View Full Version
Senin, 25 May 2020

Pendemi Menghantam Negeri, KDRT kian Bersemi; Salah Siapa?

 

Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S

Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitu kiranya pepatah yang pas untuk kondisi sebagian besar masyarakat di masa pandemi ini. Sudahlah dikepung ancaman penyakit mematikan, rakyat harus menelan pil pahit kehidupan, yakni hilangnya pendapatan akibat adanya PHK besar-besaran.

Kebutuhan hidup yang mendesak, namun tidak diiringi dengan daya beli pada akhirnya mengakibatkan masyarakat terserang stress bahkan depresi. Dan tak sedikit hal tersebut pada akhirnya menjadi pemicu terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Sebagaimana diberitakan oleh CNNIndonesia.com (21/04/2020) bahwa selama periode 16 Maret hingga 19 April 2020, Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta menerima 97 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan selama wabah virus corona (Covid-19) merebak. Paling banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Koalisi PEKAD (Peduli kelompok Rentan Korban Covid-19) menilai anjuran “di rumah saja” menimbulkan polemik tersendiri kepada perempuan dan anak. Anjuran tersebut menimbulkan kekhawatiran akan masa depan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang mengalami tekanan ekonomi dan psikis di rumah tangga. (Tempo.co/15-04-2020)

KDRT merupakan salah satu pelampiasan negatif seseorang akibat tekanan psikis yang berat. Pandemi sudah hampir 3 bulan menyelimuti negeri. Korban terus berjatuhan. Roda perekonomian tersendat. Penanganan pandemi oleh penguasa dirasakan sangat lambat. Dan nasib rakyatpun kian di ujung tanduk. Sungguh jelas bahwa pandemi ini telah memukul semua pihak. Bukan hanya kaum perempuan dan anak, tapi juga kaum laki-laki sebagai penanggungjawab keluarga. Betapa tidak, di tengah pandemi ini, para kepala keluarga harus memutar otak agar dapur keluarga tetap mengepul.

Dengan demikian, terjadinya KDRT menjadi hal yang jamak terjadi. Apalagi jika tak ada pondasi keimanan yang kokoh di dalam diri, sehingga depresi mampu mendorong seseorang untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan terhadap pasangan atau anak sendiri. Kalau sudah begitu, siapa yang harus disalahkan? Rakyat yang stress karena depresi akibat tekanan hidup akibat pandemi? Ataukah penyebab tekanan hidup itu sendiri yakni penerapan sistem sekular kapitalis?

Jelas sekali bahwa depresi rakyat hanyalah implikasi dari penerapan sistem rusak di negeri ini. Dengan sistem itu pulalah melahirkan para penguasa yang tak mampu menyelesaikan permasalahan rakyat secara hakiki.

Sungguh kapitalisme adalah akar penyebab segala permasalahan  yang membelit rakyat. Bahkan dalam kasus KDRT di masa pandemi ini pun, kapitalisme penyebabnya. Bukan bercokolnya sistem patriarki sebagaimana yang dituduhkan kaum feminis. Maka, solusi atas permasalahan KDRT di negeri ini bukanlah kesetaraan gender, tapi membuang jauh sistem kapitalisme sebagai basis pengaturan urusan rakyat. Sebab kapitalisme telah gagal dalam menyejahterakan rakyat. Betapa tidak, secara asasi sistem kapitalis menjadikan negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan pemelihara urusan rakyat secara langsung. Sementara, segala bentuk pelayanan untuk rakyat diserahkan kepada swasta dan asing.

Pada akhirnya, kapitalisme juga tidak mampu memberi jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya di masa pandemi. Jika pun ada bantuan, maka mekanismenya ribet dan berbelit-belit sehingga sangat menyulitkan rakyat.

Alangkah berbeda dengan pengurusan penguasa di dalam sistem Islam. Tercatat dalam sejarah, bahwa Umar Bin Khattab sebagai pemimpin pada masa diterapkan Islam, melakukan pemeliharaan yang maksimal terhadap rakyatnya. Bahkan Umar langsung membantu dengan tangannya sendiri tanpa embel-embel pencitraan.

Ya, sebab Umar memimpin dengan ketakwaan, bukan mengejar materi dari jabatan kepemimpinannya. Begitulah watak kepemimpinan dalam sistem Islam, penuh idealisme lagi amanah. Hal tersebut sejalan dengan visi kepemimpinan dalam sistem Islam yakni sebagai pelaksana hukum syariat di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, pemimpin dalam sistem Islam berfungsi sebagai pelayan rakyatnya. Sebab kelak, amanah kepemimpinan tersebut akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Maha Pencipta.

Maka sistem Islam tak hanya mampu menjaga keutuhan keluarga, namun juga mampu menciptakan kesejahteraan kepada seluruh umat manusia, baik Muslim maupun nonmuslim. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version