dari pemikiran manusia yang terbatas. Keterbatasan yang menciptakan kecacatan aturan. Terbukti, banyaknya aturan dan undang-undang yang diterapkan tidak mampu secara tuntas menyelesaikan berbagai permasalahan di tengah masyarakat.
Penerapan Islam kaffah adalah jawaban atas segala problematika umat. Sudah cukup manusia terjerembab pada keterpurukan yang disebabkan penerapan hukum buatan akal. Saatnya kembali pada fitrah diri sebagai hamba yang taat dan tunduk pada aturan-Nya. Wallahualam.