Oleh:
Mia Annisa
Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi
DALAM pernikahan, perceraian adalah momok yang menakutkan. Perceraian bisa menghantui siapa saja tak peduli apakah yang telah puluhan tahun membina rumah tangga atau pernikahan yang masih seumur jagung. Kondisi kehidupan yang serba tidak pasti menyebabkan tak banyak pasangan yang lulus melewati ujian pernikahan. Pernikahan yang diharapkan sekali seumur hidup akhirnya kandas di tengah jalan.
Miris memang. Pernikahan tak sesakral dulu, wanita bisa kapan saja bebas melakukan gugat cerai kepada suaminya begitu pun sebaliknya. Tingginya perceraian menjadi kekhawatiran tersendiri mengingat angka perceraian di Indonesia tertinggi se-Asia Pasifik.
Merespon hal itu Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menerbitkan wacana Sertifikasi Pernikahan. Menurutnya, program sertifikasi pernikahan akan diperuntukkan bagi pasangan yang hendak menikah. Calon pengantin nantinya diwajibkan mengikuti kelas atau bimbingan pra-nikah supaya mendapatkan sertifikat yang selanjutnya dijadikan syarat perkawinan.
"Jadi sebetulnya setiap siapa pun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga," kata Menko PMK Muhadjir saat ditemui di Sentul International Convention Center, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019) lalu. (https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2019/11/16/).
Sekalipun wacana ini dalam tahap persiapan calon pasangan nikah dibuat was-was sebab mereka yang tidak mengikuti program pembekalan pra-nikah ini tidak boleh menikah. Rencana sertifikasi pernikahan berupa mempersiapkan website yang dapat diakses masyarakat dengan mengikuti kelas bimbingan diupayakan bisa direalisasikan mulai tahun depan.
Sertifikasi perkawinan ini dicanangkan turut bekerja sama dengan Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Sertifikasi Pernikahan, Solutifkah?
Wacana Sertifikasi Pernikahan tak melenggang begitu saja. Kemunculannya menuai pro kontra di masyarakat. Pasalnya kebijakan ini dinilai justru memberatkan bagi calon pasangan nikah dari segi prosedur. Dari upgrading pra-nikah sebagian KUA beberapa wilayah telah melakukan kelas ini.Tapi yang jadi persoalannya kendala dana. Bukan tidak mungkin jika di kemudian hari pasangan nikah akan dipungut biaya untuk mengikuti kelas tersebut tentunya ini akan semakin memberatkan. (https://www.vice.com/).
Sistem ini juga dianggap berbelit-belit dari segi administrasi walaupun bertujuan untuk membangun ketahanan keluarga secara ekonomi, sistem reproduksi dan agama. Dikhawatirkan malah membuka ruang perzinahan baru. Bagaimana tidak, pasangan nikah bukan diberikan kemudahan tetapi disodori oleh segenap peraturan-peraturan yang rumit dan merepotkan.
Sekilas rencana pemerintah nampak solutif dalam menyelesaikan masalah perceraian agar pasangan siap menjalani biduk rumah tangga ke depannya. Namun jika diperhatikan lebih detail strategi ini seperti tambal sulam, ingin memberikan solusi tetapi mendatangkan masalah baru.
Upgrading pernikahan sebenarnya hanyalah solusi parsial, menyelesaikan konflik di permukaan tapi melupakan persoalan akar. Jika pemerintah menuding alasan ekonomi dan agama sebagai biang keladi perceraian di Indonesia harusnya pemerintah sadar diri. Negaralah yang mestinya bertanggung jawab atas itu semua.
Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya. Harta milik umat (sumber daya alam dan fasilitas-fasilitas umum) benar-benar dikelola oleh negara dengan begitu akan menyerap tenaga kerja kemudian hasilnya akan dikembalikan lagi kepada rakyat. Tidak boleh harta tersebut apabila diserahkan pengelolaannya kepada swasta atau asing sehingga akan memandulkan kemapanan ekonomi keluarga.
Pemerintah berupaya keras menjadikan agama sebagai satu-satunya pedoman tidak hanya dalam rangka membangun ketahanan keluarga tetapi negara juga mengambilnya sebagai aturan baku. Selama negara menempatkan agama terpisah dalam kehidupan tentu prinsip sekulerisme ini tetap akan menjadi ekses runtuhnya bangunan pernikahan.
Sekulerisme telah banyak menempatkan pernikahan dalam prahara. Aktivitas campur baur laki-laki dan perempuan harusnya terpisah dalam segala kondisi secara umum nyatanya dilanggar. Padahal Islam jelas menetapkan di dalam sejumlah nash syariah. Ketentuan ini berlaku dalam kehidupan khusus seperti di rumah-rumah atau yang sejenisnya. Atau dalam kehidupan umum seperti di pasar-pasar, di jalan-jalan umum dan sejenisnya. (Nizham Ijtima`, hal 51).
Kaidah ini diambil demi mencegah khalwat, ikhtilat, munculnya konten-konten pornografi dan pornoaksi. Negaralah satu-satunya asas penyelenggara demi menjaga keutuhan rumah tangga. Wallahu`alam.*