Oleh: Helmiyatul Hidayati
Akhir tahun 2021 adalah waktu-waktu mendebarkan dan menyenangkan bagi para Pageant Lovers (Sebutan untuk para pecinta kontes kecantikan, biasanya disingkat PL). Karena triwulan terakhir tahun ini diwarnai dengan terselenggaranya 3 (tiga) besar Beauty Pageant di dunia yakni : Miss Universe, Miss World dan Miss Grand International. Selain itu beberapa kontes kecantikan tingkat internasional lainnya pun telah selesai terselenggara dan kontes kecantikan tingkat nasional masih terus produktif.
Di antara top 3 ajang tersebut, kecuali Miss Universe, perwakilan Indonesia telah berangkat ke negara-negara yang menjadi Host Country tempat berlangsungnya kompetisi. Tidak adanya delegasi dari Indonesia di ajang Miss Universe pada tahun ini, bukan hanya karena masalah pandemik, tapi kemungkinan juga karena host country adalah Israel. Sedangkan Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik sebagai bentuk kecaman atas penjajahan yang dilaksanakan Israel di tanah Palestina.
Bukan tanpa alasan, kontes kecantikan di Indonesia semakin melambungkan popularitasnya dan menjaring lebih banyak orang menjadi PL. Menurut penulis, berdasarkan komentar para netizen (PL) di akun-akun media social mereka. Salah satu factornya adalah dengan dicabutnya badan hukum ormas Islam seperti HTI dan FPI. Sehingga gelombang protes dan kritik terhadap penyelenggaraan atau terlibatnya Indonesia dalam ajang seperti ini dianggap angin lalu saja. Bahkan sebaliknya, para pengemban dakwah, justru mendapat stempel buruk karena menentang visi dan misi yang dimiliki oleh beauty pageant yang mereka agung-agungkan.
Para PL Indonesia pun semakin berani menampakkan taringnya, selain secara terang-terangan memperkenalkan “Queen” dengan megah, mewah, heboh dan sexy. Indonesia secara terang-terangan juga mengadakan Beauty Pageant bagi transgender, pemenang yang merupakan seorang transgender tidak berhenti wara-wiri berbagai media massa tanpa terpengaruh kritikan. Seorang national director pemegang lisensi beauty pageant baru-baru ini bahkan mengajukan ijin untuk menjadikan Indonesia sebagai Host Country kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Sandiaga Uno. Hal ini tak pelak langsung diamini oleh banyak PL.
Tanpa banyak orang sadari, industry pageant sebenarnya telah menyimpan marabahaya bagi generasi-generasi muslim masa kini. Ini bukan hanya tentang diumbarnya aurat dalam sesi Swimsuit Competition yang menjadi salah satu penjurian setiap beauty pageant. Juga bukan hanya tentang Evening Gown kekurangan bahan yang dipakai oleh para kontestan dan disiarkan ke seluruh dunia. Dimana hal ini memang bertentangan (haram) dalam hukum Islam, yang mewajibkan para wanita untuk menutup aurat dan memakai jilbab dan gamis ketika keluar dari rumahnya.
Baca: Urgen, Mari Support Dakwah Media Voa Islam
Pertama, beauty pageant mulai meracuni negara-negara Arab dan Timur Tengah. Iraq dan Iran pernah memiliki lisensi Miss Unervese. Turki dan Marocco adalah beberapa negara Islami yang memiliki lisensi Miss Universe. Pakistan memiliki lisensi Miss Grand International. Dunia Islam makin berduka dengan hadirnya Uni Emirat Arab yang baru-baru ini juga membeli lisensi Miss Universe.
Di Asia, Indonesia dan Malaysia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar; bahkan mengaku negaranya sudah cukup Islami, memiliki hampir semua lisensi beauty pageant yang ada di dunia sekarang. Memang lisensi beauty pageant dibeli oleh individu atau organisasi swasta, namun ini juga tak lepas dari kebijakan pemerintah yang tidak melarang hal ini terjadi. Dan tidak adanya kebijakan larangan keberangkatan terhadap kontestan terpilih.
Kedua, host country Miss Universe 2021 adalah Israel. Beberapa negara atau kontestan yang mendukung pembebasan Palestina memang tidak mengirimkan wakilnya ke Israel, namun jumlahnya hanya beberapa. Lebih banyak yang dating untuk berkompetisi di sana.
Miss Universe menjadi alat bagi Israel untuk mendapat pengakuan dunia. Karena dengan hadirnya para Queen dari berbagai negara menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mengakui Israel sebagai sebuah negara. Pada dasarnya hal ini adalah langkah Israel untuk menggertak negara-negara yang menentang pembentukan Israel sebagai sebuah negara. Ini adalah pukulan besar bagi dunia Islam dan mulai mengikisnya kemanusiaan di antara bangsa-bangsa di dunia.
Ketiga, hadirnya Khadija Omar, Queen dari Somalia di ajang Miss World 2021 semakin menegaskan bahwa generasi muslim masa kini telah jauh dari Islam dan terjerat sekulerisme akut. Memang bukan pertama kalinya muslimah mengikuti ajang beauty pageant. Indonesia sendiri telah mengirimkan banyak muslimah dalam kontes-kontes kecantikan international, namun Khadija Omar menjadi kontestan berhijab pertama di kancah international.
Hadirnya Khadija Omar akan menimbulkan kesalahpahaman internasional tentang wajah Islam yang sebenarnya, terutama para muslimahnya. Muslimah sejati adalah muslimah yang mengerti jati dirinya sebagai hamba dan taat syariah-Nya. Dia akan selalu menjaga izzah dan iffah dirinya, eksistensi dirinya ditunjukkan dengan ketaatannya kepada Allah bukan melalui sebuah ajang kecantikan dunia yang bersifat sementara.
Keempat, issue yang dibawa oleh beauty pageant sangat dipengaruhi oleh perjanjian international yang diadakan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), sebelum tahun 2021 issue yang dibawa adalah tentang penghapusan diskriminasi wanita. Hal ini mengacu pada konferensi CEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) pada tahun 1979.
Dengan adanya platform berupa beauty pageant seperti ini, LGBTQ makin berkembang karena menjadikan beauty pageant sebagai wadah untuk menunjukkan diri mereka dan mendapat perhatian serta simpati dunia. Baik sebagai peserta, support system atau sebagai PL yang jumlahnya tidak terhitung.
Pada tahun 2021 ini, issue yang dibawa menyangkut tentang Climate Change yang mengacu pada konferensi COP (Conference of the Parties) baru-baru ini. Secara khusus, Miss Grand International memiliki visi advokasi untuk menghentikan perang dan kekerasan.
Padahal sudah jelas, perubahan iklim dan perang tidak bisa diselesaikan hanya dengan advokasi dari para Queen cantik jelita. Namun diperlukan sebuah aturan yang akan menyelesaikan masalah perubahan iklim dan perang tak berkesudahan dari akarnya.
Sejauh ini, penyelesaian masalah secara menyeluruh tidak bisa dilakukan oleh PBB atau negara-negara adidaya seperti Amerika dll. Bahkan tidak jarang negara-negara adidaya justru menyebabkan konflik antar negara lebih rumit dengan provokasi dan keikutcampurannya.
Islam, dengan seperangkat syariahnya yang mengatur segala aspek kehidupan menawarkan solusi yang telah terbukti secara empiric mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia yang berada dalam naungannya. Hanya ketika seluruh syariat Islam tegak, maka dunia Islam berada di puncak kejayaan. Tidak hanya melindungi kaum muslim, namun juga melindung kaum non-muslim. Dan waktu itu adalah sebentar lagi! Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google