Oleh: Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi
(Pengajar Sekolah Anak Tangguh Mataram)
Nama Sinta Nuriyah tiba-tiba viral di sosial media gara-gara pernyatannya yang menyebutkan bahwa perintah berjilbab tidak wajib. Tempo.co (16/1/2020) melansir pernyataan istri Alm. Gus Dur itu dengan mewacanakan bahwa penggunaan jilbab baru muncul 10-15 tahun belakangan. Ditambah lagi, menurutnya istri para pendiri NU atau kyai zaman dulu tidak berjilbab. Lanjutnya, publik seharusnya berhati-hati memahami definisi jilbab secara tekstual maupun kontekstual.
Opini fatal yang sengaja disebarkan tokoh liberal bukan sekedar membahayakan pemikiran umat, justru lambat laun memunculkan keraguan ekstrim bagi masyarakat muslim. Pemikiran sesat yang dilempar ke masyarakat ini tentu menjadi bumerang. Tidak hanya menyesatkan kaum wanita dengan ide rusak, justru memperparah racun yang terlanjur menggerogoti benak kaum muslimin. Lama kelamaan para wanita akan beramai-ramai melepaskan kain penutup auratnya.
Beberapa contoh bermunculan, mulai dari putri Presiden RI ke-4, Inayah, yang pamer kebanggaannya menanggalkan kain kerudung penutup kepala setelah bertahun-tahun merasa terkekang dengan aturan beragama yang disebutnya budaya lokal. Tidak sedikit netizen berkomentar negatif menanggapi keputusannya, tetapi cukup banyak yang malah terpengaruh oleh pemberitaan tersebut. Salah satu sosok yang ikut disorot adalah putri Quraisy Syihab, yakni Najwa Shihab. Akhirnya sentimen publik merajalela, sebagian menyayangkan ketokohan para ulama’ ini menjadi virus mengerikan yang seolah mengiyakan bahwa terjadi perbedaan pandangan terkait makna jilbab.
Baik didefinisikan secara letterleg, maupun dimaknai dengan konteks per ayat, deretan tokoh liberal feminis memang hobi menggoreng syariat islam. Mulai dari memandulkan hukum penggunaan cadar, meradikalisasi pemakaian celana cingkrang, jenggot, hingga terakhir menumbuhsuburkan kampanye anti jilbab. Dengan sengaja, cendekiawan muslim yang menamakan diri mereka islam moderat tengah menyamarkan nilai keislaman di Indonesia. Maka tampak jelas kecacatan berpikir yang mereka kampanyekan ini telah mewabah ke setiap kepala.
Setelah sukses menyebar islamofobia di negeri muslim, incaran para tokoh feminis selanjutnya adalah merusak rahim peradaban umat islam. Seorang wanita, yang sejatinya merupakan tonggak sebuah keluarga, akan dihancurkan kehidupannya mulai dari merusak keyakinan mereka terhadap beragama. Pergeseran norma agama termanipulasi dengan standar budaya, diubah dengan ukuran adat istiadat, diganti dengan tolak ukur kepuasan logika. Setiap ketentuan yang berdasar dari aturan islam, perlahan dipinggirkan demi memuaskan naluri “freedom of speech”.
Lalu mengapa liberalisasi kian menggerogoti sendi kehidupan umat? Sederhana menjawabnya, persis bak senjata biologis nan mematikan. Sekali tepuk, bukan dua tiga yang jadi korban, akan lebih banyak lagi pemikiran umat diperangi secara halus. Perang pemikiran bagaikan hantu yang tak kasat mata, bahkan umat tidak lagi sadar dirinya dalam keadaan sakit yang parah. Ghazwul fikr (perang pemikiran) oleh para penganut paham liberalisme dan feminisme makin menjalar dan menyerang benteng keimanan setiap umat, wabilkhusus islam.
Mereka gelontorkan isu radikalisasi di tengah kaum muslimin yang menginginkan perubahan fundamental. Yang berkerudung lebar dicap teroris, yang menjalankan ajaran islam dengan sungguh-sungguh diberi label radikal, hatta yang memperjuangkan pelaksanaan aturan islam pun dilabeli ekstrimis. Penyematan jahat ini dilakukan semata untuk menaik rating-kan presentase ide kebebasan beragama, bebas bertingkahlaku, serta bebas tanpa mengenal batasan. Pada akhirnya prinsip “bebas tanpa batasan” menciderai norma agama sebagai standar tertinggi.
