Oleh:
Anna Ummu Fadan
PERSELINGKUHAN kini menjadi hal biasa di tengah-tengah masyarakat. Bahkan di kalangan para polikus pun juga tak mau kalah. Dari tahun ke tahun persoalan ini semakin meningkat. Bagai fenomena gunung es. Terlepas apa yang menjadi penyebab terbesar maraknya perselingkuhan, tak jarang berakibat di meja hijau.
Setidaknya ada dua faktor yang bisa menjadi penyebab perselingkuhan:
1. Faktor Internal
Pernikahan pada dasarnya menyatukan dua insan manusia yang mempunyai kepribadian, sifat, karakter, latar belakang keluarga, dan problem yang berbeda satu sama lain. Karena itu, tidak mengherankan jika kehidupan dalam rumah tangga kadang tak seindah harapan. Ketidakmatangan masing-masing pasangan ikut mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga. Maka apabila masing-masing tidak berusaha memperbaiki diri atau malah justru mencari hiburan dan kepuasannya sendiri, maka pengikat di antara keduanya semakin pudar.
Jika ini tidak segera diatasi, cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri. Sikap apatis, pasif, atau bahkan cuek abis bisa menjadi indikasi adanya masalah dalam kehidupan pernikahan seseorang.
Selanjutnya adalah masalah emosional yang banyak dialami oleh suami-istri, baik yang baru maupun yang sudah lama menikah, membuat hubungan cinta kasih akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami-istri masih tinggal serumah, secara emosional terdapat jarak yang membentang.
Dengan pudarnya cinta dan kasih sayang, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di antara pasangan yang bisa mendorong salah satu atau keduanya mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhannya, kenyamanannya akan berbagi cerita dari A-Z bukan karena kepuasan seksualitas.
Sebagaimana kisah sahabat saya yang harus berakhir di meja hijau karena berawal chat via sosial media, cinta lama bersemi kembali kini pun tumbuh dengan sering interaksi di sosmed. Kata orang jawa "waiting tresno jalaran soko kulino".
2. Faktor Eksternal
Didukungnya konten-konten yang mengharuskan mau gak mau terjebak dengan fasilitator dari pemerintah melalui media sosmed. Terlebih gadget. Dan paradigma masyarakat akan kenyamanan besama dengan pasangan hanya kepuasan hasrat seksual semata. Sehingga wajar apabila salah satu pasangan melihat laki-laki atau perempuan di luar sana lebih cantik, ganteng, bahkan kaya raya. Lupa dengan yang di rumah. Miris.
Kiat Menghindari Perselingkuhan Secara Islam
Pertama, menjalankan kehidupan rumah tangga secara Islami. Pernikahan sebagai sebuah ibadah memiliki sejumlah tujuan mulia. Memahami tujuan itu sangatlah penting guna menghindarkan pernikahan bergerak tak tentu arah yang akan membuatnya sia-sia tak bermakna.
Tujuan-tujuan itu adalah untuk mewujudkan mawaddah dan rahmah, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketenteraman hati (sakinah) (QS ar-Rum: 21), melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa, mempererat tali silaturahmi, sebagai sarana dakwah, dan menggapai mardhatillah (ridhoNya).
Jika tujuan pernikahan yang sebenarnya dipahami dengan benar, Insya Allah akan lebih mudah bagi suami-istri meraih keluarga sakinah dan terhindar dari konflik-konflik yang berkepanjangan. Sebab, kesepahaman tentang tujuan pernikahan sesungguhnya akan menjadi perekat kokoh sebuah pernikahan.
Islam memandang pernikahan sebagai "perjanjian yang berat (mîtsâq[an] ghalîdza)" (QS an-Nisa’ [4]: 21) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajibannya.
Islam mengatur dengan sangat jelas hak dan kewajiban suami-istri, orang tua dan anak-anak, serta hubungan dengan keluarga yang lain. Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukannya masing-masing.
