Oleh: Widya Fauzi
Takkan habis kata bila berbicara tentang cinta. Banyak hal yang terbesit di pikiran saat memikirkan kata cinta. Dari persoalan sepasang dua sejoli menjalani sebuah hubungan indah bersama, cinta tak berujung orangtua pada anaknya, hingga memikirkan begitu besar cinta Allah SWT pada setiap makhlukNya.
Berbicara cinta, tidakkah kita terpikir darimana cinta itu terlahir? Banyak orang yang mengatakan "cinta datang dari mata turun ke hati". Tapi bagaimana dengan makna ungkapan "Jika wajah yang membuatmu jatuh cinta, bagaimana kau mencintai Allah yang tak berupa?"
Jika benar cinta datang dari mata turun ke hati, lalu bagaimana dengan maraknya kasus perceraian di kalangan para artis. Kurang tampan dan cantikkah mereka? Kurang menawankah mereka di mata pasangannya sehingga cinta yang awalnya ada di hati mudah terpatahkan karena satu dan lain hal hingga harus berakhir di meja sidang perceraian?
Bukankah cinta itu tulus, setulus kasih ibu pada anaknya. Walau rasa jengkel kerap hinggap di hatinya. Bukankah cinta itu abadi, seabadi cinta Allah pada makhlukNya. Bukankah karena kasihNya kita bisa menikmati apa yang ada di bumi dan di langit dari sejak terlahir ke dunia hingga akhir hayat kita?
Jika demikian, darimana sebenarnya cinta itu terlahir?
Dalam sebuah kajian bersama Ustadz Adriano Rusfi, beliau mengatakan cinta tidaklah lahir dari mata turun ke hati. Cinta sesungguhnya turun dari langit ke bumi karena sumber cinta yang hakiki adalah Allah. Allah adalah pemilik cinta tertinggi yang tidak ada habisnya. Cinta Allah adalah cinta yang murni sementara cinta pada selainNya penuh dengan syarat, pamrih dan berbatas waktu. Menurut Ustadz Aad, demikian beliau biasa disapa, cinta itu terlahir dari dua cara;
Pertama, cinta lahir dari rasa syukur, baik sangka dan optimisme.
Syukur yang bukan hanya sekadar ucapan, yang dengan syukur itu ia kan mampu melahirkan optimisme dan prasangka baik. Ketika kita bersyukur maka kita akan memiliki banyak cinta dan kasih sayang. Syukur bermakna mengakui nikmat Allah serta mendayagunakannya untuk kemashlahatan yang sebesar-besarnya untuk umat. Jadi syukur adalah perbuatan untuk mendayagunakan nikmat yang Allah berikan agar nilai kebaikannya menjadi bertambah. Dengan bersyukur kita pun akan lebih jeli melihat sisi baik dari segala hal sehingga kita bisa mengutamakan prasangka baik.
Rasa syukur ini pula yang akan membuat kita memiliki jiwa yang lebih lapang mampu melihat perspektif lain yang penuh hikmah bahkan dari kesedihan musibah dan kemalangan. Kita perlu melihat sisi baik dari setiap hal yang terjadi. Sehingga rasa syukur kemudian akan melahirkan cinta, karena cinta tidak akan lahir dari yang kufur nikmat. Orang yang tidak bersyukur akan memiliki dada yang terasa sempit tidak nyaman dan mudah mencari sisi buruk dari dalam dirinya. Orang-orang yang kurang atau tanpa syukur akan kesulitan melahirkan rasa cinta dalam dirinya.
Ternyata saat kita bersyukur, Allah akan melapangkan hati kita sehingga kita akan mampu menghadapi kehidupan dengan optimis. Maka jika boleh saya menyimpulkan; Syukur, baik sangka dan optimisme itu satu paket. Bermodalkan syukur orang akan berbaik sangka dan dengan bermodalkan baik sangka orang akan optimis.
Kedua, cinta lahir dari keindahan, kelembutan hati dan kebaikan.
Cinta datang dari keindahan. Maka kita perlu menghadirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan ke dalam diri kita, keluarga dan kehidupan kita. Dengan mentadaburi indahnya ciptaan Allah misalnya. Cinta juga datang dari kelemahlembutan dan kebaikan. Bukankah Allah tidak menyukai orang yang kasar? Rasulullah saw adalah sebaik-baik manusia dengan kelembutan hatinya. Menurut ust Adriano Rusfi, kita perlu melakukan banyak kebaikan. Karena kebaikan berbuah doa. Doa inilah yang kemudian akan melahirkan kelembutan, cinta dan kasih sayang.
Maka jika demikian semua hal ini (syukur, optimisme, keindahan, kelembutan dan kebaikan) adalah penyebab-penyebab hadirnya cinta dalam kehidupan kita. Jangan tertipu pada propaganda cinta para kapitalis. Cinta yang hakiki bukanlah cinta semu yang hanya berpusat pada eksplorasi fisik semata lalu bermuara pada nestapa nafsu belaka. Namun, cinta yang hakiki akan melahirkan kenyamanan dan ketenangan hidup karena ia yakin Sang Maha Cinta telah menanti kembalinya jiwa-jiwa yang muthmainnah penuh cinta pada Rabb-Nya, sebagaimana firman Allah :
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (QS. Al-Fajr: 27-30).
Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google