Mendudukkan Perkara Jilbab Dengan Benar
Dalam memahami dalil yang bersumber dari Al Qur’an, tidak seharusnya logika remeh temeh didahulukan membelakangi adab terhadap firman Allah. Sebagai seorang intelektual yang meyakini bahwa proses belajar dimulai dengan berpikir dan mengkaji, seharusnya yang dikedepankan adalah kajian menyeluruh dan mendalam, barulah menghasilkan kesimpulan yang benar. Oleh karenanya, apabila ingin dipandang intelek dalam pengkajian islam, tentunya setiap orang harus adil menguliti konteks jilbab. Jika tidak, mendudukkan perkara jilbab selamanya tidak akan pernah selesai.
Tidak pernah ada perbedaan di kalangan ulama’ mu’tabar sekalipun mengenai perintah menutup aurat bagi muslimah. Yang terjadi justru kampanye anti jilbab bermunculan dari orang yang sama sekali tidak paham fiqih atau tafsir Qur’an, lalu dengan serampangan menyebutkan terdapat perbedaan cara pandang di kalangan ulama’. Mari kita sepakati, bahwa kecacatan fakta yang mereka buat-buat sama artinya menebarkan fitnah ke ulama’. Tuduhan keji yang tidak berdalih bisa dimanfaatkan banyak orang untuk membuat framing negatif terhadap syariat islam.
Oleh karena itu fakta tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum, sebab itulah Allah menurunkan berbagai aturan kehidupan bagi manusia agar kita punya pedoman yang tepat. Apabila fakta yang mandul terus dikonsumsi, akibatnya kaum wanita akan menelan mentah-mentah kesimpulan yang salah. Untuk itulah islam hadir mendatangkan sumber hukum yang layak dijadikan acuan, tidak berdasar asumsi, tapi ajeg. Sehingga porsi baku dan patennya hukum berjilbab tidak bisa difleksibelkan berdasarkan perubahan zaman dan waktu.
Baiklah, kita boleh mengonsumsi fakta kekinian bahwa ada beberapa muslimah yang tidak menutup aurat, padahal mereka berasal dari garis keturunan orang alim, sholih, dan terpandang. Ingatlah, pengkonsumsian fakta ini bukan pembenaran untuk membuka aurat dan lantas menjadikan fakta nyeleneh sebagai subjek hukum. Meskipun putri Raja Arab, selama mereka tidak menjadikan hukum Allah sebagai asas dalam beramal, maka perbuatan tersebut tertolak secara pasti. Dengan demikian tidak halal bagi siapapun mencontoh kesalahan orang lain, lalu sembrono menghalalkan perbuatan banyak orang untuk buka-bukaan dengan auratnya.
Jilbab bukan soal budaya kearab-araban, bukan juga masuk dalam ranah pilihan yang bisa diambil atau ditinggalkan. Jilbab tidak bisa dipukul rata sama dengan helm, kalau pakai helm tidak kena razia, sebaliknya dengan memakai helm menyelamatkan kepala dari benturan keras. Sama sekali bukan di situ letak penempatannya, karena jilbab adalah suatu kewajiban yang tidak bisa dipilah atau dipilih menuruti hawa nafsu masing-masing orang. Oleh karena itu, sebuah kewajiban harus disikapi dengan ketaatan dan ketundukan yang totalitas.
Allah perintahkan setiap wanita yang beriman menghulurkan jilbab ke seluruh tubuh, dengan alasan syar’i agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu. Sehingga tidak boleh ada alasan untuk menolak kewajiban berjilbab dan berkerudung, lantas seenak hati mengubahnya jadi hukum yang lain. Padahal semestinya ketaatan kepada Allah berdasar dalil syara’, bukan bergantung logika abal-abal. Sudah sewajibnya kepercayaan tentang wajibnya jilbab hanya berdasar pada sumber yang qoth’iy (bisa dipertanggungjawabkan kepastian sumber dan dalilnya).
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Terjemah Qur’an Surah Al Ahzab: 59)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,” (Terjemah Qur’an Surah An Nur: 31)