Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih
Anak-anak atau generasi muda merupakan aset terbesar suatu negara untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kualitas yang bagus agar bisa membawa negeri ini menjadi lebih baik.
36 tahun sudah perayaan Hari Anak Nasional diperingati di negeri ini. Namun kasus kekerasan terhadap anak setiap hari semakin meningkat. Hal ini harus menjadi perhatian bersama.
Miris. Kementerian Pemerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Kemen PPPA mengungkapkan, ada sekitar 1.962 anak menjadi korban kekerasan seksual selama pandemi Covid-19 (1 Januari hingga 26 Juni). Angka ini menunjukkan kekerasan seksual mendominasi dari semua kasus kekerasan pada anak dengan total 3.297 kasus (suara.com 18/7/2020).
Ternyata selama pandemi ini tidak hanya corona atau Covid-19 yang menjadi momok dan mengancam anak-anak tetapi kasus kekerasan pun terus membayangi hari-hari mereka.
Anak, Sasaran Empuk Predator
Di masa pandemi, hampir seluruh anak di Indonesia semakin sering mengakses internet. Belajar dari rumah, menuntutnya untuk berinteraksi dengan internet.
Menurut Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan para pelaku tindak pidana perdagangan orang mulai menyasar korban secara daring. Korban yang kebanyakan perempuan dan anak-anak ditarget melalui media sosial. Media internet digandrungi bukan hanya sebagai media transfer pengetahuan yang cepat dan murah, melainkan juga menjadi media komunikasi yang cepat dan efektif (republika.com, 30/7/2020).
Ketua KPPAD Kepri Erry Syahrial mengingatkan kita bahwa kasus eksploitasi seksual terhadap anak mulai meningkat menimpa remaja dan pelajar. Sehingga peristiwa ini harus diwaspadai dan dipahami oleh orang tua, guru, masyarakat dan anak itu sendiri (kompas.com, 29/7/2020)
Erry menambahkan ada beberapa faktor yang menyebabkan anak menjadi korban eksploitasi secara seksual. Diantaranya: Pertama, faktor kerentanan anak. Kerentanan anak disebabkan oleh kurangnya pemahaman anak, kurang perhatian dan kasih sayang orangtua, pengaruh kelompok teman sebaya yang juga menjadi korban duluan, dan terakhir hasrat meniru gaya hidup hedonis.
Kedua, faktor kerentanan keluarga. Misalnya kurangnya pengawasan orangtua pada anak, bermasalah dalam pola asuh, faktor ekonomi dan lainnya.
Ketiga, dampak negatif dari meningkatnya akses remaja terhadap penggunaan media sosial dan teknologi informasi. Teknologi memiliki dua sisi yang berbeda. Bisa positif dan negatif.
Kehadiran teknologi mempermudah semua orang dan berguna bagi pelajar. Namun disisi lain, penggunaannya yang berlebihan dan tanpa pengawasan orang tua, bisa disalahgunakan untuk hal-hal negatif dan membahayakan keselamatan anak.
Dan saat ini, teknologi menjadi sarana bagi pelaku kejahatan pada anak. Seperti eksploitasi seksual, pencabulan, trafiking dan lainnya.
Edukasi Sistemik
Setiap orang tua pasti mengalami kekhawatiran terhadap kondisi generasi yang banyak menjadi korban kekerasan dan kejahatan. Kekerasan terjadi di berbagai tempat, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di tengah masyarakat. Seolah tak ada tempat yang aman bagi mereka. Bagaimana Islam memberikan perlindungan bagi anak-anak?
Islam memiliki pandangan yang khas dan komprehensif dalam menyelesaikan kasus kekerasan dan kejahatan anak. Terdapat tiga pilar pelaksana aturan Islam yakni negara, masyarakat, dan individu/keluarga.
Kita tidak bisa menyelesaikan masalah kekerasan dan kejahatan anak hanya di lingkungan keluarga saja. Masyarakat dan negara juga memiliki andil besar dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Negara berperan sebagai pengayom, pelindung, dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Adapun mekanisme perlindungan dilakukan melalui penerapan berbagai aturan, diantaranya:
Pertama, Penerapan sistem pendidikan. Negara wajib menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Sehingga kurikulum pendidikan yang dirancang menghantarkan pada individu yang mampu melaksanakan seluruh kewajiban yang diperintahkan Allah dan terjaga dari kemaksiatan. Kurikulum ini bisa diterapkan melalui pendidikan formal maupun informal.
