Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Karawang sedang nge-hits. Jelas bukan karena judul sebuah puisi, tetapi karena kejahatan salah satu warganya yang hanya menambah jumlah kasus lain dari beberapa kota di Indonesia. Dalam setahun terakhir, kasus seperti ini terjadi di Garut, Surabaya, Mojokerto dan Jombang. Kejahatan yang membuat semua orang geram dan tak habis pikir, bagaimana bisa seorang suami melakukannya, menjadi mucikari bagi istrinya?
Alasan 'Menjual' Istri
Alasan yang pelaku ungkapkan biasanya karena tekanan ekonomi, meskipun ada yang mengaku dengan layanan threesome dia mendapatkan fantasi seksual yang liar. Dan masyarakat yang terwakili oleh netizen komentator berita kejahatan ini, sebagian besar juga menganggap penyebab kejahatan ini adalah masalah himpitan ekonomi hingga suami terpaksa 'menjual' istrinya. Hanya satu yang berkomentar 'nyeleneh' namun tetap menggambarkan kondisi masyarakat kita. Dia mengatakan, seharusnya pengamanan di rumah pelaku harus ekstra, sehingga kejahatannya tidak terendus masyarakat sekitar juga aparat.
Kejahatan kekerasan seksual semacam ini sepatutnya mendapatkan hukuman yang setimpal dan menjerakan. Para pelaku sebenarnya sudah mendapatkan konsekuensi dari kejahatannya. Dengan dikenakannya bermacam pasal dari Undang-undang yang berbeda kepada mereka. UU KUHP tentang perdagangan manusia juga UU KDRT, misalnya. Tapi sejauh ini, Undang-undang tersebut tidak menjadikan pelaku jera. Yang ada, kejadian serupa terulang terinspirasi dan meniru kejadian sebelumnya.
Kesetaraan Gender, Solusi?
Relevan dengan apa yang diusung oleh website resmi International Women Day, tanda pagar Choose to Challenge, memilih untuk menantang agar perempuan bisa lepas dari masalah-masalah yang menimpanya. Perayaan hari perempuan internasional di Indonesia, penantangannya adalah penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disahkannya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) di samping mewujudkan kesetaraan gender bagi perempuan Indonesia.
Menjual istri, sebagai varian kekerasan seksual terhadap perempuan jelas bukan buah dari tidak adanya kesetaraan dalam sebuah keluarga. Seperti yang terungkap di beberapa kasus, masalahnya adalah himpitan ekonomi. Dan masalah ini menjadi kompleks dengan semakin banyaknya pengangguran dan semakin sempitnya lapangan kerja.
Sementara itu, kebebasan berperilaku dan pemikiran materialistik yang menuhankan kenikmatan jasad, semakin mendorong manusia lepas dari kemuliaannya sebagai manusia. Tak ada lagi halal haram dan hukum syariat saat hendak memenuhi kebutuhannya. Maka, rasa memiliki dan melindungi pasangan yang kita temui pada hewan ternak bahkan sudah hilang pada manusia yang telah meninggalkan syariat.
Seperti jauh api dari panggang, kesetaraan gender bukanlah akar masalah, karena itu ia juga bukan solusi bagi kekerasan seksual. UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang menjadi bukti keberhasilan UU responsif gender akhirnya juga tidak bisa berbuat apapun untuk menjerakan para pelaku. Hukuman yang ringan dengan kisaran 8-15 tahun atau denda sebesar 12 juta hingga 300 juta rupiah, tidak menjerakan para pelaku. Dorongan kesetaraan gender agar perempuan lebih bebas, pada akhirnya semakin menjadikan perempuan rentan menjadi objek kekerasan seksual.
Nampaknya kehidupan sistem ekonomi kapitalis yang menciptakan kesenjangan dan kemiskinan ini. Dengan sistem politik demokrasi sekular yang menjauhkan agama dari kehidupan, kita benar-benar tidak akan bisa menyelesaikan masalah kekerasan seksual pada perempuan.
Ajaran Islam yang Dirindu
Aktivis gender selalu menyudutkan ajaran Islam di semua masalah perempuan. Padahal, bila menelusuri sejarah penerapan syariat Islam, adakah ketidakadilan yang pernah menimpa para perempuan? Dan bila mengkaji syariat Islam, adakah ajaran yang mengizinkan kekerasan terhadap perempuan dan membebaskan suami untuk "menjual istrinya?"
Dalam penerapan Islam secara kaffah, perlindungan sempurna bagi perempuan seharusnya menjadi kerinduan bagi semua perempuan. Dalam Islam, perempuan dalam sepanjang hidupnya adalah sebagai pihak yang dinafkahi. Ada suami, para wali, dan negara yang bertanggung jawab secara berjenjang untuk memenuhi kebutuhannya. Sistem ekonomi Islam dengan memperhatikan distribusi harta, terbukti berkah memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk hidup yang lain.
Jangankan kejahatan seksual berulang yang diterima perempuan di ruang publik atau domestik. Tersingkapnya jilbab saja, akan memanggil kepala negara seperti Al Mu'tashim Billah untuk mengerahkan ratusan ribu pasukannya. Bahkan, seorang Khalifah Umar bin Khattab merajam sendiri putranya yang terbukti memperkosa seorang perempuan sebagai hukuman yang menjerakan.
Pendek cerita, kehidupan Islamlah yang seharusnya dirindukan oleh perempuan. Bukankah hidup tentram, menjadi istri, mendidik anak, keluarga sakinah mawadah warahmah adalah jalan fitrah kehidupan muslimah? Adakah selain syariat Allah yang bisa mewujudkannya? Wallahu alam bishowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google