View Full Version
Senin, 08 Jun 2020

Tapera, Program Zalim Pengurang Jatah Belanja Keluarga

 

Oleh: Henyk Nur Widaryanti

Keuangan merupakan masalah yang krusial bagi para emak. Dengan pendapatan kepala keluarga yang pas-pasan para emak harus strong. Mereka harus mampu mengelola keuangan rumah tangga, membaginya dan meratakan agar cukup sampai sebulan. Bagi keluarga yang penghasilannya hanya berpangku dari suami saja, tentu harus hidup SSS (sangat sederhana sekali).

Namun, kini keuangan para emak kembali terguncang. Pasalnya, gaji para suami tak lagi sebesar sebelumnya. Ada potongan baru yang disebut Tapera alias Tabungan Perumahan Rakyat. Tapera ini konon diwajibkan bagi seluruh ASN, TNI, Polri, BUMN, BUMD dan nantinya juga pada karyawan swasta. Program ini akan memotong 2,5% besar gaji tiap karyawannya. Untuk Tapera sendiri sebenarnya potongannya 3%, sisanya yang 0,5% dibayar oleh pemberi kerja. Ini adalah program baru, disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020.

Nantinya Tapera diharapkan dapat membantu para pekerja mendapatkan rumah. Tentunya dengan mekanisme yang telah ditentukan. Dengan mengajukan pinjaman dahulu ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Jika sudah punya rumah tak perlu potongan Tapera? Ternyata salah besar, bagi mereka yang sudah memiliki rumah tetap dipotong. Menurut Komisioner BP Tapera Adi Setianto pada cnbnindonesia (5/6) mereka dapat mengajukan pinjaman renovasi rumah. Jadi intinya, mau punya rumah atau tidak, tetap dipotong.

Yang perlu digarisbawahi, program ini menyasar para MBR (Masyarakat Berpendapatan Rendah). Alasannya agar dapat membantu mereka untuk mendapatkan rumah. Namun, tanpa disadari kebijakan baru ini justru menambah beban para emak. Dengan pendapatan suami mereka yang berkurang 2,5% maka para emak harus putar pikiran untuk membagi keuangan.

Hitungan kasarnya jika pendapatan suami berkisar 3-4 juta rupiah, berarti potongan tapera sekitar 75-100 ribu rupiah. Bagi para emak uang seribu rupiah saja itu berharga, apalagi 75-100 ribu rupiah. Uang segitu bisa dipergunakan memenuhi kebutuhan beberapa hari. Itu jika mereka hidup di kota kecil atau di desa. Kalau hidup di Jakarta, lumayan bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari.

Belum lagi jika para emak kudu menyisihkan uang pajak kendaraan bermotor, bayar BPJS, bayar listrik, bayar air, bayar kontrakan (jika masih ngontrak), bayar SPP anak (kalau masih TK gampang, tapi jika sudah kuliah?), kebutuhan rumah tangga sehari-hari, belum tagihan pinjaman atau kredit lainnya. Apalagi di masa pandemi saat ini, apa-apa susah, kerja juga penuh was-was. Bagaimana para emak bisa tenang?

Yang pasti, mereka harus bisa bertahan dengan kondisi seperti ini. Hidup harus terus berputar. Dapur harus terus mengepul. Para emak kudu pintar membagi keuangan, apalagi mereka yang hidup di kota macam Jakarta atau Surabaya. Semua serba uang. Mau makan kalau tidak ada uang ya kelaparan. Jadi, dengan kebijakan baru ini jangan rewel jika makan sehari-hari hanya nasi, sambel, tahu atau tempe.

Lebih dari itu, para emak tentu berharap kebijakan ini tak perlu ada. Karena jangankan memikirkan rumah, untuk memenuhi hidup yang pas-pasan saja itu ngos-ngosan. Andaikan emak-emak super ini boleh ngomong, mereka jauh lebih bahagia hidup tanpa tanggungan utang, daripada setiap malam tidak bisa tidur gara-gara terlilit utang. Jadi, program Tapera yang mendorong pesertanya pinjam di bank atau lembaga keuangan lainnya ini justru menambah beban pikiran para emak.

