Oleh:
Henyk Nur Widaryanti
ANAK adalah permata bagi orang tuanya. Ia bak mutiara yang memberikan kebahagiaan bagi seluruh rumah. Lebih dari itu anak adalah tanggung jawab orang tua. Menyiapkan mereka menjadi generasi yang terbaik dan penerus bangsa adalah tanggung jawab orang tua. Apalagi Emak, yang memiliki tugas ibu dan pengatur rumah tangga. Memiliki keistimewaan mendidik anak sejak kandungan adalah hadiah sekaligus amanah terbesar dalam hidupnya.
Emak perlu menyiapkan rencana pendidikan anaknya. Dari pendidikan di rumah, sampai pendidikan di sekolah. Agar ketika besar, si anak dapat membedakan baik dan buruk. Mereka tak mudah terjerumus dengan fatamorgana dunia. Baik di masa remaja maupun dewasa. Sehingga mereka dapat menjadi mutiara umat, keluarga bahkan agama.
Namun, bagaimana mau dikata berhasil. Emak milenial zaman sekarang sedang dibingungkan dengan penyajian tontonan yang jadi tuntunan anak-anaknya. Di era belajar di rumah, justru setiap prime time anak-anak di suguhi sajian-sajian film yang kurang didikan. Sebut saja film yang menceritakan anak SMP yang hamil di luar nikah, adanya gap antara si kaya dan si miskin, dunia percintaan para remaja yang dihiasi dengan pelukan, pegangan tangan, berkhalwat, bahkan hingga sajian film pelakor atau istri yang dianiaya.
Semua lengkap dengan bumbu-bumbu dramatis yang siap mengocok perasaan penontonnya. Dalih stasiun tv hanya menyajikan film atau tayangan yang ramai dan diminati masyarakat membuat kita faham akan satu hal. Mereka ada untuk meraup bisnis yang sebesar-besarnya. Bukan untuk mendidik para generasi negeri ini. Walaupun ada beberapa tayangan yang memang mendidik, tapi mungkin hanya 10% dari seluruh program yang ada.
Jika makanan hiburan anak-anak hanya sebatas itu saja. Bagaimana mereka bisa membedakan baik dan buruk. Kebanyakan mereka akan cenderung menikmati sajian ini karena pemainnya ganteng/cantik, ceritanya lucu, ceritanya mengharukan dll. Bukan mengambil ibrah bahwa semua itu salah dan tak patut dicontoh. Mereka bisa jadi tahu kalau semua hanya drama, tapi tetap saja hanyut dalam cerita itu. Dan tidak sedikit pula yang membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Bagaimana jika akhirnya dipraktikkan?
Meskipun dalam setiap tontonan diberi label SU untuk semua umur, 13+ untuk usia 13 tahun ke atas, BO perlu bimbingan orang tua. Label itu hanya semacam pemberitahuan. Tidak akan ada jaminan dapat menyaring siapa yanga menontonnya. Bahkan kadang kala para anak justru diam-diam mencuri waktu untuk menonton tayangan yang tak senonoh.
Jika sajian ini terus dibiarkan, jangan kaget kalau para Emak jadi stress. Anaknya tak lagi jadi penurut, mereka lebih suka nongkrong bareng teman daripada bercengkrama dengan keluarga, tidak adanya komunikasi yang baik antar anggota keluarga, mulai membantah orang tua, hingga diam-diam mencuri waktu pacaran dengan lawan jenisnya.
Untuk mengantisipasi itu semua para Emak kudu multitalenta. Selain sebagai Emak, seyogyanya bisa menjadi teman curhat si anak. Ada setiap waktu ketika anak membutuhkan. Menemani anak saat mereka memilih tontonan. Hingga harus up date dunia remaja sekarang seperti apa. Yang paling penting sejak dini si anak perlu diberikan bimbingan keimanan. Dan cara membedakan mana yang benar dan salah.
Hanya saja, tugas Emak di era saat ini tidaklah mudah. Si Emak mendidik A, tapi lingkungan dan tontonannya ngajak ke B atau C. Akhirnya tidak ada sinkronisasi antara si Emak dan lingkungan. Hal ini akan menghambat pendidikan si anak. Bahkan anak akan cenderung bingung. Alhasil mereka akan memilih yang dianggap tidak ribet dan tidak cerewet.
Maka, untuk membantu proses pendidikan para Emak diperlukan lingkungan yang mendukung. Baik dari keluarga, tayangan di tv, masyarakat, sekolah hingga tatanan kebijakan. Tayangan tv akan mendukung pendidikan yang baik berasaskan keimanan jika kebijakan dari para pembuatnya juga mendukung hal itu. Tapi, jika tak ada kebijakan dari pusat, stasiun tv akan menyajikan tayangan yang menurut mereka menguntungkan. Bukan mendidik atau tidak.
Keluarga pun demikian, mendidik anak bukan sekadar tugas Emak. Tapi seluruh anggota keluarga perlu urun rembug dan ambil bagian. Ayah bahkan kakek dan nenek yang tinggal serumah dengan mereka harus ikut berperan mendidik anak. Jika ada perbedaan, akibatnya akan fatal. Akan muncul gap antara anggota keluarga, yang membuat anak justru tak nyaman. Dan membuat mereka akan memilih kutub yang menguntungkan si anak.
Masyarakat termasuk sekolah juga ikut bersinergi mendidik anak agar terbentuk kepribadian yang baik. Semua itu tak akan bisa terlaksana jika tak ada dukungan pusat si pembuat kebijakan. Jika ada aturan dan kurikulum yang benar, akan dipastikan menghasilkan anak-anak yang tidak hanya kompeten di bidangnya tapi juga beriman. Iman inilah yang akan menjaga perilaku si anak dari keburukan. Wallahua'lam bishowab.*