View Full Version
Sabtu, 04 Apr 2020

Dilema Perempuan Bekerja di Antara Pandemi Covid-19

 

Oleh: Desi Wulan Sari

Kecemasan masyarakat semakin terasa dengan meluasnya sebaran virus covid-19 disertai banyaknya korban yang meninggal setiap harinya. Tentu fakta tersebut membuat resah masyarakat terkait persiapan dan antisipasi dalam menangkal virus ini. Berbagai Informasi, cara, dan tips banyak berseliweran di media sosial saat ini.

Belum adanya lockdown secara terpusat membuat para pekerja kantoran atau lapangan (ojol, pedagang, dsb)  menghendaki kebijakan yang ditempuh pemerintah melalui kebijakan yang dibuat terkait antisipasi hal tersebut. Salah satu kebijakan daerah yang diberlakukan adalah WFH (work from home) ditanggapi positif oleh masyarakat, khususnya yang berada di garis merah seperti DkI Jakarta dan sekitarnya. Namun yang disayangkan adalah kebijakan tersebut bukan suatu keharusan sehingga masih banyak masyarakat yang wajib bekerja di kantor hadir secara fisik. Ternasuk diantaranya para perempuan pencari nafkah.

Kebijakan Work from Home (WFH) atau bekerja dari rumah di tengah wabah corona dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), di mana setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta sendiri telah menerbitkan Surat Edaran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta Nomor 14/SE/2020 Tahun 2020 tentang Himbauan Bekerja di Rumah (Work From Home) (“SE 14/2020”) yang menindaklanjuti Instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2020 tentang Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Risiko Penularan Infeksi Corona Virus Disease (COVID-19). Menurut SE 14/2020, para pimpinan perusahaan diharapkan dapat mengambil langkah pencegahan terkait risiko penularan infeksi COVID-19 dengan melakukan pekerjaan di rumah (hukumonline.com, 3/4/2020).

Namun faktanya hingga hari ini masih banyak perempuan masih bekerja di tengah-tengah pandemi covid-19. Sungguh suatu hal yang miris karena resiko besar yang dihadapi seorang perempuan saat berangkat kerja ke kantor atau lapangan (ojol, berdagang, dsb). Mereka berprofesi sebagai seorang ibu, pengurus rumah tangga, pegawai, bahkan ada yang sekaligus pencari nafkah harus berjuang keluar rumah. Di setiap langkah kakinya seakan bersiap untuk berjihad berperang melawan virus-virus Corona di luar rumah. Mereka tidak punya pilihan yang lebih baik bagi dirinya. Itulah yang dihadapi perempuan bekerja saat ini.

Kesulitan yang dialami para perempuan hari ini akibat dari sistem kapitalis yang telah mengangkat kesetaraan gender sebagai tolak ukur mereka dalam sebuah "equal life" saat berada dalam kehidupan sosial ala kapitalis. Akhirnya perempuanlah yang menjadi korban ketidakadilan dalam berbagai posisi.

Semestinya disaat sulit menghadapi wabah penyakit yang sedang menyebar ke seluruh dunia, khususnya para perempuan yang bekerja diberikan hak untuk dilindungi keselamatannya,  jaminan ekonomi, serta kesehatannya. Siapakah yang harus memberikan itu semua? Tentunya semua itu adalah tanggung jawab negara.

Jika saja negara mengambil alih semua peran itu, maka tidak akan ada satupun pengusaha ataupun perusahaan yang berani membantah kebijakan negara. Para perempuan akan diwajibkan WFH (work from home) di samping menunaikan tugasnya sebagai pegawai kantor,  juga mengurus keluarganya, sejalan dengan di rumahkannya pendidikan sekolah  anak-anak  dengan belajar melalui sambungan online.

Kemanakah semestinya para perempuan mendapatkan perlindungan saat ini? Terbukti sistem yang ada hari ini sangat jauh dari kata "melindungi".

Kedudukan Perempuan dalam Islam

Dalam Islam tidak mengenal istilah kesetaraan gender. Karena Islam telah mengatur dan menempatkan posisi laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya. Kedudukan masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan sesuai koridornya.

Negara berperan penting dalam melindungi perempuan, karena sejatinya fungsi negara sebagai pelindung rakyat. Islam telah mencontohkan bagaimana perempuan dilindungi dan diurus oleh negara, namun hal tersebut diharmonisasikan dengan sinergi antara negara, masyarakat dan keluarga. Adapun Hal-hal yang harus diperhatikan  antara lain:

1. Meniadakan pengadopsian nilai-nilai kebebasan liberal dan konsep-konsep non-Islam yang datang dari pikiran bebas dari pengekangan yang membangun hubungan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan tingkah laku dan keinginan dan menghilangkan konsep ditetapkan oleh Sang Pencipta.

2. Menentukan status perempuan dan merendahkan posisinya di masyarakat dengan menjadikannya objek dan menjualnya, karena hampir tidak ada iklan komersial yang mengeksploitasi bagian-bagian tubuh dirinya sebagai komoditas nilai jual (iklan, model, dsb).

3. Tidak adanya gagasan yang jelas tentang hak dan tanggung jawab yang ditempatkan untuk masing-masing pihak dalam lembaga perkawinan, dan tidak adanya sistem pembagian peran yang dilambangkan kepada setiap orang di dalamnya, dan jalinan peran, ternyata menciptakan suasana penuh stres dan konflik.

4. Memperbaiki pandangan tentang perempuan dari perspektif Islam dan menetapkan status khusus dan peringkat bergengsi bagi mereka yang telah dibuat secara khusus oleh Allah SWT dan Rasululah Saw.

5. Mengorganisir hubungan antara laki-laki dan perempuan, melarang pertemuan rahasia, melarang perempuan bergaul bebas dengan laki-laki asing, dan memastikan tidak ada atmosfer khusus yang dapat mengarah pada hubungan tidak sah atau perilaku yang meragukan yang dapat memicu kecemburuan, membangkitkan keraguan, mengguncang masalah kepercayaan, dan merujuk pada kekerasan. Juga, Islam mewajibkan para penganut laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan mereka dan menjaga kesucian mereka sehingga keduanya menjadi fondasi kuat dari hubungan yang sehat antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada rasa hormat dan kehidupan bersama daripada memandangnya sebagai maskulinitas sebagai feminitas.

Sehingga jelas, melihat kedudukan dan peran perempuan dalam Islam menempatkan perempuan  pada posisi utama sebagai periayah anak-anaknya dan sebagai manajer rumah tangga. Sedangkan seorang suami memiliki posisi wajib sebagai pencari nafkah utama. Walaupun Islam membolehkan perempuan untuk bekerja jika ada uzur syari di dalamnya.

Sehingga para perempuan bekerja di antara pandemi Covid-19 hari ini, walaupun punya kewajiban membantu mencari nafkah keluarga tetapi keselamatannya harus tetap dilindungi. Bekerja WFH menjadi satu keharusan guna melindungi haknya dalam hal kesehatan, Keselamatan, keamanan dan tidak menghambat perannya sebagai pendidik anak-anaknya, memenuhi hak dan kewajiban dalam sebuah rumah tangga.

Jika sistem kapitalis belum mampu membawa para perempuan pada posisi mulianya, maka mengapa tidak? saat Islam menawarkan solusi bagi permasalahan perempuan hari ini, hendaknya kita mengambil sistem terbaik yang pernah ada sebagai petunjuk kebenaran. Wallahu a'lam bishwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version