Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Hari-hari terakhir cuti melahirkan, Qonita semakin didera kebimbangan.
"Nit, kakakmu dipecat lagi dari pekerjaannya."
Ibu memberi kabar semalam, saat Nita menidurkan Hisyam, bayi mungilnya yang berusia sebulan.
Miftah, kakak semata wayang Nita, bukanlah laki-laki pemalas. Tetapi sudah tiga kali ini sejak memulai mencari nafkah untuk istri, anak dan ibunya, dia diberhentikan dari tempatnya bekerja. Awal bekerja di pabrik pakan hewan, dipecat. Bekerja di travel biro haji, dipecat. Terakhir dalam setahun ini bekerja sebagai satpam di komplek pergudangan ternama, juga dipecat.
Biasanya akan butuh waktu sampai tiga bulan Miftah menemukan pekerjaan baru. Biasanya sambil menunggu pekerjaan baru, dia membantu istrinya menjual makanan kecil untuk dititipkan ke warung-warung kopi di desanya.
Kepala Qonita tiba-tiba berdenyut. Kebutuhan ibu pastilah dalam beberapa waktu ke depan tidak bisa dibebankan sepenuhnya ke Miftah, kakaknya itu. Padahal sakit diabetes ibu membutuhkan biaya yang cukup besar untuk kontrol tiap bulannya juga obat-obatannya.
"Semua terserah Mami," jawab Thoriq, suami Qonita, saat mereka berdiskusi masalah yang sebenarnya sudah final diputuskan sejak kelahiran Hisyam. Saat itu Nita memutuskan resign karena kewalahan sejak anak kedua mereka Salman berusia setahun, mulai aktif berjalan dan berlari. Sementara ibu semakin terlihat kepayahan karena sakitnya. Ibu tidak bisa lagi berlama-lama membantu Qonita mengasuh cucu-cucunya.
Qonita paham maksud kata terserah dari suaminya adalah Qonita harus menanggung semua konsekuensinya. Penghasilan Thoriq sebenarnya lebih dari cukup menghidupi keluarga kecilnya. Tetapi dia juga bertanggung jawab atas kehidupan ayahnya yang sudah tua renta dan tak sanggup bekerja. Ada dua anak yatim piatu almarhum kakaknya yang juga dia nafkahi.
Menurut Qonita, dengan tetap bekerja dia bisa meringankan beban suaminya dan keluarga kecilnya.
"Perhatikan Ziyad Mi..." Sering Thoriq meminta Qonita lebih memperhatikan anak pertamanya yang duduk di bangku Raudhatul Athfal.
Hafalan Quran Ziyad waktu itu tersendat karena Qonita tidak memiliki waktu murajaah si kakak. Tugas kantor telah menyibukkannya. Baru tiga bulan terakhir, saat Qonita cuti hamil dan melahirkan, Ziyad mampu menghafal surat An Nas sampai surat Ad Dhuha. Membanggakan. Karena sebenarnya Ziyad anak yang cerdas. Membiarkannya dia didampingi Mak Jum yang telaten mengurusinya, ternyata tidak cukup mendukung tumbuh kembang kemampuan kognitif dan emosi Ziyad.
Drama bertahun-tahun hampir dialami Qonita setiap hari, saat berangkat kerja.
"Mami jangan kerja...!" Rajuk Ziyad dengan linangan air matanya.
"Iyad ga minum syusyu, ga jajan.." Selalu kata-kata itu yang diucapkan Ziyad ketika melepas maminya berangkat kerja. Ziyad selalu mengingat alasan yang disampaikan maminya, mengapa harus berangkat kerja. Untuk membeli susu dan uang jajan Ziyad.
Mbah Uti mendekap Ziyad, menenangkan Ziyad, membujuknya kalau mami nanti akan videocall sesampai di tempat kerja atau mengajak main ke rumah adik Naura, tetangga sebelah rumah yang memiliki banyak kucing.
Setiap hari kejadian itu cukup membuat hati Qonita berselimut sedih. Hari-harinya tidaklah menyenangkan meskipun dia bisa menyelesaikan tugas dari atasannya dengan baik. Sosok Ziyad dan Salman selalu terbayang di pelupuk matanya. Apalagi bila salah satu dari keduanya sedang sakit. Nelpon atau pun video call belum lah cukup.
Di pagi menjelang siang ini, setelah salat duha, Qonita merenung. Dia mengingat pesan bibi Anis, adik ibunya, yang biasanya menjadi tempat curhatnya.
'Hidup sangat lah singkat Nit sayang, gunakan waktumu untuk memperberat amalan saleh-mu, berharap Rahmat Allah dimasukkan ke surga Nya...'
'Membantu Ibu, menafkahi beliau bukankah juga amal saleh, Bi?'
'Benar, itu adalah amalan saleh sebagai amalan sunahmu. Amalan sunah dilakukan bukan dengan meninggalkan kewajibanmu. Bekerja bukanlah maksiat bagi seorang perempuan. Tetapi bagimu, dengan 3 anak balita, tentu itu bukanlah pilihan. Membayangkan ibumu akan terlantar juga tidaklah tepat. Suamimu menantu yang berbakti kepada ibumu, ada kakakmu, juga saudara ibumu. Tawakal kepada Allah, rezeki ibumu pasti sudah disediakan oleh-Nya.'
Perbincangan melalui WhatsApp dengan bibinya pagi tadi, menjadi penguat bagi Qonita untuk menyudahi kebimbangannya. Usai melipat mukena dan sajadahnya, mencium kening Hisyam yang masih terlelap, dia membuka laptopnya. Bismillahi tawakkaltu 'alallah, sehabis zuhur siang ini Qonita akan ke kantornya. Bukan untuk memulai kerja setelah cuti selama hampir 3 bulan, tetapi untuk memberikan surat resign kepada HRD di kantornya. (rf/voa-islam.com)
Sidoarjo, 8 Maret 2022