Pernikahan haruslah dipandang sebagai bagian dari amal saleh untuk menciptakan pahala sebanyak-banyaknya dalam kedudukan masing-masing melalui pelaksanaan hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Misalnya hak pencari nafkah, persoalan pendidikan, dll tentu akan dengan sangat mudah menyulut perselisihan dalam keluarga yang bisa berpeluang untuk terjadi perselingkuhan.
Kedua, atasi berbagai persoalan suami-istri dengan cara yang benar (islami) dan tidak melibatkan orang (lelaki atau perempuan) lain. Dalam kehidupan rumah tangga, tidak mudah menyatukan dua pribadi yang berbeda dan dengan latar belakang yang berbeda. Konflik menjadi suatu hal yang mudah terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Kesabaran merupakan langkah utama ketika mulai muncul perselisihan. Islam memerintahkan kepada suami-istri agar bergaul dengan cara yang baik, serta mendorong mereka untuk bersabar dengan keadaan masing-masing pasangan, karena boleh jadi didalamnya terdapat kebaikan-kebaikan.
Jika dibutuhkan orang ketiga untuk membantu menyelesaikan persoalan, maka jangan sekali-sekali melibatkan lawan jenis yang bukan mahramnya seperti teman sekantor, tetangga, kenalan, dan sebagainya. Awalnya mungkin hanya sebatas curhat, tetapi tanpa disadari, jika sudah mulai merasa nyaman persoalan mungkin justru tidak terpecahkan. Yang terjadi justru munculnya rasa saling ketergantungan dan ketertarikan. Hal ini bisa menjadi awal dari kedekatan di antara mereka dan peluang untuk terjadinya perselingkuhan. Na'udzubillah.
Ketiga, menjaga pergaulan dengan lawan jenis di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangan Islam hubungan antara pria dan wanita merupakan pandangan yang terkait dengan tujuan untuk melestarikan keturunan, bukan semata-mata pandangan yang bersifat seksual.
Maka dari itu, Islam menganggap berkembangnya pikiran-pikiran yang mengundang hasrat nafsu seksual pada sekelompok orang merupakan keadaan yang membahayakan. Oleh karenanya, Islam memerintahkan pria dan wanita untuk menutup aurat, menahan pandangannya terhadap lawan jenis, melarang pria dan wanita ber-khalwat, melarang wanita bersolek dan berhias di hadapan laki-laki asing (nonmahram).
Islam juga telah membatasi kerjasama yang mungkin dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan umum serta menentukan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam dua keadaan, yaitu: lembaga pernikahan dan pemilikan hamba sahaya.
Keempat, poligami. Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan sunah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm, "Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum Muslim, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka berpandangan demikian.”Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah Swt. telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 3).
Poligami bisa menjadi solusi di tengah kehidupan pergaulan lawan jenis seperti sekarang ini. Anehnya, poligami justru banyak ditentang, sementara perselingkuhan dibiarkan merajalela. Praktik poligami yang salah di tengah-tengah masyarakat tidak boleh menjadi alasan untuk menolak poligami. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam.
Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan muncul akibat adanya anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Itu terjadi karena kampanye masif yang dilancarkan kalangan antipoligami.
Sebaliknya, jika istri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Allah Swt. telah memberikan peringatan yang tegas kepada para suami yang berpoligami (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 129).
Intinya, Allah Ta’ala memerintahkan kepada seorang suami untuk menjauhkan diri dari kecenderungan yang berlebihan kepada salah seorang istrinya dengan menelantarkan yang lain. Hal ini juga diperkuat dengan sebuah hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra. (HR Ahmad).
Kelima, memberikan hukuman bagi para pelaku perselingkuhan. Pada hakikatnya perselingkuhan sama dengan perzinaan. Dalam pandangan Islam seorang yang berselingkuh/berzina mendapatkan hukuman yang sangat berat. Jika belum menikah, pelakunya harus dicambuk 100 kali, dan untuk yang sudah menikah harus dirajam sampai mati.
Hukuman yang berat ini akan menjadi pelajaran bagi pelakunya hingga menimbulkan jera sekaligus sebagai penebus dosa atas perbuatan yang dilakukan. Jika hukuman ini diterapkan, seseorang akan berpikir panjang sebelum melakukan perselingkuhan.*