Oleh: Keni Rahayu, S.Pd
"Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa", begitulah lirik sebuah lagu. Betapa besar kasih sayang ibu yang rela melakukan apa saja demi anaknya.
Namun, lirik lagu ini tak sejalan dengan apa yang dialami seorang balita di Kebon Jeruk, Jakarta. Seorang ibu menggelonggongi anaknya (ZNL, 2,5) dengan air galon agar si anak cepat gemuk. Cara itu dilakukannya agar sang suami tidak sampai menceraikan dia karena anaknya tersebut terlihat kurus. Nahas, balita tersebut akhirnya tewas. Kisah serupa banyak sekali terjadi bila saja kita mau menuliskan satu demi satu akan 'kekejaman' seorang ibu. Fitrah keibuan yang lembut seolah telah hilang dalam dirinya.
Perempuan sejatinya adalah tombak kebangkitan bangsa. Dari rahim seorang perempuan, akan lahir tunas-tunas bangsa yang berakhlak agung calon pejuang kebangkitan. Namun realitanya, perempuan hari ini telah dilucuti naluri keperempuanannya. Pada masa sekolah, siswa perempuan tidak pernah diajari tentang pelajaran yang menumbuhkan naluri keperempuanan. Siswa fokus diajari materi kognitif dengan target sebatas bisa menjawab soal-soal ujian.
Setelah lulus, perempuan diarahkan mengisi posisi-posisi strategis di kantor. Dengan isu kesetaraan gender, perempuan didorong untuk aktif berkarir di luar rumah.
Setelah menikah, yakni menjadi istri dan seorang ibu, naluri perempuan hanya dirasakan ketika ia hamil dan melahirkan. Urusan mengurus anak bebas, bisa dititipkan pada nenek, baby sitter, atau bahkan tempat penitipan anak.
Setelah cuti melahirkan selesai, ia kembali berkarir di luar rumah sebagaimana sebelum ia mempunyai anak. Bisa dibayangkan ya, anak seperti apa yang tercetak tanpa pendampingan langsung dari sang ibu?
Selain demi eksistensi, tuntutan ekonomi sering menjadi alasan perempuan merajut karir di luar rumah. Suami di-PHK. Mau tidak mau perempuan harus bekerja demi menyeimbangkan ekonomi keluarga.
Di sisi lain, sifat konsumerisme seakan dipupuk dan dijaga. Bukannya masak, selama ada uang, katering pun tak jadi masalah. Bukannya mencuci baju, selama ada uang, laundry bisa diandalkan. Bukannya merawat anak sendiri, selama ada uang, nany bisa jadi solusi.
Yang demikian sudah menjadi lingkaran sistem dalam kehidupan hari ini. Ada pergeseran nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Inilah nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme. Segala sesuatu ditakar berdasarkan nilai materiil. Tidak ada yang tidak bersifat komersil.
Bukankah Allah telah memuliakan perempuan dengan tugasnya yang agung sebagai al-umm wa rabbatul bayt. Dialah yang memiliki tanggung jawab mulia dalam urusan kerumahtanggaan. Dia akan tetap mulia di dalam rumah sesuai fitrah.
Aktivitas perempuan keluar rumah tetap dalam koridor syara' atas ridho suami. Berkerja tak masalah, asalkan tugas utamanya di rumah telah tertunaikan. Dan pastinya perempuan bukan tumpuan satu-satunya untuk mencari nafkah.
Allah juga mengatur, mencari nafkah adalah kewajiban suami. Sayangnya, hari ini lowongan pekerjaan lebih mendukung perempuan dibandingkan suami. Hingga akhirnya suami dan istri bertukar peran. Lahirlah istilah bapak rumah tangga. Istri bekerja, suami menjaga rumah.
Dari sini, perlu peran negara dalam banyak aspek.
Pertama, kurikulum pendidikan yang harus mempersiapkan laki dan perempuan menemui fitrahnya di masa mendatang. Perempuan mengurus kerumahtanggaan, laki-laki mencari nafkah.
Kedua, menyediakan lapangan pekerjaan, dalam hal ini lebih banyak memberdayakan laki-laki ketimbang perempuan.
Ketiga, menjaga akidah umat. Dengan terjaganya akidah, insyaAllah kejadian ibu bunuh anak bisa dicegah, dibarengi dengan menghilangnya faktor-faktor lain yang menjadi pemicunya. Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google