View Full Version
Sabtu, 01 Feb 2020

Perempuan Sang Arsitek Peradaban

 

Oleh:

Tri Wahyuningsih, Pegiat Literasi dan Media

 

DEWASA ini, tak mudah bagi perempuan untuk tetap menjalankan fitrahnya dengan baik dan sempurna. Pesatnya arus globalisasi, infomasi, budaya, ekonomi, pendidikan, sosial hingga serangan pemikiran yang tak kunjung henti, telah menarik perempuan menjauh dari fitrah yang sesungguhnya, termasuk para muslimah. Tak sedikit kemudian muslimah yang terjebak dalam arus globalisasi ala barat. Yang tak khayal menjerumuskan muslimah dalam kebahagiaan semua dan menghinakan para  perempuan.

 

Eksploitasi Perempuan Atas Nama Pemberdayaan

Menjadi seorang muslimah adalah sebuah anugerah yang patut di syukuri. Sebab, identitas ini akan mengantarkan pada keistimewaan serta kemuliaan yang telah Allah tetapkan bagi perempuan muslim. Namun, dalam era Kapitalis ini perempuan dianggap bernilai guna ekonomis yang dapat ‘menghasilkan’ bagi dirinya, keluarga serta Negara. Dalam pandangan mereka (baca: Kapitalis), perempuan modern yang bahagia ialah perempuan mandiri secara finasial. Dia bekerja, memiliki jenjang karir yang cemerlang, memiliki uang serta mampu membayar semua tagihannya tanpa membebani Negara dan tidak membutuhkan laki-laki sebagai penopang kehidupannya.

Fenomena ini terjadi dibelahan bumi manapun, termasuk negeri-negeri dengan mayoritas muslim pun tak luput dari arus eksploitasi ini. Opini perempuan bekerja dan mandiri adalah perempuan cerdas dan maju. Sedangkan, perempuan yang hanya di rumah atau ibu rumah tangga saja adalah perempuan yang kurang berdaya guna, ini dengan sangat gencar terus diaruskan kepada kaum perempuan, termasuk muslimah.

Barat amat menyadari potensi perempuan. Melalui lembaga-lembaga perempuan dibawah naungan PBB – UNWomen, barat memaksa setiap Negara untuk memposisikan perempuan sebagai pemeran penting dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan Negara. Kaum feminisme – pegiat gender- berdalih bahwa pemberdayaan perempuan akan membuat posisi perempuan mandiri dan tak di diskriminasi. Perempuan diposisikan sebagai ‘pahlawan’ ekonomi keluarga karena menggunakan pendapatannya demi menyejahterakan keluarganya. Bahkan tak sedikit pula perempuan berperan sebagai tulang punggung keluarga (pencari nafkah utama). Demi menggapai tujuan itu, barat menciptakan definisi ‘kekerasan ekonomi ringan’. Dimana, seseorang terkena delik itu bila sengaja menjadikan perempuan bergantung secara ekonomi atau tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Barat sangat bersungguh-sungguh  menyebarkan propaganda agar perempuan semakin nyaman masuk dalam pusaran eksploitasi ini, berbalut kata-kata manis semisal pemberdayaan perempuan.

Faktanya, gagasan pemberdayaan perempuan hanyalah kedok untuk menjadikan perempuan sebagai mesin pencetak uang bagi perekonomian suatu bangsa. Sebab, secara logika semakin banyak perempuan yang berkerja, pendapatan keluarga semakin meningkat pula dan secara otomatis daya beli pun kian meningkat. Selain itu, dengan jeratan manis ala kapitalis, perempuan terperangkap dalam gaya hidup konsumtif. Sebagian besar gaji dihabiskan hanya untuk memenuhi selera konsumtif, gila belanja barang mahal dan trend, gonta-ganti handphone dan ‘melepas lelah’ di pusat perbelanjaan pada akhirnya menjadikan perempuan khususnya muslimah menjauh dari kemuliaan dan terjebak dalam pusaran eksploitasi di arus globalisasi ekonomi.

