View Full Version
Rabu, 15 Apr 2020

Susahnya Jadi Emak Jaman Milenial

 

Oleh:

Keni Rahayu, S.Pd

Ibu Muda, Guru, Penulis, Aktivis Dakwah

 

KEBIJAKAN #dirumahaja sudah berjalan 3 minggu ini. Meski banyak kantor yang masih buka, tapi tidak ada sekolah buka. Diknas menetapkan pembelajaran masa pandemi ini dengan #belajardirumah.

Belajar di rumah jadi kesan tersendiri, khususnya bagi kaum ibu. Selain ada kewajiban mengatur rumah tangga, mendidik generasi adalah kewajiban utama sorang ibu. Belajar di rumah memang "beban" tambahan bagi ibu untuk mendampingi sang anak belajar.

Ibu harus lebih peka terhadap anak yang bisa jadi 24/7 full pegang android. Bisa jadi mereka belajar, tapi besar juga kemungkinan melengnya. Seperti kita tahu, betapa banyak fitnah media sosial bertebaran di luar sana. Baik dari segi pergaulan, tren berbusana, pola pikir kafir, semua siap sedia menanti sambutan tangan anak kita. Menjadi ibu generasi milenial memang butuh jerih payah yang luar biasa.

Tidak hanya menjadi ibu, gelar istri tetap tidak lepas meski telah memiliki anak. Sehingga "bayi besar" tetap menjadi amanah seorang istri di hadapan Allah swt. Melayani suami tetap tidak berhenti meski masa pandemi.

Masih belum berhenti di sana, sebagai hamba, perempuan juga memiliki kewajiban berdakwah di hadapan Allah. Banyak umat menanti kiprahnya. Ilmu yang sudah dianugerakan Allah padanya, wajib diamalkan dan disampaikan ke umat.

MasyaAllah, betapa mulia seorang perempuan. Dengan berbagai gelarnya, Allah memuliakan wanita dengan fitrahnya. Menjadi anak ia bekal kedua orang tuanya. Menjadi istri dia mendampingi langkah suami menuju surga. Menjadi ibu ia mencetak generasi mulia. Menjadi pengemban dakwah ia membersihkan pemikiran umat dari kejahiliyahan.

Beban-beban mulia ini sudah ditakar Allah sesuai porsi kemampuannya. Didukung sang suami, kiprah surgawinya tetap berjalan beriringan satu dengan yang lain. Tidak boleh seorang perempuan menonjolkan satu kiprah dan meninggalkan yang lain. Tidak, itu zalim namanya.

Semua hanya akan berjalan sempurna ketika ilmunya ada dan suami memiliki pemahaman yang sama. Sehingga lahirlah biduk rumah tangga yang mulia. Satu dengan yang lain saling mendukung tugasnya.

Namun, sayang sungguh sayang. Kemuliaan perempuan dalam kaca mata Islam ini masih menjadi tabu di kalangan milenial. Mereka mengira, ketundukan pada suami adalah sebab patriarki. Padahal, bukankah ridho dan marahnya pada istri adalah wajar, toh nanti suami yang akan ditanya sama Allah SWT tentang tindak tanduk istri?

Menjadi ibu dan pengatur rumah tangga adalah pekerjaan mulia. Rumah bukan sekedar fisik ya, tapi siapa saja penguhinya juga mempengaruhi kenyamanan penghuni yang lain. Suasana yang dibangun mempengaruhi kenikmatan berteduh di sana. Itulah kenapa rumah dinamakan "rumah", karena ia tempat kembali. Mungkinkah anak kita betah di rumah kalau ibunya saja jarang "merumahkan" rumah?

Dan masih banyak stigma lainnya yang dituduhkan feminis terhadap syariat Islam. Mereka selalu semangat menyuarakan kesetaraan, agar ibu tidak selalu di rumah. Ibu bekerja digambarkan pahlawan tiada tara, meski suami di rumah kena PHK.

Gak habis pikir deh. Dengan beberapa gelar perempuan di atas, bukankah sudah sangat komplek "keribetan" muslimah yang berbuah pahala di hadapan Allah ini? Masih haruskah perempuan "dipaksa" bekerja dengan stigma ibu bekerja itu perkasa?

Hallo buibu, kalau kita full kerja demi sekedar uang, kasihan anak kita kehilangan kasih sayang. Peran kita sebagai pendidik generasi juga melayang. Naudzubillahi min dzalik. Jangan ya, kasihan anak-anak.

Bekerja bukan tidak boleh, tapi niatkan pekerjaanmu untuk membangun peradaban dengan kemampuan yang kamu miliki. Kantongi restu suami, pastikan kewajibanmu tidak ada yang terzalimi. Insya Allah muliamu tak hanya di dunia, kelak mengantarkanmu ke surga.

Mudah-mudahan tulisan ini sedikit memberikan gambaran, betapa Islam telah memuliakan perempuan dengan berbagai posisi penting yang telah legal di hadapan-Nya. Wallahu a'lam bishowab.*


latestnews

View Full Version