SETIDAKNYA ada dua fenomena yang berperan pada timbunan frustasi dan luka emosi pada anak di awal kehidupannya dan terus ia bahwa sampai masa dewasa. Apakah itu?
Pertama, pengasuhan dan pendidikan yang berfokus pada pengasahan kognisi, bukan pengasahan emosional juga spiritual.
Pada umumnya, di usia dini anak digagas dengan ragam pencapaian prestasi (Achievement) tanpa dituntaskan dulu masa attachment. Masa yang seharusnya anak dikencangkan dengan ragam pengalaman bermain menyenangkan, namun anak malah dijejali dengan ragam tuntutan yang begitu potensial membuat anak merasa stres dan kelelahan. Masa pengasuhan yang seharusnya kenyang dengan cinta dan kehangatan dari ayah bunda namun banyak juga anak yang akhirnya merasa haus cinta dan membawa sejuta kesepian.
Lalu fenomena lain, pendidikan keimanan pada anak usia dini tampak lebih digegas pada hal-hal ritual bukan spiritual. Kurang ada perhatian yang optimal dari para orangtua untuk menumbuhkan rasa cinta anak kepada Maha Pemilik alam.
Anak usia dini banyak yang digegas fokus dan diikutkan lomba juga berbagai aktivitas yang secara kasat mata dikategorikan anak juara dan sukses. Yang sejatinya, jika diselami lebih dalam: "Kesusksesan anak ini sebenarnya di tujukan untuk siapa? Untuk kebutuhan anak atau justru untuk kepuasan orang tua?"
Fenomena yang terjadi saat ini seperti seorang petani yang mengharapkan buah tumbuh lebat dengan segera, namun cenderung abai menyiapkan akar yang kokoh. Banyak orang tua lebih terpukau untuk cepat-cepat menikmati hasil panen tanpa bersusah-payah menumbuhkan akar yang memang tertimbun tidak kelihatan di permukaan. Sekilas pohon tampak indah menjulang namun bayangkan apa yang terjadi, ketika di kemudian hari datang badai melanda sementara akar pohon sangat rapuh dan ringkih?
Kedua, pendidikan yang berorientasi pada standarisasi, bukan berbasis pada keunikan individu.
Setelah di masa sebelumnya akar kehidupan tersebut belum kokoh, lalu ia menghadapi masa pendidikan yang berorientasi pada standarisasi. Fenomena ini membuat problema tersendiri yang membuatnya terus menyimpan saldo berbagai frustasi dari masa kecilnya. Kelak ketika ia tumbuh dewasa, orang ini tidak tahu apa Kekuatan dirinya. Data 87% mahasiswa Indonesia salah jurusan merupakan suatu fakta yang sangat mencengangkan. Dengan dibebani berbagai tekanan hidup lain, membuat pribadi ini mengikuti alur kehidupan tanpa arah dan misi hidup yang ajeg. Ia menjalani hidup dengan terpacu menjadi versi terbaik orang tua atau masyarakat, bukan versi terbaik dirinya.
Fenomena lain, orang tua terlalu sibuk merancang skenario keberhasilan masa depan anak dan cenderung 'lupa mengajarkan anak mengelola kegagalan'. Apa yang terjadi kemudian? Anak tidak siap dengan penolakan dan kegagalan.
Alih-alih diharapkan mampu berperan mengambil bagian dari solusi, ia malah menjadi bagian dari 1001 karena anak itu menjadi pribadi penuh frustasi yang 'belum selesai dengan dirinya'.
Kita tahu, bahwa rasa frustasi adalah sumber pemantik kuat emosi amarah. Semakin besar rasa frustasi seseorang maka akan semakin kuat pula ledakan amarahnya. Jika tidak mampu mengelola amarah dengan benar, maka tinggal menanti amarah tersebut akan meledak dimana. Amarah itu sifat alami, hanya mengelolanya butuh ilmu dan seni.
Dicomot dari Buku yang berjudul "Anger Management the Life Skill" karangan pasutri Dandi Birdy & Diah Mahmudah.*
Mia Fitriah Elkarimah