Oleh: Ratih Raraswati *)
Pemerintah Indonesia membuat peraturan terkait usia minimal calon pengantin dengan harapan terwujud perkawinan yang baik tanpa berakhir dengan perceraian. Undang-Undang Nomor 16/2019 tentang Perkawinan membatasi minimal calon pengantin putri berusia 19 tahun. Hal ini dipandang usia tersebut telah memiliki kematangan dalam jiwa dan raga untuk menjalankan pernikahan.
Batas minimal usia bagi calon pengantin putri telah ditetapkan, namun pernikahan dini semakin banyak terjadi di Indonesia bahkan saat pandemi melanda negeri ini. Jawa Barat merupakan penyumbang angka perkawinan usia muda tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020.
Menurut Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susilowati Suparto mengatakan, peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi.
Selain faktor ekonomi, kehamilan remaja sebelum pernikahan juga banyak terjadi. Hal ini dapat dilihat dari ratusan calon pengantin yang mengajukan permohonan dispensasi nikah sebagaimana disampaikan oleh Ketua Panitera Pengadilan Agama Jepara Taskiyaturobihah:
”Dari 240 pemohon dispensasi nikah, dalam catatan kami ada yang hamil terlebih dahulu dengan jumlah berkisar 50-an persen. Sedangkan selebihnya karena faktor usia yang belum sesuai aturan, namun sudah berkeinginan menikah,” dilansir dari Antara di Jepara pada Minggu (26/7).
Kehamilan sejumlah remaja perempuan yang nyata-nyata belum melangsungkan pernikahan, bahkan banyak di antaranya masih berstatus pelajar sekolah menengah. Berita tersebut banyak kita temukan liputannya, di antaranya ada di liputan6.com ataupun di idntimes.com.
Kehamilan remaja putri di luar nikah tentu menjadi masalah yang harus segera dicari penyebabnya dan diselesaikan secara cepat dan tepat. Mengapa perzinaan yang diharamkan Allah SWT terus mengalami peningkatan? Dan apa solusi yang tepat untuk menuntaskan permasalahan ini? Berikut penelusuran yang perlu dipahami sebagai penyebabnya:
Pertama: Usia di bawah 19 tahun dianggap sebagai anak-anak yang belum memiliki kematangan dalam melangsungkan pernikahan. Namun pada faktanya, mereka dapat melakukan hubungan badan selayaknya suami-istri tanpa paksaan bahkan bisa terjadi berulang dan tak jarang berujung pada kehamilan. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisik dan biologis, remaja yang belum genap 19 tahun telah dewasa dan matang melakukan hubungan seks. Sehingga penetapan batas minimal usia pernikahan 19 tahun menjadi tidak relevan untuk diterapkan.
Kedua: kebebasan yang melahirkan pornografi dan pornoaksi dalam film, sinetron, tayangan iklan, atau adegan langsung dalam kehidupan nyata menjadi pendorong munculnya naluri seks bagi orang-orang yang sudah mengalamai kedewasaan biologis. Liberalisasi yang dipegang oleh para pencari kapital ini menghalalkan berbagai cara tanpa memperhitungkan dampak negatifnya. Rangsangan tersebut dapat menimbulkan perilaku pemerkosaan atau perzinaan bagi orang yang tidak mampu meredam gejolak seks.
Ironisnya, pemerintah kebijakan yang diambil pemerintah bukannya menghentikan penyebaran pornografi dan pornoaksi, namun justru cenderung memeliharanya karena dianggap bisa menambah pendapatan negara.
Adanya lembaga sensor pun lebih pada basa-basi tanpa arti. Tayangan merusak akhlak dan moral remaja tetap saja berseliweran dan bisa diakses siapa pun. Negara sekadar menyeru orang tua dan keluarga bertindak selektif memilihkan tayangan anak-anak mereka dan menganjurkan untuk mendampinginya. Seharunya, negara mampu menghapus dan melarang tayangan tersebut.
Ketiga: dominasi kapitalisme negara gagal menjamin kesejahteraan keluarga. Solusinya, semua anggota keluarga terpaksa banting tulang ikut bekerja untuk menambah penghasilan. Ibu yang seharusnya berperan mendidik putra-putrinya didorong untuk membantu perekonomian keluarga dengan dalih pemberdayaan perempuan.
Dalam kondisi sibuk bekerja itulah, kurangnya bahkan tidak ada lagi waktu mendampingi anak-anak dan memberikan pendidikan yang terbaik.
Keempat: kurang tegasnya sanksi bagi pelaku pemerkosaan maupun pelaku zina. Negara tidak memberikan hukuman yang berat bagi para pelaku zina. Bahkan justru memfasilitasi dengan menganjurkan pemakaian pengaman semisal kondom dan sebagainya. Atau memberikan dispensasi nikah pada usia di bawah 19 tahun (sesuai UU Perkawinan) karena kehamilan sebelum pernikahan.
Dari pemaparan di atas, maka yang menjadi masalah bukanlah melejitnya jumlah pernikahan di usia dini (di bawah 19 tahun). Namun yang jadi masalah adalah penyebab pernikahan dini karena kehamilan sebelum pernikahan. Hal inilah yang harus segera diselesaikan dengan solusi yang tepat dan cepat. Berikut solusi yang dapat diterapkan:
Pertama: meninjau ulang undang-undang perkawinan tentang pembatasan minimal usia 19 tahun bagi calon pengantin. Dalam Islam, syarat pernikahan adalah akil baligh. Sedangkan batasan akil baligh itu tidak diukur oleh usia, tapi oleh sampainya si anak pada batas-batas kedewasaan, yaitu haid bagi anak perempuan dan ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki.
Allah memerintahkan menikah dan akan memampukan seseorang yang telah siap untuk menikah. Ada banyak kebaikan dalam pernikahan yang didasakan pada niat karena Allah, sebagaimana Firman Allah SWT sebagai berikut:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”(QS. an-Nur: 32).
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum: 21)
Kedua: Negara wajib memastikan tidak adanya konten-konten media yang merusak akidah dan merusak akhlak masyarakat. Seperti kemusyrikan, sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), juga pornografi dan pornoaksi. Negara membuat hukuman yang tegas tentang larangan konten pornografi dan pornoaksi serta mampu bertindak cepat memberi hukuman pada siapa pun yang melanggar.
Ketiga: Negara wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya. Di antaranya memastikan kepala keluarga memiliki pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya.
Dalam kondisi ini, para ibu tidak akan dituntut ikut bekerja membantu mencari nafkah. Mereka akan memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan peran utama sebagai ibu pendidik anak-anaknya. Juga akan hadir mendampingi dan menjaga mereka dari setiap bahaya.
Keempat: Negara menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat.
Pelanggaran berupa zina akan dikenakan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah pernah menikah, dicambuk dan diasingkan untuk pelaku yang belum pernah menikah.
Kesimpulannya, bukan pernikahan dini yang menjadi masalah dan perlu solusi. Namun penyebab pernikahan dini karena kehamilan sebelum nikah (seks bebas) yang harus ditangani. Dengan menerapkan syariat Islam oleh negara, in shaa Allah semua dapat solusi. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)
*) Penulis lepas, Muslimah peduli generasi
Ilustrasi: Google