View Full Version
Jum'at, 13 Mar 2020

Kesetaraan Gender: Perempuan Berdaya atau Diperdaya?

 

KEMASIFAN pengusung feminis mengkampanyekan kesetaraan gender menunjukkan keberhasilan. Sejak 8 Maret ditetapkan sebagai Peringatan Internasional Women's Day (Hari Perempuan Internasional), berbagai upaya terus mereka tempuh demi memastikan keadilan dan keseimbangan posisi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, serta menggapai kesadaran yang lebih besar terhadap adanya diskriminasi.

Bila dirunut kembali, penetapan tanggal perayaan tersebut bermula pada 1908, ketika 15.000 perempuan melakukan aksi demo di New York, AS, menyuarakan hak mereka tentang peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja.

Kemudian pada 1910, Pemimpin 'Kantor Perempuan' Clara Zetkin mengajukan sebuah gagasan untuk menetapkan Hari Perempuan Internasional yang menyarankan setiap negara merayakan satu hari dalam setahun untuk mendukung aksi tuntutan perempuan.

Gayung bersambut, gagasan itu diamini Konferensi perempuan dari 17 negara yang beranggotakan total 100 perempuan. Sehingga disepakati 19 Maret 1911 sebagai perayaan pertama Hari Perempuan Internasional di Austria, Jerman, Denmark dan Swiss.

Berpuluh tahun setelahnya, tepatnya pada 1975 PBB menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Dimana sejarah hari tersebut tak lepas dari gerakan kaum buruh wanita yang melawan diskriminasi di tempat kerja.

Sekilas, perjuangan kesetaraan gender memang tampak menguntungkan kaum perempuan. Bayangkan, ditengah tekanan ekonomi sekarang ini, juga godaan role mode hedonis yang sering dipertontonkan, perempuan mana yang tidak tergiur mencicipi hasil kesetaraan gender yang diusung oleh kaum feminis. Yang dengan itu, mereka berharap tak lagi dianggap kaum rendahan dan termarjinalkan dari kehidupan publik.

Padahal, banyak sekali hal yang patut dikoreksi dari gempuran opini menyesatkan ini, karena sejatinya perjuangan atas pemberdayaan perempuan tak benar-benar terjadi, alias ilusi. Nilai guna mereka tak lebih dari sekedar materi demi mengokohkan hegemoni kapitalisme. Dimana untuk mencapai target ini, perempuan banyak dimanfaatkan sebagai penggerak roda industri berharga murah sekaligus target pasar produksi.

Jika dirunut kembali, permasalahan ini bermula dari bercokolnya hegemoni Barat di negeri-negeri muslim akibat melemahnya kekuatan dan pemahaman mereka. Bahkan perlahan, dominasi syari'at dan hukum Islam bergeser ke ranah privat dan hanya diminati oleh minoritas umat. Akibatnya, isu yang menghendaki hancurnya batas-batas pembeda antara laki-laki dan perempuan dalam peranannya di masyarakat laris manis dijajakan oleh para aktivis feminis.

Tidak seperti kapitalisme yang hanya memperdaya, Islam justru memberikan definisi pemberdayaan yang mampu mengangkat derajat perempuan secara riil. Aplikasinya pun sesuai dengan fitrah mereka, yakni sebagai ummu wa rabbatul bayt dan ummu ayjal (ibu generasi).

Kedua peran utama tersebut sangatlah penting mengingat pemenuhannya menjadi tolok ukur keberhasilan dalam membangun dan mengokohkan peradaban Islam yang berjalan di atas petunjuk Al Qur'an dan As Sunnah.

Selain ranah domestik di atas, Islam tidak menafikkan kehadiran mereka untuk terlibat dalam ranah publik seperti  menuntut ilmu, mengajar, bahkan bekerja. Hanya saja dalam pelaksanaannya, segala aktivitas tersebut tidak boleh melalaikan mereka dari tugas utama sebagai ibu rumah tangga.

Keterlibatan kaum perempuan dalam ranah publik juga terealisir melalui kewajiban dakwah untuk mencerdaskan umat. Menyadarkan mereka akan urgensitas penegakan Islam kaffah. Termasuk didalamnya muhasabah atas kebijakan penguasa yang dzalim.

Dari sini jelas bahwa sebelum kaum feminis sesumbar menyuarakan kesetaraan gender, Islam lebih dulu menetapkan kesejajaran derajat antara laki dan perempuan. Hanya saja bukan pada bentuk fungsi dan peran, melainkan pada ketaatan keduanya terhadap aturan Allah. Dan ketaatan ini hanya bisa optimal apabila syariah diterapkan dalam kehidupan secara Kaffah. Yang dengan itu, kesejahteraan berikut penjagaan atas individu benar-benar terjamin. Sehingga umat, khususnya perempuan tidak akan tergiur mengejar materi dan prestice  berbau duniawi.*

Maya A

Gresik, Jawa Timur


latestnews

View Full Version