Penulis:
Ernadaa Rasyidah || Pemerhati Generasi
NORMALNYA, setiap pasangan dalam kehidupan rumah tangga merindukan hadirnya penyejuk mata sebagai pelengkap kebahagian mereka. Maka suatu hal yang wajar, bagi dua insan yang telah mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan mendamba keturunan yang akan menerusakan cita-cita, asa dan kebaikan-kebaikan mereka. Banyak pasutri yang belum dikaruniai keturunan, terus berikhtiar menempuh berbagai cara, demi hadirnya pelengkap kebahagiaan, kemuliaan dan keutamaan bagi seorang yang bergelar Ibu dan Ayah.
Namun, akhir-akhir ini kembali terdengar seruan atau gagasan yang bertolak belakang dengan realitas yang terjadi. Adalah Gita Savitri, seorang YouTuber yang aktif mempropagandakan childfree dengan alasan itu adalah pilihan hingga anggapan anak sebagai beban.
Childfree sebenarnya bukan hal yang baru di negara Barat yang tidak menganggap penting nilai-nilai agama, hanya saja di indonesia mulai di dengungkan lagi khususnya oleh kalangan liberal penganut kebebasan dan juga feminis pendukung kesetaraan.
Menurut dictionary.cambridge.org, childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk orang yang memilih tidak memiliki anak, atau tempat atau situasi tanpa anak.
Gagasan tersebut menuai pro dan kontra. Mengingat Indonesia adalah masyarakat dengan mayoritas muslim yang tentu berbeda dengan budaya barat yang mendukung kebebasan tanpa batas. Pilihan ini dianggap sesuatu yang menentang fitrah seorang perempuan, yang telah Allah takdirkan dalam dirinya rahim untuk melahirkan generasi dengan penuh kasih sayang.
Jika kita menelisik lebih jauh, dalam atmosfer sekularisme, ini adalah hal yang wajar. Berangkat dari sebuah persepsi bahwa manusia bebas dalam menentukan pilihan, bebas menetapkan standar kehidupan, baik dan buruk, benar dan salah berdasarkan pemikiran manusia.
Pada saat yang sama Allah sebagai tuhan, hanya dijadikan sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Namun enggan menerima tuhan sebagai pengatur disetiap aspek kehidupan. Tidak dipungkiri adanya peran kaum feminis dalam propaganda childfree ini, yang menganggap kehidupan domestik dalam rumah tangga menjadi penghambat karir perempuan di luar rumah, dengan menjadikan fakta sebagai objek berfikirnya. Iklim global, perubahan dengan pasangan, anak merepotkan dan lain-lain dijadikan dalih untuk tidak punya anak, pada saat yang sama ia lupa telah egois membatasi makna kebahagiaan dengan makna yang begiru sempit.
Sistem ekonomi kapitalis yang melahirkan ekonomi sulit, jurang pemisah antar si kaya dan si miskin begitu lebar. Akses dalam pemenuhan kebutuhan hanya dinikmati oleh orang yang berduit, sementara si miskin hanya bisa meratapi nasib. Saat negara berperan hanya sebagai regulator, tidak hadir sebagai pelayan rakyat maka wajar jika kehidupan yang dijalani terasa begitu berat, pun gambaran masa depan yang kelam terus membayangi, tidak teekecuali dalam ikatan pernikahan.
Berlindung dibalik fatamorgana HAM, yang seolah melindungi kebebasan. Nyatanya, menjadi jalan kebablasan yang menyelisih fitrah penciptaan. Menganggap anak sebagai beban, hamil dan melahirkan bisa merubah penampilan, penghambat karir dan berbagai alasan lainnya. Tanpa menyadari, besarnya peran dan mulianya seorang Ibu yang mampu melahirkan dan mendidik anak-anaknya. Begitupun tidak akan terwujud peradaban gemilang tanpa peran orangtua yang melahirkan generasi tangguh, cerdas dan shalih. Keputusan childfree justru mengantrakan pada kondisi lost generations.
Bagaimana Islam Memandang
Islam adalah agama dan pandangan hidup yang sempurna, lahir darinya seperangkat aturan yang menjadi solusi atas segala problematika kehidupan.
Adanya naluri dalam diri manusia, diantranya naluri melestarikan keturunan (gharizah nau') yang manifestasinya berupa rasa ketertarikan dengan lawan jenis. Naluri ini memiliki tujuan penciptaan, yang muaranya adalah Ibadah. Sehingga tidak bisa diberikan kepada manusia menentukan sendiri cara merealisasikan, melainkan harus dari sang pencipta manusia, yakni Allah Swt.
