Oleh:
Annisa Rahma S
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UNPAS Bandung
JUMLAH pasien positif terinfeksi covid’19 akibat Virus Corona kembali mengalami peningkatan per Minggu (28/3). Jumlah kasus positif corona di Indonesia hari ini mencapai 1.285 kasus. Sementara itu korban meninggal dunia bertambah menjadi 114 orang, pasien sembuh 64 orang (cnnindonesia.com). Tim peneliti dari ITB memperkirakan adanya pergeseran puncak pandemi yang awalnya akhir Maret menjadi pertengahan April.
Hal ini karena data yang berhasil dihimpun lebih mirip kasus di USA dibanding di Korea Selatan. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan pemangku kebijakan, segenap nakes, ulama dan kaum intelektual bahwa Covid-19 tidak bisa ditangani menggunakan standar biasa. Harus dikerahkan seluruh daya upaya untuk mengakhirinya. Seruan untuk social distancing (jaga jarak sosial), lockdown (mengunci kota), dan tes massal terus menggema dari berbagai kalangan.
Ditengah gaungan informasi mengenai Covid’19 diberbagai media, bulan Maret sebetulnya adalah momen dimana peringatan tahunan persebaran ide feminisme sejak tahun 1913. Terlebih pada tahun 2020 adalah tepat peringatan 25 tahun Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing oleh PBB. Tahun 2020 sebetulnya adalah momentum tepat untuk menagih janji bagaimana perjuangan ini telah bergulir selama 114 tahun sejak pencanangannya dan 25 tahun sejak deklarasi Beijing tahun 1995 silam.
Apakah benar bahwa ‘ketidaksetaraan’ adalah biang masalah bagi perempuan? Sebelum badai covid-19 menyerang, dari sisi belitan kemiskinan World Population Review menyatakan masih ada 68 negara yang memiliki angka ketimpangan lebih tinggi dari 145 negara yang disurvei. Termasuk Singapura, Hong Kong, Arab Saudi, bahkan Malaysia dan Thailland (Pertemuan tahunan World Economic Forum 2020 di Davos).
Bank Dunia mencatat bahwa tingkat kemiskinan di beberapa wilayah di Indonesia pada 2019 masih tinggi, terutama di wilayah Indonesia timur. Padahal diketahui memiliki aset kekayaan alam berlimpah, seperti Freeport di Papua. Laporan Oxfam mengungkapkan, bagaimana pemerintah memperburuk ketidaksetaraan dengan menyediakan dana terbatas untuk pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Di sisi lain, pemerintah gagal meningkatkan pembayaran pajak untuk orang kaya maupun perusahaan besar. Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pihak paling terpukul akibat peningkatan ketidaksetaraan ekonomi ini. Sesungguhnya kemiskinan menimpa seluruh rakyat baik laki-laki maupun perempuan. Dari sisi kekerasan seksual, ‘ketidaksetaraan’ hampir selalu ditarik menjadi akar masalah kekerasan seksual pada perempuan. Namun data berbicara lain. Kekerasan seksual ini juga dialami oleh laki-laki. "3 dari 5 perempuan mengalami pelecehan di ruang publik. Sementara 1 dari 10 laki-laki juga mengalami pelecehan di ruang publik," kata relawan Lentera Sintas Indonesia, Rastra Yasland.
Lalu bagaimana nasib perempuan setelah Covid-19 masuk ke Indonesia?
Kegagapan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 ini membawa perempuan pada kondisi ‘simalakama’. Feminisme yang selama ini berada dalam naungan kapitalisme telah menggariskan bahwa dalam mengejar ‘kesetaraan’ konsekuensi logis yang harus terjadi adalah perempuan dicetak menjadi pekerja. Sama sekali tidak ada cetakan sebagai istri terlebih ibu generasi. Efek dominonya kaum lelaki merasa tidak perlu ada tanggung jawab nafkah bagi perempuan yang telah ‘mandiri’ yang menjadi tanggungannya. Serta menjadikan sekolah adalah jasa laundry anak.
