SEJAK Senin 16 Maret 2020, aktivitas belajar mengajar dari jenjang TK sampai dengan SMA mulai diliburkan. Langkah itu diambil untuk mengantisipasi penyebaran virus corona jenis baru atau Covid-19 di lingkungan lembaga pendidikan.
Sebagai gantinya, pembelajaran diubah secara online dengan memberikan tugas kepada siswa. Orang tua yang juga bekerja dari rumah diminta untuk mengawasi proses belajar anak selama berada di rumah. (Republika 18/3)
Meski terlihat menyenangkan, pembelajaran di rumah bukanlah sesuatu yang mudah. Bagi orang tua yang juga diharuskan work from home, tak sedikit dari mereka yang merasa stres saat sekolah ditutup. Meski begitu, ada juga nilai positifnya, yakni hubungan antara orang tua dan anak menjadi semakin dekat.
Tak hanya di Indonesia, dari hasil survey Institute of Family Education di Hongkong yang melibatkan lebih dari 500 orang tua menunjukkan 85 persen orang tua mengaku stres dan tidak senang dengan penutupan sekolah. Orang tua yang juga harus bekerja dari rumah memiliki tingkat stres tertinggi karena penutupan sekolah tersebut.
Meski begitu pada saat yang sama, 75 persen orang tua mengaku lebih dekat dengan anak-anak mereka selama penutupan sekolah sejak awal Februari. (Indopolitika 26/3)
Fakta hadirnya keluhan keluhan selama masa menemani proses belajar anak di rumah, juga sebaliknya, perasaan bahagia bisa lebih dekat dengan anak, harusnya mampu menohok hati para ibu yang selama ini lebih disibukkan dengan aktivitas di luar rumah (red : bekerja). Sehingga ketika mereka dihadapkan dengan kondisi mendesak akibat wabah, banyak diantara mereka yang merasa kelimpungan dalam menyiapkan bahan pembelajaran. Terlebih lagi bagi wanita wanita karir yang juga diharuskan untuk work from home.
Berangkat dari kondisi ini, maka banyak sekali hal yang mustinya dikritisi. Dari sisi ekonomi, maka sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem yang paling layak disalahkan dan segera dicampakkan dari peredaran bumi. Bagaimana tidak? Ia lah yang menyebabkan kekayaan senantiasa berputar di kalangan orang orang kaya dan pemilik modal. Sementara rakyat miskin, dibiarkan abadi dalam kemiskinan dan segala keterbatasan. Dan terhadap kondisi ini, negara negara kapital bermental nominal seringkali abai dalam tanggung jawabnya mengurusi rakyat. Pada akhirnya, tak ada pilihan bagi perempuan selain bekerja untuk memenuhi kebutuhan hingga terpaksa mengabaikan hak anak.
Selain sistem ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan juga turut andil dalam mendistraksi peran seorang ibu. Kehadiran pendidikan saat ini telah diformat sedemikian rupa oleh kapitalisme agar senantiasa berorientasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Akibatnya, esensi daripada ilmu banyak dikerdilkan dan dikalkulasikan sebagai wasilah untuk meraih materi. Dan disinilah para perempuan perlahan terjebak. Turut hanyut dalam kenikmatan kenikmatan semu yang diperoleh dari aktivitas kerja.
Ironisnya, kondisi tersebut justru dilanggengkan dengan hadirnya gerakan global pengusung kesetaraan gender yang secara frontal dan masif meneriakkan rentetan tuntutan tentang hak perempuan untuk dilibatkan di dunia kerja. Membuat perempuan semakin berada di atas angin dan terpalingkan dari fungsi keibuan. Tak sadar, bahwa sejatinya mereka tengah dijadikan lakon utama pemberdayaan ekonomi .
Andai saja para perempuan paham bahwa feminisme hanya menjanjikan ilusi yang sifatnya kontradiktif. Bayangkan, bagaimana mungkin feminisme memperjuangkan perlindungan bagi perempuan atas tindak kekerasan, sementara di sisi lain mereka justru menjerumuskan perempuan ke dunia kerja yang membuka peluang terjadinya tindak kekerasan?
Sungguh, belumlah terlambat bila para ibu ingin berbenah. Mendengar dengan lebih jeli lagi rintihan anak yang ingin didampingi, meraba kembali bagaimana fitrahnya sebagai perempuan, menundukkan lagi egonya pada syariah dan merajut kembali jalinan kasih terhadap mereka yang selama ini sempat terpisah karena kesibukan.
Perlu untuk diingat dan digaris bawahi, bahwa peran perempuan sebagai ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengurus rumah tangga) bukanlah peran yang hina. Sebaliknya, ia justru mulia. Dan begitu penting mengingat pemenuhannya menjadi tolok ukur keberhasilan dalam membangun dan mengokohkan calon generasi masa depan yang berjalan di atas petunjuk Al Qur'an dan As Sunnah.
Meski demikian, Islam tidak sekalipun menafikkan kehadiran mereka untuk terlibat dalam ranah publik seperti menuntut ilmu, mengajar, bahkan bekerja. Hanya saja dalam pelaksanaannya, segala aktivitas tersebut tidak boleh melalaikan perempuan dari tugas utamanya sebagai istri dan orangtua.
Dari sini jelas bahwa sebelum kaum feminis sesumbar menyuarakan kesetaraan gender, Islam lebih dulu menetapkan kesejajaran derajat antara laki dan perempuan. Hanya saja bukan pada bentuk fungsi dan peran, melainkan pada ketaatan keduanya terhadap aturan Allah. Dan ketaatan ini hanya bisa optimal apabila syariah diterapkan dalam kehidupan secara Kaffah dalam institusi daulah. Yang dengan itu, kesejahteraan berikut penjagaan atas individu benar-benar terjamin. Sehingga umat, khususnya perempuan bisa kembali fokus menjalankan peran utamanya dan tidak akan tergiur mengejar materi dan prestice berbau duniawi.
Maya. A
Gresik, Jawa Timur