View Full Version
Kamis, 04 Jun 2020

Stay at Home dan Femininitas Bunda

 

Oleh: Widya Fauzi

Tiga bulan sudah Covid-19 mewabah di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, angka positif penderita Covid-19 yang terus bertambah membuat masyarakat kian resah. Mempertanyakan kapankah virus mematikan ini akan berakhir?

Saya sebagai ibu rumah tangga pun merasakan keresahan yang sama. Wajar kiranya, karena saat ini saya diamanahi 2 anak yang masih sangat kecil. Namun, saya mencoba setenang mungkin menghadapi kondisi ini agar bisa menangkap signal kasih sayang Allah pada keadaan ini. Bukankah segala yang telah Allah tetapkan adalah yang terbaik?

Bagi saya situasi pandemic yang menuntut kita untuk "stay at home" merupakan kesempatan yang Allah berikan untuk kembali mengasah femininitas saya sebagai bunda yang semakin menurun kualitasnya.

Kenapa femininitas?

Dalam kuliah parenting bersama Ustadz Adriano Rusfi, beliau memaparkan bahwa peran utama bunda adalah mengasuh anak. Banyak peran bunda yang semuanya berakar pada sifat feminin. Bunda adalah pemberi cinta dan ketulusan serta sosok yang sarat pengorbanan. Ketiga kualitas tersebut adalah kekuatan utama dalam mendidik anak.

Bunda adalah pengajar moralitas dan nurani. Pihak yang mampu menularkan karakter adalah orang yang memiliki ketulusan yang tinggi. Sedangkan ketulusan adalah milik orang tua, terutama bunda. Semakin tulus bunda semakin mudah menularkan karakter bermoral pada anak.

Bunda adalah pembangun hati dan rasa. Rasa ada di hati sedangkan penalaran ada di otak. Rasa lebih esensial daripada berpikir, kreativitas dan nalar karena sesungguhnya rasa selalu lebih dulu sampai di hati anak dibanding dengan penalaran. Tentu kita ingin anak-anak yang peka terhadap apa yang kita rasakan daripada sekedar menjadi anak pintar berlogika namun egois karena defisit rasa.

Bunda jugalah sang pembasuh luka dan penyedia femininitas di dalam rumah. Jika ayah adalah 'sang raja tega' maka bunda adalah pembasuh luka atas ketegasan sang ayah. Bayangkan jika anak memiliki bunda yang juga 'raja tega' . Apa yang akan dirasakan anak? Mungkin tertekan,frustasi hingga melahirkan anak-anak yang tak terkendali.

Nilai-nilai femininitas berbasis hati, perasaan, cinta, ketulusan, empati, kepedulian, dan intuisi. Semua ini harusnya dimiliki oleh bunda untuk memastikan pertumbuhan kepribadian dan kedewasaan anak-anak berlangsung secara utuh dan lengkap.

Apa yang akan terjadi jika sang bunda tidak memiliki sense of femininitas yang tinggi?

Anak yang dididik oleh dua orangtua yang maskulin atau dengan kata lain ayah dan bundanya bersifat maskulin menyebabkan lahirnya anak-anak dengan defisit nurani. Contohnya, tidak sedikit anak-anak yang melakukan kesalahan namun  ia enggan meminta maaf. Tidak pernah merasa bersalah padahal ia salah. Naudzubillahimindzalik..

Maka, bagi saya pribadi momen 'stay at home' karena Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir adalah momen untuk mengasah kembali femininitas saya sebagai bunda dalam rangka berkontribusi membangun kembali generasi peradaban umat ini. Semoga kita dimampukan oleh Allah untuk memulihkan dan menghidupkan kembali karakter feminin bunda di rumah - rumah kita. Mari kita nikmati momen 'stay at home' bersama keluarga tercinta. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version