Kebijakan setengah lockdown dengan meliburkan anak-anak dari sekolah membongkar kegagapan perempuan dalam mendidik anak terlebih yang belum baligh. Tersebar keluhan demi keluhan bahwa para ibu kelimpungan dan kewalahan menghadapi kondisi anak masing-masing. Pun demikian sang anak yang bersuara perihal bundanya lebih galak, lebih tidak sabar, lebih buruk dalam mengajar dibanding guru mereka di sekolah. Namun apa daya, kegagapan ibu ini didiamkan oleh aktivis feminisme dan negara demi label negara yang komitmen pada kesetaraan gender.
Kondisi berikutnya, ketelibatan perempuan dalam penanggung nafkah menempatkan perempuan terpapar langsung persebaran virus Covid-19 ini. Gaungan lockdown yang terus bergulir membuat kecemasan memburuk di kalangan perempuan. Meski para perempuan bekerja ini memiliki potensi tinggi menjadi carrier virus Covid-19 hingga sakit, namun semua itu diterabas demi sesuap nasi. Tentu saja hal ini diamini aktivis feminisme dan negara atas nama pertumbuhan ekonomi. Jika saja perempuan dibiarkan dalam koridornya, tidak dipaksa keluar jalur, dan tak memaksakan sesuatu yang mustahil didapatkan, maka tak ada ibu yang gagap mendidik generasi yang lahir dari rahimnya sendiri. Pun tidak ada perempuan yang harus antara hidup dan mati demi titel berpenghasilan dan pertumbuahan ekonomi
Momentum atau gaungan kesetaraan gender sudah cukup, lagi dan lagi ditelan oleh perempuan yang sebenarnya tidak pernah menjadikan suatu solusi yang nyata. Terbukti dengan Deklarasi Beijing pun, nasib perempuan tidak pernah menjadi baik. Pandangan ini benar keliru adanya, mengubah pandangan tersebut ke yang lebih tepat adalah kunci dari sebuah solusi yang akan dijalankan, yaitu memandang manusia, baik laki-laki dan perempuan dengan sudut pandang hamba. Sebagai hamba yang lemah dan terbatas, yang memiliki Tuhan yang maha kuasa. Covid-19 di negeri-negeri muslim membawa hikmah bahwa bisa jadi peristiwa ini adalah teguran. Teguran hamba yang berlagak menjadi Tuhan dengan seenaknya membuat aturan sesuai hawa nafsu mereka.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Maidah: 49).
Dalam Islam telah ada koridor aturan teruntuk khusus bagi perempuan, pun koridor aturan khusus bagi laki-laki. Meski nampak mustahil, nyatanya Covid-19 memaksa perempuan ‘kembali ke rumah’, hadir untuk putra-putrinya. Pun makhuk Allah bernama Covid-19 menjadikan sholat jamaah menjadi sedemikian langka, mewah dan berharga bagi kaum laki-laki.
Sehingga ketika perempuan sudah dipersiapkan sejak awal menjadi ummu warobatul bait dan ummu madrosatul ula seperti yang diwajibkan dalam Islam, maka tak ada kekhawatiran ketika anak-anak kembali ke rumah karena akan tetap mendapatkan pendidikan terbaiknya. Bukan tergagap kebingungan bagaimana menghadapi lockdown di rumah atau bahkan stress dibuatnya.
Begitupun dengan peran kita sebagai mahasiswi yang tentu melihat fenomena tersebut, kita dapat mengkaitkan segala perihal yang terjadi di dunia ini, selalu ada benang merah yang menyambungkan permasalahan tersebut. Begitupun dengan masalah Covid’19 dan Deklarasi Beijing+25 ini, lalu bagaimana menyikapi keduanya, dan apa solusi yang didapatkan dari analisis seorang mahasiswi muslim yang cerdas, yang tak pernah melupakan keimanannya yakni segala sesuatu senantiasa dikaitkan dengan hukum syara yang telah Allah gariskan.
Dalam hal ini tentu mahasiswa sebagai Agent of Change yang tak melupakan jati dirinya sebagai seorang muslim. Karena sebelum, saat ini, dan setelah kehidupan yang harus kita pikirkan, terutama setelah kehidupan selalu ada hari penghisaban yang menanti kita, yakni apa yang kita ambil menjadi pemahaman kemudian diaplikasikan menjadi suatu tindakan, tentu itu semua bagian dari daftar penghisaban. Wallahu ‘alam.*