Oleh: Luthfiah Jufri, S. Si, M. Pd.
Arus moderasi agama di Negeri ini semakin menderas, bak gelombang yang siap menghantam keluarga muslim, jika tak waspada arus ini akan akan meluluhlantahkannya. Sebagaimana belum lama ini, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BKBP) Kota Yogyakarta memperkenalkan model parenting atau pola asuh kebangsaan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi keluarga dalam menumbuhkan semangat dan jiwa nasionalisme anak sejak usia balita.
Dikutip dari Antaranews.com (Selasa, 02/11/2021) Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Yogyakarta Budi Santosa disela acara peluncuran Program Parenting Wasathiyah di Yogyakarta mengungkapkan bahwa mengenalkan wawasan kebangsaan masih perlu ditingkatkan dan terus melakukan evaluasi atas penerapan Parenting Wasathiyah.
BKBP juga akan mengeluarkan Kartu Menuju Kebangsaan untuk mengukur sejauh mana anak usia nol sampai empat tahun bisa memahami dan mengenal wawasan kebangsaan. Kartu ini akan diperlihatkan ketika ada pertemuan Bina Keluarga Balita dan bisa dilanjutkan hingga anak masuk PAUD dan SD.
Sebenarnya program parenting ini akan lebih baik, jika dibingkai dengan asas agama. Namun, Ketua BKBP sama sekali tak menyinggung kata agama sebagai pondasi dalam mendidik anak. Dan ini sejalan dengan wacana akan absennya kurikulum agama di sekolah. Tentunya bukan suatu kebetulan, karena seakan nampak ada program sistemik untuk menjauhkan generasi kita dari agamanya sendiri.
Parenting wasathiyah yang digalakkan hakikatnya propaganda moderasi beragama yang dibungkus dengan istilah-istilah islam. Pola asuh ala Parenting wasathiyah tidak lain adalah pola asuh yang mengandung pluralisme. Paham ini mencampuradukkan yang hak dan yang batil. Semua agama dipandang sama, sama-sama membawa kebenaran.
Padahal paham ini sangat berbahaya, jika disuntikkan ke dalam keluarga khususnya anak-anak, karena akan mengaburkan keyakinan mereka bahwa islam adalah agama tauhid. Misi tauhid sejalan dengan tujuan Allah Swt. menciptakan manusia, yakni agar menjadi hamba-hamba yang hanya menyembah Allah semata.
Selain itu, istilah wasathiyah adalah istilah khas Islam berasal dari Al Qur’an. Sebaliknya istilah moderasi adalah istilah yang berasal dari epistemologi barat. Sehingga, tidaklah sama antara makna Islam wasathiyah dengan Islam moderat.
Di samping itu, secara etimologi makna alwasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan (Raghib Al Isfahani, Mufradat Alfazh Al Quran, Jilid II). Karakter atau sikap wasath yang dimaksud adalah karakter umat terbaik dan terpilih karena mendapatkan petunjuk dari Allah.
Sedangkan istilah moderat adalah Islam yang menerima akidah sekulerisme, sehingga lahir sikap yang berbau kompromistik. Paham ini mengakui eksistensi agama (Tuhan) untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi agama (Tuhan) tidak diberi hak untuk turut campur dalam kehidupan. Pengaturan urusan kehidupan sepenuhnya diserahkan kepada manusia.
Pasalnya, jika umat muslim mengetahui wajah asli ‘moderasi beragama’ proyek ini pasti gagal. Karena cenderung menyasar agama Islam. Untuk itu, agen-agen barat, melalui ulama dan akademisi bayaran mencari-cari dalil, tepatnya dalih dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk mengukuhkan moderasi beragama sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ajaran islam.
Tak hanya itu, narasi moderasi beragama adalah bagian dari proyek deradikalisasi terkait komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan atas tradisi. Kementrian Agama pun terus menggalakkan konsep moderasi beragama sebagai amunisi dan alternatif kebijakan pemerintah dalam menanggulangi paham keagamaan yang ekstrem. Inilah yang melatar belakangi munculnya program Parenting Wasathiyah,padahal ini hanyalah mantel agar konsep moderasi beragama mengakar hingga ke keluarga muslim.
Sungguh Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai negara karena Allah dengan cara mengelola berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan. Islam adalah agama yang paling toleran atas keragaman sosial maupun agama. Sehingga, ajaran agama (islam) yang seharusnya ditanamkan kepada tiap keluarga.
Oleh karena itu, pengokohan fungsi keluarga muslim agar menjadi keluarga yang tegak atas ketaatan kepada Allah dan tegak diatas pondasi agama dengan menjadikan Islam sebagai standar kehidupan adalah misi utama negeri ini, bukan hanya menguatkan sisi kebangsaan saja, tapi nihil paham agama. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google