View Full Version
Selasa, 21 Apr 2020

KDRT Meningkat Tajam, Akibat “Stay at Home”?

 

Oleh:

Ifa Mufida, Pemerhati Sosial Politik

 

CORONA masih menjadi pandemi, sampai saat ini juga belum ada tanda-tanda mereda. Lebih parah lagi corona dituding menjadi penyebab terjadinya banyak  problematika. Salah satu problematika yang cukup mendunia adalah adanya laporan peningkatan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Sebagaimana dilansir oleh suara.com bahwa CEO dari jaringan nasional anti KDRT di Amerika Serikat, Deborah Vagins menyatakan tingkat KDRT naik selama masa isolasi terkait pandemi corona Covid-19. 

Di Perancis dilaporkan, tingkat KDRT naik sepertiga dalam satu pekan. Di Afrika Selatan, terdapat hampir 90.000 kasus. Di  Australia, pencarian daring untuk dukungan KDRT meningkat 75%. Di Cina, lembaga non-profit anti-KDRT, Wan Fei, melaporkan terjadi lonjakan signifikan kasus KDRT dimana 90% penyebabnya terkait Covid-19.  Begitu juga di  Turki, para aktivis menuntut perlindungan lebih besar setelah pembunuhan perempuan naik tajam pasca diberlakukan “stay at home” pada 11 Maret.  (Beritasatu.com, 6/4/2020). 

Sedangkan di Inggris, anggota Parlemen Britania Raya, Dawn Butler, meminta pemerintah mengalokasikan dana darurat untuk membantu orang yang melarikan diri dari KDRT selama krisis. Banyak wanita dibunuh setiap pekan oleh pasangan atau mantan pasangannya. (republika.co.id, 22/3/2020).

The Straits Times juga melaporkan kejadian serupa terjadi di Jepang. Dijelaskan oleh media tersebut bahwa para korban KDRT tidak memiliki tempat lain untuk menghindari kekerasan selama krisis virus corona. Hal ini disebabkan para perempuan harus berdiam diri di rumah dan tidak mendapatkan kunjungan dari teman ataupun sanak keluarga. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di masa pandemi ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) memberikan data nasional bahwa sejak 16 Maret hingga 30 Maret 2020 terdapat 59 kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan online pornografi. Di antara kasus tersebut, 17 di antaranya adalah kasus KDRT. Menurut LBH Apik, jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelum diberlakukannya PSBB (tirto.id, 15/4/2020). 

 

Menelisik Penyebab Peningkatan KDRT

Di masa program “stay at home” ternyata diberitakan adanya peningkatan KDRT. Mengapa hal ini terjadi? António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB mengatakan pandemi covid-19 menimbulkan ketidaksetaraan gender. Kemudian demi mengawal agar kebijakan negara sesuai dengan kesetaraan gender, Deputi Direktur Eksekutif UN Women, Åsa Regnér membuat check list yang berisi 10 pertanyaan yang ditujukan kepada para pemangku kekuasaan atas kebijakan yang mereka buat untuk mengatasi dampak Covid-19 terhadap perempuan (www.unwomen.org).

Ada hal yang cukup menggelitik. Lembaga Internasional dunia menganalisa bahwa yang menyebabakan peningkatan KDRT di dunia di masa pandemi corona karena ketidakadaan kesetaraan gender.  Seolah perempuan lah yang paling menderita dengan adanya wabah virus corona ini. Sebagaimana juga, pegiat gender menganggap perempuan sebagai pihak yang paling hebat merasakan dampak pandemi ini. Mereka adalah pihak yang paling rentan mengalami resiko penularan berikut juga terdampak dalam hal ekonomi. Hal ini dikarenakan sebagian besar pekerja dimana mereka juga sebagai orang tua adalah perempuan. Di sisi lain, mayoritas perempuan bekerja di sektor informal. Hal ini menjadikan kehidupan mereka semakin tidak terjamin dengan adanya pandemi ini. 

Sedang kebijakan pemerintah untuk “stay at home” dianggap telah menambah beban bagi perempuan di rumah, karena harus merawat anak-anak dan keluarga. Kebijakan belajar di rumah juga pada akhirnya mewajibkan wanita harus mengajari anak-anak sehingga tugas mereka bertambah. Selain itu, mereka harus mau menerima pemasukan keluarga yang jauh berkurang. Semua beban tersebut menjadikan banyaknya pertengkaran di dalam keluarga hingga menyebabkan bertambahnya KDRT. Demikianlah, banyak sekali narasi-narasi di dalam pemberitaan yang menganggap bahwa perempuanlah korban terberat pandemi covid-19. 