Derita Perempuan Sebab Pemberdayaan Ala Kapitalis

Menjadikan perempuan sebagai pemeran utama untuk mendongkrak devisa dan perekonomian suatu bangsa adalah sebuah kesalahan. Hal itu, seperti memindahkan pemenuhan kebutuhan keluarga hingga Negara ke pundak perempuan. Padahal, gerakan pemberdayaan perempuan pun sebenarnya adalah usaha untuk menutupi kegagalan system kapitalis dalam memberikan kesejahteraan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Di seluruh dunia, kapitalis telah gagal memberikan lapangan pekerjaan yang memadai dan mampu menampung seluruh laki-laki untuk bekerja hingga bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dan keluar dari kemiskinan.

Banyak perempuan yang merasa tak mempunyai pilihan lain selain bekerja, meski hanya sekedar menjadi buruh pabrik yang menyengsarakan tubuh. Proyek eksploitatif berbajukan jargon pemberdayaan pada kenyataannya amat merugikan dan memberikan beban derita yang berat untuk kaum perempuan. Mulai dari sebutan ‘benalu’ bagi perempuan yang tak bekerja, perempuan yang menyusahkan bila banyak anak hingga derita paling memilukan ialah ketika perempuan kehilangan fitrahnya yakni menjadi ibu dan manajer rumah tangga. Mereka rela ataupun dipaksa meninggalkan anak-anak dan keluarga dari pagi hingga malam, bahkan sampai meninggalkan kampung halaman, tak pulang bertahun-tahun demi menjalankan peran ekonomi (mengejar materi).

Belum lagi, mereka harus menggadaikan idealismenya, sebagai makhluk Allah yang seharusnya hakekat hidupnya ialah menghamba pada Allah, bukan materi. Dan terus kritis dalam menegakkan kema’rufan, yang seringkali bertentangan dengan kemasalahan ekonominya. Padahal, hingga habis harta, waktu dan tenaga pun tak akan membawa mereka keluar dari masalah kemiskinan yang dihasilkan oleh system kapitalis. System yang hanya menguntungkan para pemilik modal, dan menjadikan rakyat hanya sebagai buruh bahkan budak tak berharga selain tenaganya untuk menghasilkan uang, menambah pundi-pundi kekayaan para Kapital.

“Perempuan dalam pusaran eksploitasi kapitalis pada akhirnya tetap menderita dan kehilangan fitrahnya

Perempuan Mulia Dalam Islam

Islam sebagai agama paripurna yang Allah swt turunkan untuk mengatur seluruh kehidupan manusia telah memberikan kedudukan istimewa dan mulia untuk kaum perempuan. Islam memberikan peran yang sesuai dengan sifat alamiahnya. Menjadi pengasuh dan pendidik anak-anaknya, mereka bertanggung jawab menyiapkan keturunannya sebagai pemilik masa depan. Dari tangan-tangan perempuan diharapkan lahir generasi yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan, kekhilafahan keuda yang diamanahkan Rasulullah saw, sekaligus pejuang serta penjaga agama Allah. Inilah amanah politis yang harus ditunaikan yakni peduli terhadap segala urusan umat dan berjuang menegakkan agama Allah. Inilah medan perjuangan yang hakiki, yang mampu menempatkan perempuan dalam posisi mulia, jauh dari kepentingan eksploitatif.

Islam memuliakan perempuan dengan mewajibkan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya juga anak-anaknya oleh suami, kerabat laki-laki atau Negara. Islam memastikan jaminan finansial perempuan sebagai seorang anak, istri dan ibu. Allah SWT menegaskan, “Laki-laki adalah pelindung dan pengelola perempuan….” (TQS. An-Nisa ; 34). Dan dalam system Islam, laki-laki akan disediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya sehingga mereka tak kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Bahkan bila suami ataupun kerabat tak mampu menafkahi maka Negara akan langsung menafkahi keluarga miskin melalui lembaga baitul maal sehingga sang ibu pun tetap dipaksa untuk tak bekerja. Dan dibiarkan fokus menjalankan perannya dengan baik yakni melahirkan generasi-generasi yang kokoh nan tangguh. Selayaknya seorang arsitek membangun sebuah bangunn indah nan kokoh, merancang bagaimana seharusnya bangunan itu berdiri tegak, begitu pun perempuan ialah arsitek peradaban. Yang dengan kecerdasan dan visi besarnya  mampu melahirkan generasi-generasi pembangun peradaban gemilang dan dirindukan.*


latestnews

View Full Version