Oleh:
Riana Magasing M,Pd
Guru di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau
WABAH corona yang terus meningkat di Indonesia membuat pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan sementara berbagai aktifitas berkumpul termasuk dunia pendidikan guna mencegah laju penyebaran covid-19 salah satunya aktifitas belajar mengajar di sekolah.
Surat edaran dari pemerintah 16/03/2020 belajar di rumah berlaku sampai tanggal 30 maret 2020. Strategi belajar di rumah menurut Sekretaris Jenderal Federasi Indonesia (FSGI) Heru Purnomo sudah tepat, setidaknya dari sisi kesehatan, maka diserahkan dalam bentuk soal saja untuk mengejar target kurikulum atau Home Lerning. (Tirto,id 16 Maret 2020).
Hal senada juga dikatakan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji selain guru, ia menjelaskan orangtua pun harus ikut memantau si anak belajar di rumah.
ini membuat anak-anak harus belajar di rumah dengan bimbingan kedua orang tua, maka yang menjadi guru adalah kedua orang tua, tapi sayangnya banyak anak-anak yang merasa tidak nyaman belajar bersama orangtua di rumah, dan muncul beberapa anekdot di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, ada seorang anak SD ketika ditanya oleh temannya“Gimana rasanya belajar di rumah? Anak tersebut menjawab “Aku tak sanggup lagi , mama ku lebih galak dari ibu guru di sekolah, bawaannya marah-marah melulu” dan ada beberapa pantun yang diberikan murid pada gurunya:
“sudah pasti bukan kangguru
sebab bulunya berwarna merah
mama ku tak cocok jadi guru
sebab mengajarnya marah-marah”
Apa yang menyebabkan anak merasa tidak betah belajar bersama orang tuanya dirumah? Pasti Ada yang salah dengan peran ibu bagi anaknya, Padahal ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya seharusnya seorang anak lebih nyaman belajar bersama orangtua di dalam rumahnya. Bahkan banyak ibu yang kebingungan apa yang harus mereka lakukan dalam mendidik, karena sudah terbiasa anak hanya belajar sebatas di sekolah saja, tidak diiringi dengan pendidikan dalam rumah.
Ini menunjukkan kegagalan negara membentuk perempuan menjadi madrasah ula dan menjadi ibu yang baik di dalam rumahnya, artinya tidak ada kesiapan yang matang bagi perempuan untuk menjadi ibu sebelum pernikahan. Banyak para ibu yang hanya memahami tugasnya hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, pakaian dll, tanpa memikirkan kehidupan anak sedari dini baik pendidikan formal, akhlak dan tauhid.
Bahkan perempuan-perempuan sekarang lebih bangga dengan karirnya ketimbang mendidik anak di dalam rumahnya. Mereka dikatakan berhasil jika memiliki gelar yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja dan menjabat di posisi tertentu pada pekerjaannya. Arus gender yang begitu kuat merasuki pemikiran perempuan membuat banyak para perempuan berlomba-lomba untuk selalu eksis di ranah publik, peran perempuan sebagai ibu telah tercedera menyebabkan para perempuan jadi mudah stress dan depresi. Sosok yang seharusnya lembut dan menjadi penyejuk buat suami dan anak-anaknya telah hilang.
Islam dengan semua aturannya telah menempatkan perempuan sebagai sosok yang terjaga kehormatannya, tugas pokok perempuan adalah ummum warobatul baiti (Ibu dan pengatur rumah tangga) mengajar dan mendidik anak di dalam rumah.
Islam juga mewajibkan para laki-laki untuk menanggung nafkah perempuan, ini adalah bentuk kerja sama yang saling mengoptimalkan potensi fitrahnya bukan bentuk deskriminasi, oleh karena itu syariat mendorong perempuan menikah atas dasar agama untuk melestarikan keturunan sehingga terbentuk generasi yang beriman dan bertakwa, ini semua bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam secara kaffah yang menerapkan seluruh syariat Allah SWT, sebab tegaknya hukum –hukum Allah jelas merupakan sebagai bentuk nyata ketakwaan kaum muslim. Sistem sekuler telah gagal membentuk perempuan sesuai fitrahnya.*