Oleh:
Dian Salindri, anggota Tim Komunitas Muslimah Menulis
HATI wanita mana yang tidak hancur mendapati suaminya menikah lagi dengan wanita lain, alias berpoligami, tak minta izin pula, rasa hati bagaikan layangan putus yang tak tentu arah, eh kok jadi nyambung ke situ. Sebenarnya bukan ranah saya untuk ikut berkomentar mengenai polemik poligami, karena Alhamdulillah saya belum punya pengalaman soal ini. Namun saya tergelitik untuk menulis perihal poligami ini, karena ternyata banyak yang salah paham tentangnya dan memiliki persepsi yang negatif tentang pologami.
Bagi saya pribadi, belum sanggup untuk merelakan suami menikah lagi. Tapi saya tak menghujat poligami, karena itu merupakan syariat dari Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an, Surah An-Nisa ayat 3. Dikatakan dalam ayat tersebut bagi yang mampu bersikap adil maka nikahilah 2, 3 atau 4, jika tidak mampu sebaiknya jangan. Hukumnya pun tidak wajib bukan pula sunah, tapi mubah. Allah menghadiahkan pahala bagi lelaki yang mampu berbuat adil dan mampu membina rumah tangga yang diridhai oleh Allah, juga mampu mendidik istrinya dengan baik. Bagi wanita yang dimadu Allah sediakan syurga baginya, karena ujian ini sangatlah berat dan Allah Maha Mengetahui bahwa wanita adalah makhluk yang halus perasaannya maka untuk menghiburnya Allah berikan surga bagi mereka yang bersabar.
Sebenarnya poligami bukanlah syariat baru, justru Islam hadir untuk membatasi dan mengatur masalah poligami ini. Seperti yang kita ketahui para raja dan penguasa terdahulu di Eropa, Afrika dan Asia telah melakukan praktik poligami, tidak hanya empat tapi bisa sampai belasan ataupun puluhan. Maka Islam pun datang sebagai agama yang paripurna dan satu-satunya yang mengatur poligami agar tidak ada hati yang terzalimi, jadi tak heran kalau poligami ini diidentikan dengan agama Islam.
Kenapa Islam membolehkan dan mengatur urusan poligami? Sejatinya poligami bertujuan untuk membantu wanita yang belum menikah agar dimudahkan, wanita fakir yang tidak mampu dan juga janda agar ada seseorang yang menafkahinya. Perlu diketahui di antara istri-istri Rasulullah setelah Khadijah hanya dua saja yang masih gadis, yang lainnya adalah janda yang bahkan umurnya ada yang lebih tua dari beliau. Jadi masih banyak tuh yang ingin istri keduanya lebih muda, lebih cantik karena tidak paham hikmah dari poligami tersebut.
Lalu apa saja syarat bagi suami untuk boleh berpoligami? Saya coba ringkaskan: Pertama, mampu bertindak adil. Sudah tentu Allah adalah yang Maha Adil, manusia susah sekali untuk bertindak demikian, apalagi menyangkut perasaan. Membagi rasa cinta dengan adil sungguh tak mudah, namun adil yang ditekankan di sini adalah adil dalam pembagian nafkah dan kunjungan. Sekali saja sang suami bertindak zalim, maka bisa mengantarkannya ke tepian jurang neraka. Makanya karena sulit Allah memberi batasan, tidak boleh lebih dari empat istri. Susah enggak tuh?
Kedua, menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jangan sampai ibadah menjadi terlalaikan tersebab sang suami terlalu sibuk mencari nafkah untuk menafkahi para istrinya. Niatkanlah menikah adalah bentuk ibadah kepada Allah SWT, bukan hanya sekadar pemuas syahwat saja.
Ketiga, dilarang berpoligami dengan dua wanita yang bersaudara. Carilah wanita dari garis keturunan yang berbeda dengan istri pertama. Keempat, mampu membimbing dan mendidik para istrinya untuk hidup di jalan yang sesuai dengan syariat Islam. Suami juga harus mampu menjaga kehormatan istri-istrinya. Karena tanggung jawab suami itu tak hanya urusan dunia, ini juga tanggung jawab urusan akhirat. Tuh kan enggak mudah.
Jadi, apakah diperlukan izin dari istri pertama? Dalam hal ini jika suami tidak meminta izin kepada istri pertama, pernikahan itu akan tetap sah. Namun suami tersebut sudah melakukan perbuatan yang zalim kepada istri pertamanya dan pastinya menyakiti perasaannya. Istri adalah teman seumur hidup, yang selalu mendampingi suaminya. Jika istri masih belum baik, kewajiban suamilah meluruskan akhlaknya, jangan pandang istrimu hanya dari kekurangannya saja, hargailah perasaannya. Bagi suami yang merasa mampu berpoligami tetaplah meminta izin dan berdiskusi dengan sang istri sebelum mengambil keputusan. Pilihlah wanita yang akan menjadi istri kedua wanita yang berakhlak baik, yang tidak akan menyakiti istri pertama dan tentunya ia juga harus paham hikmah poligami.
Bagi sang istri pun, meski berat cobalah untuk bersabar. Jika kita melihat dan menilai bahwa suami mampu untuk berpoligami, maka dampingilah ia untuk tetap bisa bertindak adil. Meyakinkan diri bahwa ini adalah sebuah takdir yang telah Allah gariskan untuk kita, atau juga merupakan ujian yang bisa mengangkat derajat kita, karena Allah menjanjikan surga bagi istri yang mampu bersabar dalam polemik ini.
Dan bagi calon istri kedua, hormatilah istri pertama, karena bersamanyalah calon suami-mu itu merintis kehidupannya dimulai dari nol. Dialah yang membersamai calon suami-mu dikala susah, jadi jangan abai dengan perasaannya, masuklah dalam biduk rumah tangga itu dengan kehormatan dan bukan dengan cara-cara yang keji.
Jika engkau sebagai suami yang belum mampu maka tahanlah untuk tidak berpoligami. Tundukanlah pandanganmu, lihatlah istrimu, ingatlah segala keistimewaannya, ingatlah ketika ia selalu menemanimu dikala susah dan senang, didiklah ia di jalan Allah agar engkau bisa menikmati rumah tangga yang tenang, penuh cinta dan penuh rahmat.
Jadi, jikalau sekarang banyak yang memiliki pandangan negatif terhadap hukum poligami dan mendiskreditkannya, seakan peraturan ini tidak adil bagi kaum wanita, karena masih banyak yang belum paham betul polemik poligami itu adalah pandangan yang tidak tepat. Jelas ini bukan salah syariatnya, salah pelakunya yang belum paham betul menjalani polemik poligami, jadi jangan membencinya apalagi menghujatnya karena sama saja dengan menghujat Allah.
Terakhir, sebagai seorang wanita, seorang istri dan seorang ibu sampai saat ini saya belum mampu untuk dipoligami, tapi saya tetap bersiap diri dengan membekali diri saya dengan ilmu-Nya dan banyak berdoa agar hati ini tetap dalam iman Islam, jika Allah menakdirkannya begitu, saya bisa ikhlas dan bersabar menjalaninya. Yang pasti saya tidak membenci hukum poligami, saya kurang setuju dengan praktik poligami tanpa didasari dengan ilmu, dijalani hanya sebagai pemuas nafsu dan dilakukan tanpa mengedepankan adab.*