Padahal faktanya pandemi Covid-19 bukan hanya menyerang perempuan, namun juga laki-laki. Bahkan bapak-bapak tidak bisa untuk bekerja dengan adanya anjuran “stay at home”. Bahkan banyak pula yang tak mengindahkan adanya anjuran “stay at home” karena mereka lebih memilih mati karena mencari nafkah buat keluarga, dibanding di rumah namun keluarga mereka mengalami kelaparan. 

Memang benar, saat ini ada peningkatan jumlah perempuan korban kekerasan di masa pandemi covid-19 namun hakikatnya KDRT bukanlah karena covid-19. Kekerasan terhadap perempuan terus terjadi karena menganggap manusia memilki kebebasan perilaku. Kebebasan perilaku inilah salah satu nilai yang dijamin oleh kapitalisme. Akibatnya tindak kekerasan terus terjadi, meski sudah ada berbagai aturan bahkan konvensi internasional seperti CEDAW dan lain-lainnya. 

Masyarakat kapitalisme-sekuler tidak memiliki keyakinan akan pertanggungjawaban di hari akhir. Hal inilah yang membuat mereka berbuat sekehendak hatinya. Ide Hak asasi Manusia (HAM) yang menjadi penjaga kapitalisme, menambah subur tindak kekerasan terhadap perempuan. 

Para pegiat gender juga menganggap kebijakan bekerja dari rumah menambah beban perempuan.  Mereka diharuskan melakukan pekerjaan rumah yang sejatinya merupakan “unpaid work”. Sungguh pandangan materialistis khas kapitalis. Padahal dalam pandangan Islam aktivitas perempuan ini adalah tugas mulia yang bernilai ibadah. 

Sedangkan penderitaan perempuan yang bertambah di masa pandemi sejatinya karena negara kapitalis tidak memiliki pandangan bahwa kehidupan rakyat adalah dijamin oleh negara. Rakyat dibiarkan hidup dan melawan virus ini sendiri. Bahkan banyak kebijakan yang anomali. Sebagaimana kita ketahui di Indonesia misalnya di tengah kelangkaan APD, pemerintah justru melakukan ekspor. Begitu juga di tengah wabah, pemerintah justru membebaskan puluhan ribu napi yang hal ini semakin menghilangkan rasa aman bagi rakyat. Demikianlah, justru kapitalisme-sekuler yang membuat penderitaan dunia. 

 

Islam Penjaga Kehidupan Manusia

Berbeda dengan sistem Islam. Allah SWT telah menurunkan Islam sebagai sistem hidup manusia yang sempurna dan paripurna yang mampu menyelesaikan seluruh problem kehidupan manusia di dunia, termasuk pandemi Covid-19 yang saat ini sedang terjadi. 

Allah telah mewajibkan negara untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan rakyatnya, laki-laki dan perempuan, sepanjang masa, dalam kondisi aman maupun krisis. Oleh karena itu, berbagai persoalan yang muncul sekarang ini, yang merupakan dampak penerapan sistem kapitalis, dengan ide kesetaraan gender dan HAM, tidak akan pernah terjadi. 

Islam memandang laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama sebagai manusia, dan menjadikan ketakwaan sebagai ukuran kemuliaan manusia. Islam mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah, dan menjamin nafkah perempuan dengan berbagai mekanisme sesuai tuntunan Allah SWT. Dengan demikian perempuan dapat dengan tenang dan aman menjalankan perannya sebagai istri, ibu, dan pendidik generasi. 

Islam juga menjamin keamanan perempuan dari berbagai kekerasan karena kekerasan adalah kemaksiatan yang ada sanksinya dunia maupun akhirat. Islam memiliki mekanisme sempurna dalam mengatur peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sesuai dengan kodrat masing-masing, sebagaimana juga mengatur berbagai sektor kehidupan lainnya. Demikianlah, sejatinya hanya dengan penerapan Islam secara kaffah lah semua problematika akan bisa terselesaikan. Wallahu a'lam bi shawab.*


latestnews

View Full Version