Oleh: Asma Ridha
"Tidak ada anak yang nakal, yang ada hanyalah orang tua yang tidak sabar."
Ungkapan ini benar adanya. Karena anak adalah anugerah yang Allah berikan dan titipkan bagi kedua orang tuanya. Rasulullah SAW telah mengingatkan kita,
Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim)
Seorang anak adalah sumber kebahagiaan bagi kedua orangtuanya. Namun sayangnya, banyak orang tua memiliki peran mandul saat mendidik. Akibatnya bisa fatal dan bahkan jatuh pada tindakan yang melampaui batas. Mulai dari korban pelecehan seksual, penyimpangan seksualitas (parafilia), hingga LGBT. Anak-anak pun rentan menjadi korban dan pelaku sexting di era gadget hari ini.
Dikutip dari Kompas.com (24/08/20), "Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar mengatakan, sejak Januari hingga 31 Juli 2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Menurut dia, dari angka tersebut yang paling banyak dialami oleh anak adalah kekerasan seksual." Kasus pelecehan seksual terhadap anak, sering dilakukan bahkan oleh pihak keluarga sendiri.
Tidak jarang, orang tua dengan segala kesibukannya abai terhadap fungsi utama mereka dalam merawat dan mendidik si buah hati. Mereka merasa cukup ketika si anak disekolahkan, diantar ngaji ke TPA, dan diberikan les ini dan itu. Sejatinya semua kegiatan itu hanya bersifat membantu. Tugas utama tetap ada pada orang tua.
Pendidikan Seksualitas Sejak Usia Dini
Pendidikan seksualitas seharusnya mulai diajarkan sedini mungkin yaitu sejak bayi. Sayangnya, banyak orang tua menganggap tabu hal ini. Itu karena seksualitas selalu diidentikkan dengan masalah reproduksi. Sejak bayi orang tua harus membiasakan diri mendidik anak sesuai jenis kelaminnya. Mulai dari pemilihan warna, mainan hingga kebiasaan yang sepatutnya disesuaikan dengan jenis kelamin masing-masing.
Pendidikan ini bisa dimulai dari hal kecil. Misalnya dengan tidak membiasakan anak lelaki menyukai boneka karena itu adalah permainan perempuan. Warna ping, ungu, oranye dan yang semisalnya jangan dipakaikan kepada anak lelakinya. Peran dan fungsi jenis kelamin akan mengikuti kebiasaan dari didikan orang tua.
Orang tua harus membiasakan budaya "malu" sejak dini. Anak dibiasakan untuk malu memperlihatkan alat vitalnya, malu membuka aurat di hadapan orang asing, meskipun ini adalah proses awalan belajar untuk menutup auratnya.
Demikian pula saat anak beranjak remaja. Islam juga telah memberikan segenap aturan, terkadang orang tua juga abai mengajarkan dan membiasakannya.
Pertama, membiasakan anak untuk melarang siapa saja yang menyentuh pada bagian tertentu, seperti mulut, dada dan pada bagian kemaluannya. Sekalipun itu dilakukan oleh orang terdekat.
Tanda sayang orang terdekat bisa sekedar belaian di kepala, tangan dan pundak, selama masih tempat yang wajar, dan ini adalah hal yang lumrah. Namun jika sampai pada batasan membuka baju, menunjukkan bagian pribadi mereka kepada si anak, dan menyuruh memegang bagian pribadinya. Ajarkan anak untuk teriak dan meminta pertolongan.
Kedua, mengajarkan anak batasan aurat yang wajib ditutupi sejak usia dini. Sehingga anak akan tahu dan memiliki rasa malu, ketika auratnya terlihat atau dibuka oleh orang lain.
Ketiga, menuju usia balig, ajarkan anak ciri-ciri menjelang balig apa saja. Seperti, datangnya haid bagi perempuan, ihtilam yaitu keluarnya mani baik karena mimpi, atau sebab lainnya, tumbuhnya rambut di kemaluannya.
Keempat, ajarkan batasan pergaulan yang sesuai syariat, saat berinteraksi dengan lawan jenisnya. Baik di dunia nyata, maupun di dunia Maya.
Kelima, meminta izin saat masuk ke kamar kedua orangtuanya dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.
Sebagaimana firman Allah SWT :
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS : An-Nur : 58)
Tanggung jawab ini ada di pundak orang tua dan kelak akan dihisab oleh Allah SWT bagaimana mereka mendidik si buah hati. Jangan biarkan lingkungan yang rusak, dan gawai yang tidak terkendali menjadi pendidik yang meracuni pemikiran mereka.
Sejak usia dini, jangan tabu untuk menyampaikan informasi pendidikan seksualitas dengan bahasa yang mudah dipahami. Sesuaikan dengan tingkat umur si anak. Jangan lepas kendali, sekalipun si anak telah remaja. Jadikan Ibu dan Ayah, serta keluarganya adalah sahabat yang membuat nyaman untuk mengungkapkan segala hal. Tanamkan keimanan yang kuat, agar anak mampu mengendalikan setiap rasa ingin tahunya yang berlebihan, dan tidak terjatuh pada kubang kemaksiatan, apalagi menjadi korban dari pelecehan.
Untuk itu, negara saat ini juga memiliki PR yang tidak pernah kunjung usai. Ketidak mampuan pemerintah memblokir situs pornografi yang berseliweran di jejaring media sosial semakin menambah angka pelecehan seksual melonjak tinggi.
Maka butuh penerapan Islam Kaffah, untuk bisa menyelamatkan generasi saat ini. Karena dalam sistem sekuler-kapitalis, konten pornografi tidak ubahnya hanya sekedar hiburan yang hakikatnya merusak moral generasi. Sementara dalam Islam, tidak ada tempat konten-konten yang amoral untuk layak dipublikasikan.
Sinergi antara orang tua, masyarakat dan negara sangatlah dibutuhkan, agar anak generasi tidak menjadi generasi yang hancur.
Ingatlah Pesan Ali RA. yang harus dipahami oleh semua orang tua :
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” –Ali Bin Abi Thalib. Wallahu A'lambishhawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google