Oleh:
Diah Winarni, S.Kom
Praktisi Pendidikan
BERDASARKAN proyeksi pertumbuhan penduduk Badan Perencanaan Pembangunan Nasioal, Badan Pusat Statistik dan United Nations Population Fund jumlah penduduk Indonesia pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 131,88 juta jiwa berjenis kelamin perempuan. Menurut kelompok umur, jumlah populasi perempuan Indonesia yang berusia 0-19 tahun mencapai 45,31 juta jiwa. Kemudian yang berumur 20-64 tahun sebanyak 86,57 juta jiwa dan sisanya, yakni 8,3 juta jiwa berumur lanjut usia 65 tahun ke atas. (databoks.katadata.co.id)
Jumlah perempuan Indonesia melebihi jumlah laki-laki, disadari atau tidak oleh masyarakat, daya juang hidup perempuan Indonesia sungguh luar biasa. Kemampuan yang minim pun tak membuat mereka mati langkah, mereka mengerahkan segenap kemauannya untuk menjalani kehidupan.
Ingatkah kita bagaimana perjuangan RA Kartini saat mengukuhkan dirinya menjadi perempuan yang cerdas disaat beliau mengalami dilema tentang kondisi perempuan di tanah Jawa. Lupakah kita dengan Cut Tjak Dien, pahlawan perempuan dari Tanah Aceh, yang dengan kehebatannya memimpin pasukan melawan penjajah untuk kemerdekaan Indonesia.
Perempuan memanglah terlihat lemah, namun senjata keikhlasan dan kesabarannya tak mudah dikalahkan, dihatinya hanya ingin melihat kebahagiaan bukan buat dirinya sendiri namun untuk orang lain. Belum tentu kaum bapak bisa menandingi ketangguhannya.
Tahun berganti, zaman terus menggerus peredaran bumi. Kini kondisi perempuan Indonesia begitu sangat terhimpit dan mengenaskan. Kehidupan dengan topangan ekonomi berbasis kapitalistik memaksa perempuan Indonesia harus keluar ke ranah publik. Seharusnya mereka nyaman berada di dalam rumah sebagai pendidik utama anak-anak mereka dan pengatur rumah tangganya, kini sebagiannya hanyalah sebuah harapan semu akibat kehidupan kapitalis. Mereka rela keluar rumah untuk menggantikan peran suami demi membantu perekonomian keluarga.
Kondisi ekonomi Indonesia yang carut marut akibat sistem kehidupan yang kapitalistik membuat sebagian besar lahan kerja para lelaki tergusur karena perusahaan gulung tikar alias mengalami kebangkrutan, PHK terjadi dimana mana secara massif, dan akhirnya para lelaki sulit mendapatkan pekerjaan. Tak ayal kondisi ini membuat para istri memutar otak mencoba membantu dan akhirnya menyebabkan berpindahnya peran pencari nafkah utama. Sungguh menyesakkan dada.
Jejak perempuan yang berkiprah di ranah publik lambat laun mulai bergesar, diawali niat membantu suami namun mereka asyik bergelut dalam kondisi kehidupan kapitalis sekuler. Mereka mulai melupakan kodrat mereka sebagai ibu rumah tangga, juga perannya sebagai istri, hingga kerap kali terjadi disharmoni di dalam rumah tangga akibat perempuan bekerja diluar rumah.
Belumlah lagi ide kesetaraan yang diusung para feminis, membuat para perempuan menjadi besar kepala, merasa mampu menafkahi dirinya serta keluarga membuat mereka nyaman berkiprah di publik. Ujung permasalahnya adalah tentang materialis yang didapat perempuan dengan bekerja sehingga mereka nyaman dengan kondisi yang ada.
Hampir seluruh pabrik, kantor-kantor didominasi oleh perempuan bekerja karena secara nalurinya perempuan sanggup melakukan kerja apapun tanpa pilih-pilih. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan, karena sesungguhnya tempat yang paling aman bagi wanita adalah didalam rumahnya, mengurus buah hati dan kebutuhan suaminya. Sehingga mereka tidak akan terlibat kepada efek samping negatif dari wanita bekerja, seperti pelecehan seksual, dan perlakuan tidak senonoh dari majikan hingga kekerasan bagi perempuan kerap kali terjadi. Apakah ini yang disebut dengan kesetaraan yang diusung para feminis di negeri ini.
Bukan penghargaan yang didapat namun seringkali kekerasan bagi perempuan-perempuan tangguh ini. Ini bukan setara namanya, ini kedzaliman yang dapat menghancurkan eksistensi perempuan. Masihkah kita mau berharap dengan perjuangan semu mereka?
Islam Memuliakan Perempuan
RA Kartini menjadi sosok yang sholehah ketika Islam hadir secara nyata didalam kehidupannya, awal pemberontakan yang ada dihatinya atas ketidaksetaraan perlakuan lelaki dan perempuan jawa kala itu tidak serta merta menjadikan beliau keras, dengan mempelajari Islam, lambat laun RA Kartini memahami bahwa ternyata perempuan akan aman dan tenang jika berada dirumahnya. Islam telah merubah seluruh pemikirannya, namun tidak membuat beliau berdiam diri, ia tetap berkiprah mencerdaskan perempuan-perempuan jawa saat itu dengan mengajarkan tulis baca dan belajar Al Quran. Islam begitu sempurna menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan, karena darinya akan lahir generasi gemilang pembangun peradaban yang mulia.
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa [4]: 19)
Islam hadir memberikan solusi bagi semua persoalan yang mendera perempuan, salah satunya mengembalikan marwah mereka, memberikan tempat yang layak disisi suaminya. Suaminyalah yang akan bekerja memenuhi nafkah bagi mereka, karena sesungguhnya itulah yang menjadi kewajiban para suami untuk bekerja. Dan itulah taklif yang disampaikan kepada lelaki dimuka bumi ini, menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Islam yang akan mengembalikan peran tersebut.
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS an-Nisaa’: 34)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya), “Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri.” (Al Baqarah: 228).
Kemudian Al-Imam Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas, “Para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas para istri yaitu dalam keutamaan, dalam penciptaan, tabiat, kedudukan, keharusan menaati perintahnya (dari si istri selama tidak memerintahkan kepada kemungkaran), dalam memberikan infak/belanja.”
Takkan ada lagi perempuan-perempuan yang keluar rumah hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya atau hanya sekadar menunjukkan eksistensinya, Islam hadir mengeliminir keinginan itu semua, dengan mengembalikan marwah wanita muslimah.
Sungguh mulia perempuan didalam Islam, maka mau mengambil contoh seperti apa lagi selain Ad Diin yang sempurna ini. Kembalilah wahai perempuan dalam dekapan Syariat Allah, disana antunna akan merasakan perlindungan yang sejati.*