Oleh: Ragil Rahayu, SE
Anda berencana menikah tahun depan? Wah, sepertinya anda dan calon pasangan harus siap mengurus sertifikat nikah. Sebelum menikah, calon pasangan suami istri diharuskan mengikuti kursus pra-nikah. Setelahnya, ada semacam sertifikat yang diberikan oleh Negara. Calon pengantin nantinya akan mendapatkan materi terkait edukasi kesehatan agar pasangan mantap menjalani kehidupan pasca menikah. Termasuk di dalam materi adalah kesehatan reproduksi, karena pasangan suami istri nantinya akan memiliki anak.
Jadi, sahabat muslimah setuju nggak dengan kebijakan ini? Publik terbelah menyikapi hal ini, ada yang setuju dan ada yang tidak. Masalahnya, dengan adanya sertifikat, terkesan menikah menjadi dipersulit. Padahal di dalam Islam, nikah itu harus dipermudah. Misalnya dengan adanya keutamaan wanita yang maharnya murah, sehingga memudahkan lelaki untuk menikahinya. Pihak yang setuju sertifikat nikah memandang bahwa menikah membutuhkan ilmu, sehingga dengan adanya kursus pra-nikah pasangan akan lebih siap mengarungi bahtera rumah tangga.
Pernikahan adalah bagian dari syariat Islam. Sudah menjadi tugas bagi negara untuk mengurusi pernikahan, dengan tujuan memberikan kemudahan bagi rakyat dan mewujudkan sakinah dalam setiap rumah tangga. Yang tidak boleh adalah jika negara mempersulit pasangan yang ingin menikah. Ini bahaya, karena akan memicu terjadinya pergaulan bebas dan zina. Materi kursus pra-nikah juga patut dipastikan hanya berasal dari tsaqafah Islam, tidak teracuni pemikiran asing, misalnya keadilan dan kesetaraan jender.
Namun, mewujudkan rumah tangga yang sakinah tak bisa hanya melalui kursus pra-nikah yang sangat kilat. Meski sertifikat nikah ada dalam genggaman, tak ada jaminan sakinah pasti dirasakan. Maka tak cukup sertifikat nikah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah.
Apa saja yang harus disiapkan pengantin agar meraih keluarga sakinah? Berikut ulasannya :
1. Niat dan Tujuan yang Benar dalam Menikah
Niatkan menikah untuk ibadah, maka semua aktivitasnya di dalamnya akan bernilai pahala. Meski sekadar saling berbalas senyum antara suami istri. Tujuan menikah adalah untuk mewujudkan keharmonisan (sakinah) sehingga keluarga menjadi institusi terkecil dalam melaksanakan aturan Allah SWT. Sekaligus tujuan jangka panjang yakni membangun peradaban Islam nan gemilang.
2. Memahami Hak dan Kewajiban Suami-Istri
Hubungan suami istri akan harmonis jika keduanya memahami hak dan kewajiban masing-masing. Suami menjadi qawwam (pemimpin) yang harus ditaati selama perintahnya tak menyalahi syariat. Para suami juga harus bersikap ma'ruf pada anak-istrinya. Salah satunya adalah ma'ruf dalam memberi nafkah. Sementara istri adalah pengatur rumah tangga dan ibu bagi anak-anaknya. Ibu wajib menjadi al madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anaknya. Suami dan istri didorong untuk ta'awun (saling tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa.
3. Komunikasi Efektif.
Sesuatu yang baik kadang dipandang buruk jika komunikasinya tidak efektif. Keluarga akan bisa harmonis jika terjalin komunikasi yang sehat. Maka pillow talk, waktu minum teh dan meja makan menjadi momen-momen untuk saling berbagi cerita dan cita. Rasulullah SAW adalah komunikator ulung. Saat istrinya Aisyah cemburu maka beliau tidak menyalahkannya, namun justru memuji keistimewaan-keistimewaan istrinya tersebut.
4. Kecukupan materi.
Kemiskinan bisa menjadi sumber konflik rumah tangga. Maka rumah tangga yang sehat finansial akan relatif lebih tenang dari konflik. Meski harta bukan perkara terpenting, namun kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) adalah perkara yang mutlak harus dipenuhi. Maka suami harus ringan kaki dalam mencari nafkah. Agar ekonomi keluarga selamat dari krisis. Untuk mewujudkan kestabilan ekonomi keluarga ini, butuh iklim ekonomi yang kondusif. Negara bertugas menjadi raain (pengurus) dan mas'ul (penanggung jawab) terhadap terpenuhinya kebutuhan pokok warganya.
5. Kehidupan Sosial yang Islami
Istilah pelakor kini ngetren. Adanya pelakor akan menggerus keutuhan rumah tangga. Maka negara harus mewujudkan tatanan sosial yang Islami. Yaitu dengan melarang tabarruj, khalwat, ikhtilat, pergaulan bebas dan zina. Juga menyediakan fasilitas umum yang memisahkan laki-laki dan perempuan agar tidak campur baur (ikhtilat), misalnya kereta khusus perempuan, kolam renang khusus perempuan, dan sebagainya. Negara juga mewajibkan semua perempuan untuk menutup aurat, ditemani mahram jika haji, umrah dan safar lebih dari sehari semalam, serta hukum tata pergaulan lainnya.
6. Pengaturan Media
Kasus perceraian karena medsos kian meningkat. Meski medsos adalah teknologi yang bebas nilai, namun kontennya sarat nilai-nilai tak Islami yang bisa meruntuhkan bangunan keluarga. Maka medsos harus diatur agar tidak menjadi mudharat. Tayangan di televisi pun demikian juga.
7. Fiqh Masuk dalam Kurikulum Pendidikan
Para remaja harus dibekali aqidah dan hukum Islam sebelum mereka baligh. Ini akan efektif jika masuk dalam kurikulum sekolah. Sehingga begitu baligh mereka siap mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah SWT dan juga manusia. Termasuk juga siap menikah, hamil dan mendidik anak karena semuanya itu adalah juga ibadah.
8. Sanksi bagi Pelanggar
Jika dalam rumah tangga ada yang berbuat zalim, negara harus memberi sanksi yang menjerakan. Agar tak terulang di kemudian hari. Sekaligus sebagai perlindungan bagi anggota keluarga yang lain.
Jika semua hal di atas dilakukan dengan istiqamah, insyaAllah sakinah akan mewujud dalam rumah tangga. Karena sakinah itu harus dirasakan secara nyata, bukan sekadar stempel di atas kertas. Wallahu a'lam bishshawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
*) Pengasuh MT Mar'atus Shalihah Sidoarjo