Oleh: Yulweri Vovi Safitria
Kasus kekerasan seksual pada anak terus terjadi. Seperti yang baru ini dialami oleh remaja putri berinisial NAT (15 tahun). Ia mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. NAT dijebak dengan dalih utang. (Beritasatu, 18/9/2022).
Ini bukanlah satu-satunya kasus kekerasan terhadap anak. Saat ini, ada sebanyak 32 kasus kekerasan terhadap anak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sedang ditangani oleh lembaga Save The Children (Tempo, 13/09/2022).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021, dengan jumlah kasus kekerasan seksual sebanyak 7.004 kasus.(Kompas, 22/3/2022)
Sementara itu, situs kekerasan.kemenpppa mencatat bahwa pada tahun 2022, setidaknya terdapat sebanyak 17.520 kasus kekerasan pada anak dengan 7.503 kasus kekerasan seksual, dengan usia rata-rata 13-17 tahun.
Lantas, kenapa kasus kekerasan pada anak terus meningkat, padahal pemerintah melalui KemenPPA telah mendaulat banyak kota sebagai Kota Layak Anak.
Apa itu KLA
Menurut situs kla.id, KLA adalah kabupaten atau kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak. Dengan demikian anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Setiap tahunnya ada penilaian dan penghargaan yang akan diberikan kepada kota-kota ramah anak. Tim evaluasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kementerian lembaga dan Tim Independen akan mengkategorikannya ke dalam lima peringkat yaitu Pratama, Madya, Nindya, Utama dan KLA.
Dengan enam kategori penilaian yaitu, penguatan kelembagaan, hak sipil dan kebebasan, hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak pendidikan dan kegiatan seni budaya, hak perlindungan khusus.
Upaya meraih Kota Layak Anak semakin gencar, namun hal tersebut tidak mengurangi angka kekerasan pada anak.
Komisioner KPPAD Batam, Abdillah mempertanyakan predikat Kota Layak Anak kategori Nindya yang diterima Kota Batam, di tengah meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak. Sebab sepanjang 2021 Polresta Barelang telah menangani 15 kasus pelecehan dan pencabulan terhadap anak.
Sedangkan pada tahun 2022, hingga Juni saja Polresta Barelang sudah menangani 12 kasus.
Abdillah mengaku ragu dengan penilaian tersebut. Sebab dari beberapa indikator, pembinaan terhadap anak belum optimal, program pencegahan pun jauh dari kata optimal serta upaya sosialisasi yang minim.
Hal senada juga disampaikan oleh Romo Chrisanctus Paschalis, penggiat anak tersebut juga mempertanyakan penghargaan yang terima Kota Batam sebagai Kota Layak Anak. Romo menduga bahwa komitmen pemerintah Kota Batam melindungi anak, hanya dilakukan di atas kertas.(batampos.co.id, 25/7/2022)
Jika melihat fakta tersebut maka upaya meraih penghargaan sebagai Kota Layak Anak tidaklah sejalan dengan upaya melindungi anak dari tindak kekerasan, anak yang seharusnya menjadi subjek kebijakan justru cenderung dijadikan sebagai objek. Alhasil prestasi menjadi prioritas, sedangkan pemenuhan terhadap hak-hak anak, ketahanan keluarga, pembinaan pendidikan, pembentukan kepribadian yang benar terabaikan.
Islam Melindungi Anak
Dalam Islam, anak adalah amanah dari Allah Subhahu wa ta’ala yang harus dijaga, dilindungi, dan dipenuhi hak-haknya oleh negara.
Anak merupakan generasi harapan yang akan memimpin peradaban. Oleh karena itu Islam maksimal dalam memberikan perlindungan, pendidikan, maupun memberikan sanksi sesuai syariat Islam terhadap perilaku kejahatan, sebagai bentuk pencegahan terjadinya tindakan kejahatan dan juga kekerasan terhadap anak.
Salah satu upaya mencegah terjadinya kekerasan adalah dengan memberikan pendidikan Islam. Di mana pendidikan Islam akan menanamkan akidah yang kokoh, memilah dan memilih mana perbuatan yang dibolehkan dan dilarang oleh agama. Anak juga dibiasakan untuk menutup aurat secara sempurna, dan menjadi wajib bila usia baligh tiba, untuk menghindari terjadinya tindakan kekerasan dan asusila.
Anak juga diajarkan untuk menjaga dirinya dari pergaulan bebas, tidak berkhlawat, tidak tabaruj bagi perempuan, tidak menyakiti atau menzalimi orang lain.
Tidak hanya itu, Islam juga memberikan sanksi sebagai tindakan kuratif terhadap para pelaku kejahatan, dengan tujuan memberikan efek jera (jawazir). Sehingga tidak ditiru dan diulangi kembali. Sedangkan hukum Islam yang diterapkan oleh negara Islam, akan dapat menebus dosa manusia di akhirat nanti (jawabir).
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al Maidah: 33)
Oleh karena itu, KLA tanpa penerapan Islam kafah adalah sia-sia. Aturan Islam tidak diterapkan oleh negara Islam tidak ada gunanya. Dan tanpa sistem Islam yang menyuruh dalam sebuah negara, mustahil kekerasan anak tiada. Wallahu’alam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google