Oleh:
Ainul Mizan*
CANTIK dan anggun. Itulah kesan pertama yang terlihat dari luar. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata mereka adalah seorang pria. Tentunya fenomena seperti ini sangat meresahkan, khususnya bagi kaum wanita.
Kalau pada fenomena waria tentunya mudah untuk dikenali. Dari penampakan luarnya gaya kewanitaannya under pressure. Berbeda dengan fenomena cross hijaber ini. Mereka memakai hijab lengkap dengan berkerudung.
Apapun motif dan alasannya, fenomena cross hijaber ini hukumnya haram. Jelas sekali bahwa Rasulullah SAW melaknat mereka yang menyerupai kaum wanita dari kalangan pria. Begitu pula, mereka yang menyerupai kaum pria dari kalangan wanita. Aktivitas menyerupai ini mencakup pula pakaian dan aksesorisnya serta tindak tanduk pembawaannya.
Oleh karena itu, fenomena cross hijaber ini mencerminkan adanya krisis identitas seksualitas yang akut. Padahal manusia itu diciptakan hanya dalam 2 jenis kelamin, yakni pria dan wanita. Masing – masingnya memiliki karakteristik khas baik dari segi bentuk fisiknya maupun faktor psikologisnya. Konsekwensinya kewajiban atas pria berbeda dengan kewajiban yang ada pada wanita.
Kaum pria dengan kemaskulinannya mendapat kewenangan kepemimpinan atas kaum wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada kaum pria. Sedangkan kaum wanita dengan potensi kefeminimannya, diberikan tanggung jawab mengandung, melahirkan, dan menyusui anak – anaknya. Kaum wanita diposisikan sebagai lambang kehormatan sehingga ketika ia berada di area publik, ada kewajiban untuk mengenakan pakaian tertentu yang bisa menutup semua auratnya, yakni memakai kerudung dan jilbab layaknya baju kurung yang lebar.
Pembedaan dan penegasan identitas yang tegas antara kaum pria dan wanita ini harus sudah beres diberikan kepada anak – anak di dalam proses pendidikan mereka di rumah maupun di sekolah. Di dalam kegiatan olahraga. Tentunya kegiatan olahraga yang dilakukan sesuai dengan jenis kelaminnya.
Di samping itu, di dalam memilihkan jenis permainannya juga disesuaikan dengan jenis kelaminnya. Bermain mobil – mobilan, bermain perang – perangan tentunya cocok bagi anak – anak yang berjenis kelamin pria. Bermain boneka, bermain masak – masakan misalnya, tentunya cocok bagi anak – anak yang berjenis kelamin wanita.
Dengan demikian sejak dini mereka sudah dipersiapkan untuk memikul peran dan tanggung jawabnya sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Yang perlu digaris bawahi adalah proses pembedaan dan penegasan identitas seksualitas ini harus selalu dijiwai dengan asas keimanan. Selain berbuah kebaikan, dengan selalu melandaskan pada keimanan akan melahirkan rasa disiplin murni karena ia selalu yakin bahwa setiap gerak – geriknya selalu mendapat pengawasan dari Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Di samping itu, fenomena cross hijaber ini tidak bisa dilepaskan dari peran dan tanggung jawab negara. Sangsi yang tegas akan bisa memberikan efek jera bagi para pelakunya.
Menurut MIUMI Kota Bekasi bahwa maraknya fenomena cross hijaber ini ada indikasi upaya untuk stigmatisasi negatif terhadap Islam (www.republika.co.id, 15 Oktober 2019). Maraknya gerakan hijab seperti yang momen ajakan berhijab di Kota Karawang (13 Oktober 2019). Dalam momen itu dibagikan 1000 hijab secara gratis. Gerakan sadar berhijab ini bisa menjadi pemicu bagi munculnya upaya memberikan citra buruk bagi kewajiban berhijab bagi muslimah. Oleh karena itu, negara harus secara intensif untuk memberikan edukasi yang benar terhadap kewajiban berhijab bagi wanita, yang dapat mencegah terjadinya kejadian kejahatan kepada kaum wanita.
Hasil dari edukasi negara tersebut bahwa masyarakat memiliki filter tersendiri guna menghadang laju tren cross hijaber. Mereka akan peka terhadap fenomena penyimpangan ini. Mereka akan segera melaporkan kepada negara tatkala mereka mencurigai dan mengetahui fenomena cross hijaber di tengah-tengah mereka.
Sementara bagi kaum wanita secara khusus, mereka bisa bersikap hati-hati. Kaum wanita tidak secara sembrono melakukan cipika-cipiki terhadap orang yang belum mereka kenal. Dengan demikian mereka bisa terhindar dari kemungkinan kejahatan dari cross hijaber. Dalam hal ini, patutlah dicermati mengenai ajaran Islam yang melarang orang yang sesama jenis untuk tidur dalam satu selimut. Termasuk mandi bersama sesama jenis dalam satu kamar mandi dan aturan batasan aurat yang boleh dilihat oleh mereka yang sesama jenis. Walhasil, kaum wanita akan bisa terhindar dan terjaga dari fenomena cross hijaber ini.
Kesimpulannya bahwa ketika kebaikan sudah menjadi tabiat dan budaya dalam sebuah masyarakat, tentunya akan mampu menggusur setiap pelanggaran yang terjadi. Dan untuk menyempurnakan kebaikan di tengah masyarakat, maka asas keimanan itu menjadi mutlak adanya.*Penulis adalah guru tinggal di Malang, Jawa Timur