View Full Version
Jum'at, 24 Dec 2021

Surat Cinta Untuk Ayah (Bagian 1)

 

Oleh: Khansa Alma S.Pd

Betapa banyak kisah anak yang sebenarnya masih memiliki seorang ayah tapi tidak merasakan kehadirannya. Karena ketidakpahaman peran ayah yang bukan sekadar pencari nafkah, muncullah masalah pada anak atau yang disebut anak toxic. Bahkan Indonesia disebut termasuk 10 negara urutan ketiga dengan fatherless dan father hunger. Sejatinya pengasuhan anak adalah peran dua pihak antara ibu dan ayah. Tidak bisa salah satunya berlepas diri. Itu karena imbasnya akan merusak kualitas generasi.

Kita pahami bersama, bagaimana tuntutan dunia kapitalis saat ini. Peran ayah sebagai pencari nafkah seakan-akan sudah tidak ada waktu lagi untuk berbagi waktu pengasuhan. Dunia kerja menuntut loyalitas dan optimalitas penuh dan tidak memberi ruang atas statusnya sebagai ayah. Tidak ada yang namanya cuti ayah ketika anak lahiran dalam rangka pendampingan tarbiyah dini misalnya. Jam kantor 8 jam adalah waktu yang panjang, terkadang pulang pun masih membawa PR pekerjaan hingga nyaris tidak terlibat pengasuhan anak.

Bagaimana peran sejati seorang ayah?

Setidaknya ada 3 peran ideal seorang ayah.

(1) Menyambung keturunan. Sangat jelas ayah memiliki andil besar dalam keberlangsungan keturunan dan generasi dengan disyariatkannya pernikahan. Yang mana salah satu tujuan pernikahan adalah eksistensi keturunan. Tapi tidak semata pada hal ini saja, masih ada tugas lain lanjutan seorang ayah ketika memiliki keturunan. Tapi seiring juga dengan kewajiban manusia dalam kehidupan ini yaitu beribadah dan menjadi Kholifah di muka bumi. Sehingga PR besarnya adalah justru setelah kelahiran anak.

(2) Ayah pencari nafkah. Ini peran kedua yang wajib dipahami bagi seorang ayah. Harus diupayakan sepenuh jiwa raga atas kewajiban nafkah keluarganya. Tidak boleh lalai, malas-malasan apalagi mengandalkan tulang rusuk untuk menjadi tulang punggung. Banyak fenomena yang terjadi, peran ayah sebagai pencari nafkah semakin hilang dengan beratnya tuntutan kerja dan sulitnya mencari pekerjaan. Sehingga menjadikan para ibu sebagai pencari nafkah utama karena lebih mudah. Misal jadi ART, pramuniaga, tukang gosok dll.

Alam kapitalis yang minim penjaminan negara atas hajat hidup vital manusia (sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan) menjadikan uang hasil jerih payah ayah berapa pun besarnya seakan tidak cukup. Ada harga yang harus dibayar. Sekolah favorit, layanan kesehatan VIP katakan demikian. Tentu beda rupiah yang harus dibayarkan. Secara kalkulasi dengan gaji UMR 2 JT sekian atau ASN golongan II A misal juga di angka 2 JT sekian, angka yang mungkin kecil dibandingkan usahanya. Terlebih diserupakan dalam pemenuhan kebutuhan era kapitalis. Akan terasa nyesek.

Akhirnya banyak para ibu yang ikut banting setir membantu ekonomi keluarga, tanpa memberi motivasi kepada suami yang akhirnya berimbas pada turunnya minat kerja suami dan bekerja apa adanya. Dengan anggapan istrinya mampu menyelesaikan masalah finansial RT, wonder women dan all is well. Akhirnya nggak memahami kebutuhan hajat rumah tangga, realitas dapur itu betul-betul di tembel dari sana sini, belum tagihan tagihan bulanan listrik, air PAM dan lain lain. Duh ngeri. Karena nggak memahami kebutuhan, kerja keras gaji kecil UMR misal, ya udah bapak bapak milih ungkang-ungkang. Toh istrinya sudah tangguh.

Realitas itu sedang menggejala, banyak sekali ditemui di lapangan. Bapak-bapak kerja minimalis, tapi peran juga minimal dalam pengasuhan. Ibu pontang panting dengan semua kewajiban pengasuhan lainnya. Anak-anak daring misal, PR dst. Akhirnya berbuntut angka ibu stress dan depresi meningkat.

Poin berikutnya adalah perlu peran negara menjamin keberlangsungan dan kemudahan para ayah dalam kewajiban memberi nafkah keluarga dengan tersedianya lapangan kerja yang luas. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version