Oleh:
Fita Rahmania S.Keb. Bd
KONTROVERSI tentang kewajiban memakai hijab kembali menyeruak ke permukaan. Pembahasan yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Namun, opini tentang tidak wajibnya hijab bagi seorang muslimah kian masif dan butuh penerangan agar tidak semakin liar dan menyalahi ketentuan syara'. Sebut saja Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang sudah berani menyulut api di tengah masyarakat. Dikutip dari tempo.id, Sinta mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab.
Ia pun menyadari bahwa masih banyak orang yang keliru mengenai kata jilbab dan hijab. Ia mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Quran jika memaknainya dengan tepat. "Enggak juga (semua muslimah harus memakai jilbab), kalau kita mengartikan ayat dalam Al Quran itu secara benar," kata Sinta.
Selama ini ia berusaha mengartikan ayat-ayat Al Quran secara kontekstual bukan tekstual. Sinta juga mengakui bahwa kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Al Quran karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi. Hal ini juga diiyakan oleh sang putri Inayah Wahid yang berada di sebelahnya pun setuju dengan pendapat Sinta. Menurut dia, penafsir memang harus memiliki berbagai persyaratan untuk mengartikan ayat-ayat Al Quran. "Enggak boleh orang menafsirkan dengan sembarangan," kata Inayah.
Dalam menyikapi hal ini tentu kaum muslimin harus jeli dan cerdas. Melihatnya dengan kacamata yang benar, yakni Islam itu sendiri. Islam memiliki sumber hukum yang jelas yakni Al-Qur'an, Hadist, Ijma, dan Qiyas. Dalam menafsirkan sumber hukum tersebut tentu tidak dapat sembarangan, terdapat aturan yang berlaku. Salah satu Ulama bernama Syaikh muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Jadi, kita harus mengetahui tafsir Al-Qur’an, akan tetapi bagaimana kita meruju’ (menjadikan referensi) dalam menafsirkan Al-Qur’an ?. Pertama: Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, kemudian: Tafsir Al-Qur’an dengan As-Sunnah, kemudian: Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dalam urusan syar’I, kemudian: Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan ulama tafsir dari Kibar/pembesarnya Tabi’in yang telah mempelajari tafsir dari para sahabat – Rasyidayyalhu ‘anhum” (binothaimeen.net)
Serta Syaikh Manna’ Al-Qhaththan rahimahullah juga menyebutkan:"Dan tafsir Al-Qur’an dengan sebatas pendapat dan ijtihad tanpa dasar adalah perkara yang diharamkan, dan tidak boleh dilakukan, Allah ﷻ berfirman: “dan Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kamu miliki ilmunya” (QS. Al-Isra’: 36), dan Rasulullah ﷺ bersabda: Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an berdasarkan pendapatnya atau tanpa ilmu maka hendaklah ia mengambil tempat di neraka, dan dalam lafazh yang lain : “Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya walaupun ia benar maka sesungguhnya ia telah salah”
Dengan demikian dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an tentang perintah berjilbab dan menutup aurat juga harus bersandar pada tafsir yang shohih serta berlandaskan dasar yang kuat. Salah satu ayat Al-Qur'an mengenai perintah jilbab, Al Ahzab: 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam Nawawi rahimahullahberkata, “Disebutkan dalam Al-Bayan, jilbab adalah khimar (penutup kepala) dan izar (kain penutup badan). Al-Khalil berkata, “Jilbab itu lebih lebar dari khimar dan lebih tipis dari izar.” Al-Mahamili berkata, “Jilbab adalah izar (kain penutup badan) itu sendiri.” Ibnul A’robi juga mengatakan bahwa jilbab adalah izar (kain penutup badan). Ada pula ulama yang mengatakan, “Jilbab adalah baju panjang.”
Ulama lainnya berkata bahwa jilbab adalah baju panjang yang menyelimuti baju bagian dalam wanita. Pendapat terakhir inilah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i, Imam Asy-Syairozi dan ulama Syafi’iyah lainnya. Itulah yang dimaksud dengan izar oleh para ulama yang diungkapkan di atas seperti dari Al-Mahamili dan lainnya. Izar yang dimaksud di sini bukanlah kain sarung.” (Al-Majmu’, 3:125). (rumaysho.com)
Tafsir yang benar dan lurus terhadap suatu hukum Islam hendaknya dilindungi secara penuh. Namun, sayangnya fakta yang terjadi saat ini malah sebaliknya. Negri ini dengan asas demokrasi-liberalnya justru menyuburkan cuitan-cuitan berbau kebebasan. Ranah aqidah mulai diusik, dimaknai sesuka hati, tak suka maka ditinggalkan. Jika penguasa hanya diam menyikapi hal ini, maka masyarakat muslimlah yang harus membela aqidahnya sendiri. Sedikit salah maka perlu segera diluruskan, agar tidak semakin besar dan kebablasan. Hingga Islam pun jauh dari pemeluknya.*