Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Ibu, adalah jawaban Rasulullah SAW. saat ada yang bertanya kepada siapa bakti seorang anak ditujukan. Bukan itu saja, ibu disebut hingga tiga kali untuk menunjukkan betapa istimewa sosok ini dalam kehidupan seorang anak manusia.
Sayangnya, keistimewaan dan mulianya sosok ibu direndahkan oleh seorang anak durjana. Viral video AP (21), warga Jalan Kedondong Surabaya, saat memukul kepala ibu kandungnya, DJT (60). Tak sampai semenit kemudian AP menginjak kepala sang ibu dengan kaki kirinya (beritajatim.com, 21/8/2019).
Kapolsek Tegal Sari, Kompol Rendy S. A, menjelaskan, perlakuan bejat AP viral lantaran direkam oleh keluarganya. Usai direkam, pihak keluarga memberitahukan ke rekannya. Hingga kemudian video tersebut viral di media sosial. Meski diperlakukan tak baik, sang ibu masih memaafkan dan berharap perilaku putranya itu berubah.
Ada apa dengan AP? Mengapa mudah meradang kemudian gelap mata dan tanpa berpikir panjang lagi menginjak kepala ibunya? Ibu adalah wanita yang sudah melahirkannya ke dunia, bertaruh nyawa untuknya. Ibulah yang merawat dengan kasih sayang, yang doanya mampu membelah gelapnya malam menembus Asry Allah agar sang anak selalu bahagia.
Lihatlah, apa balasannya? Kaki si anak durhaka menginjak kepala sang ibu. Perlakuan ini sungguh biadab! Sakit yang dirasa si ibu atas perlakuan anaknya jelas melebihi pembukaan jalan lahir di rahimnya agar sang anak terlahir. Tapi inilah ironinya.
Beratnya beban hidup di zaman ini memperparah tak stabilnya emosi si anak. Seakan semua persoalan bisa selesai dengan otot bukan dengan otak. Sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan telah sukses menciptakan zombi yang haus materi. Kebahagiaan hanya diukur dari terpenuhinya kebutuhan jasadiyah. Si ibu yang telah renta dianggap tak berguna sehingga bisa dianiaya sesukanya. Nauzubillah mindzalik.
Kehidupan yang aturannya cenderung anti Islam makin memburamkan apa arti keluarga dan orangtua. Persoalan umat bukannya berakhir, namun semakin tidak masuk akal. Rakyat bergelimpangan menahan beratnya hidup sementara penguasa bergelimang kemewahan. Mereka tak sadar bahwa mereka adalah panutan, contoh tak langsung bagi umat.
Tak adanya perlindungan yang hakiki terhadap hak ibu dan perempuan inilah yang kelak terus menerus terjadi. Sebab sekulerisme melahirkan sistem-sistem yang lain agar terus langgeng. Diantaranya demokrasi dan kapitalisme. Perempuan bukan lagi bermakna kehormatan, namun bisa jadi komoditas dan pelengkap. Ibu bukan pintu surga melalui ridhanya, namun disamakan dengan sesuatu yang hanya bisa diperah tenaganya guna menghasilkan materi.
Bukan kehidupan seperti ini yang kita inginkan. Bukan pula sosok durhaka terhadap ibunya ini yang diharap menjadi generasi pelanjut estafet peradaban. Bukan pula sistem rusak seperti saat ini yang mampu melindungi sosok ibu dan generasinya. Saatnya kita kembali kepada tatanan hidup yang telah terbukti kemampuannya, yaitu Islam bukan yang lain. Hanya saja, masih maukah kita menjadikan Islam sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan? Atau kita tetap nyaman hidup di sistem yang melanggengkan sosok durhaka dari zaman ke zaman? Akal sehat dan iman kita tentu tahu jawabannya. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google