Selain di sekolah, orang tua juga memiliki peran penting dalam mendidik, menyayangi, dan menjaga anak-anak dari berbagai ancaman kekerasan, kejahatan, serta terjerumus pada azab neraka (QS. At-Tahrim [66]:6).
Di rumah, orang tua harus memberikan pemahaman pada anak terkait batasan aurat, konsep mahram, khalwat, menundukkan pandangan, batasan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam memandang, berbicara, berpegangan atau bersentuhan, dan pemisahan tempat tidur.
Masa pandemi ini kesempatan besar untuk kedua orang tua semakin dekat dengan anak-anaknya. Mereka bisa menginstal pemahaman yang utuh terkait hukum-hukum islam yang menjadi salah satu benteng penjagaan dari ancaman kekerasan maupun kejahatan lainnya.
Kedua, Penerapan sistem ekonomi Islam. Beberapa kasus kekerasan anak terjadi karena fungsi ibu sebagai pendidik dan penjaga anak kurang berjalan. Kekerasan seksual sering terjadi di rumahnya sendiri ketika ibu atau kedua orang tuanya hendak pergi.
Ya, tekanan ekonomi memaksa ibu untuk bekerja meninggalkan anaknya. Bahkan tak sedikit beredar berita anak tewas di tangan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena ibu tidak kuat menghadapi kesulitan hidup.
Kebutuhan dasar merupakan masalah asasi manusia. Maka dari itu, negara wajib menjamin pemenuhannya. Seharusnya negara menyediakan lapangan kerja yang cukup dan layak agar para kepala keluarga dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya.
Ketika negara bisa menjaminnya, maka tidak ada anak yang terlantar, tidak terjadi krisis ekonomi yang memicu kekerasan anak oleh orang tua yang stress, dan para ibu akan fokus pada fungsi utamanya yakni mengasuh, menjaga, dan mendidik anak.
Ketiga, penerapan sistem sosial. Islam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Diantaranya perempuan diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga kesopanan, larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan memperlihatkan dan menyebarkan perkataan serta perilaku yang mengandung erotisme dan kekerasan (pornografi dan pornoaksi).
Ketika sistem sosial Islam diterapkan, maka akan meminimalisir munculnya gejolak seksual yang liar dan memicu kasus pencabulan, perkosaan, serta kekerasan pada anak. Dalam penerapannya perlu dukungan negara.
Keempat, pengaturan media massa. Negara harus menjamin setiap berita dan tayangan yang beredar di media mengandung konten yang membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan. Melarang keras segala bentuk tayangan yang mendorong terjadinya pelanggaran hukum syara’ seperti pornografi dan pornoaksi.
Disamping negara, orang tua juga memiliki peran besar mengawasi anak-anak dalam penggunaan media. Sekarang, tak sedikit orang tua memberikan gadget terlalu dini. Mereka bebas mengakses apa saja tanpa pengawasan orang tuanya. Alih-alih tak mengganggu aktivitas orang tua, malah sebaliknya. Secara tidak langsung kita memasukkannya ke lubang buaya.
Kelima, penerapan sistem sanksi. Negara harus memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelaku kejahatan termasuk orang-orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan anak.
Hukuman yang tegas akan membuat para pelaku jera dan mencegah orang lain melakukan hal serupa.
Apa sanksi tegas menurut Islam? Yakni bagi pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Begitupun pelaku homoseksual. Sehingga perilaku itu tidak akan menyebar di masyarakat. Rasul saw bersabda:
“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Jika kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya jika muhshan akan dirajam hingga mati, sedangkan jika ghayr muhshan akan dijilid seratus kali.
Dan jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi.
Adapun peran masyarakat dalam hal ini, yakni melakukan amar ma’ruf nahyi munkar. Masyarakat tidak membiarkan kemaksiatan terjadi di sekitar mereka. Budaya saling menasehati tumbuh subur dalam masyarakat Islam. Jika ada kemaksiatan atau tampak ada potensi munculnya kejahatan, masyarakat tidak tinggal diam. Mencegahnya atau melaporkan pada pihak berwenang.
Disamping itu, masyarakat juga harus mengontrol peranan negara sebagai pelindung rakyat. Masyarakat akan mengingatkan negara jika abai terhadap kewajibannya atau mengatur rakyatnya tidak sesuai aturan Islam.
Dengan menerapkan sistem Islam di atas, maka terjadinya kekerasan seksual pada anak dapat diminimalisir. Langkah ini juga efektif untuk menyelamatkan masa depan generasi bangsa. Wallahu a'lam bishshowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google