Islam hadir memberikan tuntunan pemenuhan naluri manusiai, bukan dengan memberikan kebebasan tanpa batas yang memungkinkan manusia mengikuti derajat hewani, pun tidak mengekang secara total hingga mengizinkan kebiri yang bisa mengantarkan manusia pada ksengsaraan bahkan kepunahan.
Islam hadiir mengatur naluri seksual manusia pada jalan yang diridhai Allah dalam ikatan pernikahan, dengan tujuan melestarikan keturunan manusia. Maka kehadiran anak sebagai penyejuk mata dan pelengkap kebahagian sangat didambakan.
Jika dalam sistem kapitalis-sekuler standar kebahagiaan adalah tercapainya kebutuhan materi dan kenikmatan fisik srmata, berbeda jauh dengan Islam, yang menjadikan standar kebahagiaan pada ridha Allah. Sehingga setiap kewajiban yang dilakukan bukanlah beban tetapi bukti ketaatan. Begitupun setiiap amanah yang dititipkan adalah berkah, bukan musibah.
Maka seorang Ibu, akan menjadikan dirinya sebagai orang yang berperan besar menentukan kualitas generasi. Hamil, melahirkan, menyusui dan mendidik anak-anak adalah tugas mulia, setiap lelahnya diganjar pahala. Perubahan fisik pasca melahirkan adalah bentuk pengorbanan.
Begitupun setiap sentuhan kasih sayang, pendidikan juga pemenuhan kebutuhan adalah investasi dunia dan akhirat yang ada hisab dan pertanggung jawabannya. Konsep rezeki yang diyakini, bahwa setiap anak sudah Allah tetapkan rezekinya masing-masing tidak menjadikan seorang muslimah mudah terbujuk dengan gagasan chilfree karena khawatir akan kekurangan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar." (TQS. Al Isra' 17:31)
Banyak sekali kemuliaan yang hanya diperoleh bagi seorang Ibu yang telah melahirkan anak-anaknya dan tidak didapatkan oleh selainnya. Ungkapan "Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu", mengisyaratkan besarnya peran, pengorbanan dan dedikasi seorang ibu pada anak-anaknya. Demikian pula, Allah melebihkan ketaatan kepada ibu tiga kali lebih utama dibanding ayah. Kitapun tentu sangat faham bahwa ada pahala yang terus mengalir sekalipun kita tak lagi beramal di dunia, yaitu doa anak yang sahleh kepada orang tuanya. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda; “Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara; salah satunya adalah anak shalih yang mendoakan orang tuanya” (HR.Muslim)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga pernah bersabda, "Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” dalam riwayat yg lain dikatakan: "Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Dawud).
Islam telah sempurna, memposisikan perempuan sebagai al Umm wa robbatul bayt, Ibu sekaligus pengatur rumah tangganya. Adapun kewajiban mencari nafkah telah Allah letakkan di pundak suami. Sehingga seruan childfree karena menganggap anak sebagai penghalang untuk eksis sebagai wanita karir tentu adalah bentuk pembangkangan pada fitrah perempuan.
Mengembalikan peran mulia wanita dalam kancah kehidupan, tentu membutuhkan support sistem. Melibatkan tiga komponen utama yang harus bersinergi. Pertama adalah individu yang bertakwa, sehingga mampu menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya, halal dan haram sebagai tolak ukur perbuatannya. Sehingga tidak mngkin ikut terbawa seruan yang justru menggerus fitrah penciptaanya.
Kedua, peran masyarakat yang senantiasa melakukan kontrol sosial, yakin melaksanakan aktvitas dakwah, saling mengingatkan, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Kertiga adalah negara. Negara memiliki peran besar terwujudnya generasi yang akan mengisi peradaban yang gemilang, negara yang menjadi perisai dan pelayan rakyat. Menerapkan sistem Islam, menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan bagi setiap warga negara, sehingga tidak ada alasan anak adalah beban karena negara hadir mengurusi dengan menjamin pemenuhan kebutuhannya.
Sistem Islam telah terbukti, mencetak generasi tangguh, cerdas dan sholih. Melalui penerapan Islam secara kaffah, di bawah naungan Islam. Tidakkah kita rindu? Waalahu'alam bi shawwab.*