Belum lagi kalau ternyata para emaknya ngerti agama. Pastinya mereka tak mau mengajukan pinjaman berbunga hanya demi punya rumah sendiri. Tanggungannya berat di akhirat. Para emak merasa tidak kuat. Mereka tahu dosa paling ringan riba itu seperti dosa seorang anak berzina dengan ibunya. Kan ngeri, zina aja sudah dosa besar. Nah ini berzina dengan orang tua. Beban mental lahir batin pasti. Apalagi bagi penyedia jasa riba dan pengaturnya, mungkin bisa lebih besar lagi ya dosanya. Para emak tidak kuat membayangkan.

Emak yang cerdas pastinya selalu tidak pernah ketinggalan info. Mereka akan mengikuti update berita terkini. Entah lewat media online, media sosial maupun televisi. Sebagaimana yang sudah-sudah,  setiap ada kebijakan baru selalu ada pihak tertentu yang memanfaatkan. Seperti program e-KTP dulu, dana yang dikeluarkan trilyunan tapi dikorupsi oleh orang-orang berkepentingan. Bagaimana dengan Tapera? Kalau ada yang pihak yang seperti itu, emak tidak akan terima. Para emak akan menjadi garda terdepan menuntut ketidakadilan itu diselesaikan. Mengingat prestasi negeri ini nomor 4 tingkat korupsinya di Asia Tenggara.

Ini kan berupa tabungan, jadi sedikit-sedikit kalau dikumpulkan pasti banyak. Mungkin ada yang beralasan seperti itu. Uang itu disimpan dimana? Tetap di bank atau di BP Tapera? Atau justru karena bersifat tabungan, uangnya diputar untuk investasi, atau dipakai untuk menutupi kebutuhan defisit negara? Semua itu bisa saja terjadi. Seperti wacana penggunaan dana talangan haji untuk menutupi defisit akibat covid, jika dana itu tidak jadi dipakai haji tahun ini. Kalau dipakai investasi, siapa yang diuntungkan? Tentunya bukan para emak. Karena mereka setiap hari "ngempet" pengeluaran. 

Tapi kalau dipakai nutupin defisit keuangan, para emak bisa kecipratan pahala karena membantu dan memberi pinjaman pada negara yang butuh suntikan dana. Apa iya semudah itu? Tentunya harus jelas aqodnya, kalaupun tabungan itu mau dipakai harus bilang sama semua emak di negeri ini. Minta keridhoan mereka. Masak iya, setingkat negara minjam pada emak-emak berdaster? Mereka tak punya harta, yang mereka punya adalah doa yang mustajab.

Terakhir, kalau emak boleh ngomong. Andai kekayaan negeri ini dikelola sendiri dan seratus persen pendapatan masuk ke kantong negeri, maka tidak akan sampai mengalami defisit yang luar biasa. Andai negeri ini berani ambil keputusan tak lagi terlibat riba, sepertinya hidup kita pun juga tak akan "nelangsa". Pontang-panting cari pinjaman, gali lubang tutup lubang. Sayangnya belum ada lubang yang tertutup. Para emak peduli dengan kondisi negeri ini. Meskipun emak-emak sering menjadi korban kebijakan dan uang belanja terus ditekan, tapi emak tetap sadar bahwa negeri ini butuh perubahan. Perubahan cara memimpin, pun perubahan pemimpin yang adil.

Emak berdoa semoga ke depan, masa depan bangsa tak tergadaikan. Kita bisa mendapat pemimpin yang adil dan terpercaya. Pemimpin yang taat pada Sang Maha Kuasa. Ingat! doa orang teraniaya itu akan dikabulkan Allah SWT. Emak sekarang ini merasa teraniaya, karena belanjaannya berkurang sedang beban keluarga bertambah. Wallahua'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version