Oleh: Fina Fatimah
(Anggota Ksatria Aksara Bandung)
Perang pemikiran atau dalam bahasa Arab disebut ghazwul fikri sudah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Dari zaman diutusnya Rasulullah Saw. sebagai nabi akhir zaman, perang pemikiran sudah sering digencarkan oleh orang-orang kafir yang memusuhi Islam. Lalu setelah berdirinya negara Islam di Madinah, ketika kekuasaan dan pasukan bersenjata telah ditegakkan, ayat-ayat tentang jihad pun telah diturunkan, maka Rasulullah memadukan antara perang pemikiran dengan perang fisik untuk melawan serangan-serangan kaum kafir harbi dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia.
Umat Islam yang ada di bawah satu kepemimpinan itu memiliki semangat jihad yang luar biasa sehingga ditakuti oleh musuh-musuhnya. Merasa bahwa serangan fisik tak mampu menciutkan mental kaum Muslimin, maka kaum kafir yang bersekongkol dengan para munafik memutar otaknya dan mengubah strategi serangan mereka. Akhirnya mereka menyadari bahwa cara melemahkan kaum Muslimin adalah dengan cara merusak pemikiran umat Islam sendiri dan menjauhkannya dari pemikiran Islam yang benar.
Perang Pemikiran, Jalan yang Diambil Musuh untuk Melemahkan Islam
Perang pemikiran ini ternyata begitu efektif dalam menghancurkan umat Islam dikarenakan dapat langsung merasuk dan mengobrak-abrik pemikiran seorang muslim secara halus dan tak banyak mengeluarkan biaya serta tenaga. Saking halusnya mayoritas umat Islam tidak menyadari akan dampak yang dahsyat yang ditimbulkan dari perang pemikiran ini. Hal ini menyebabkan sebagian besar umat Islam di zaman modern ini lalai membangun ‘benteng pemikiran’ untuk menghalau serangan-serangan tak kasat mata itu.
Jika kita amati di era sekarang, orang-orang muslim sangat lemah dalam menghadapi serangan-serangan pemikiran. Bahkan, kebanyakan mereka tidak bisa membedakan mana pemikiran yang berasal dari Islam dan mana yang bukan berasal dari Islam. Pemikiran di luar Islam dengan mudahnya diterima oleh kaum Muslimin sehingga merusak pemikiran Islam yang sesungguhnya.
Misalnya saja, pemikiran tentang demokrasi yang sejatinya merupakan pemikiran yang berasal dari Barat diterima dan diagung-agungkan seolah-olah demokrasi adalah segala-galanya. Lalu munculah pernyataan dari muslim yang pikirannya telah rusak bahwa konstitusi itu kedudukannya lebih tinggi dari hukum Allah. Belum lagi pemikiran-pemikiran kacau seperti kampanye mendukung LGBT, child-free, kesetaraan gender, dan sebagainya. Selain itu menjamurnya isu mental illness dan kemerosotan adab di kalangan pemuda muslim juga merupakan dampak dari tidak dibangunnya benteng pemikiran di era ghazwul fikri ini.
Kembali pada Quran dan Sunnah melalui Literasi
Lalu apakah benteng pemikiran itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah pemikiran tentang Islam itu sendiri yakni aqidah Islam, syariat Islam, dan sistem pemikiran Islam, sehingga kita bisa memahami dasar-dasar dalam Islam itu sendiri dan kita tidak mudah ditipu oleh pemikiran-pemikiran di luar Islam seperti liberalisme yang mampu merusak Islam dari dalam.
Oleh karena itu, agar kaum Muslimin bisa memahami Islam adalah dengan mendekatkan kaum Muslimin dengan sumber Islam itu sendiri yakni Al-Qur’an dan sunnah. Seberapa jauh kita bisa mengambil manfaat dari Al-Qur’an dan seberapa mampu kita memahami agama Islam itu tergantung dari kemampuan literasi kita. Dilansir dari wikipedia yang dimaksud literasi adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, literasi adalah kemampuan untuk memahami apa yang disampaikan dan yang tertulis termasuk di situ adalah bahasa. Urgensi literasi juga dibuktikan dengan wahyu yang pertama turun kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 yang di dalamnya terdapat dua kata yang akrab dengan dunia literasi yakni iqra (perintah untuk membaca) dan kalam (pena/tulisan).
Pentingnya literasi juga tercermin melalui kewajiban seorang muslim dalam menuntut ilmu terutama ilmu agama sejak dilahirkan kedunia hingga ajal tiba. Dalam Islam, orang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya seperti firman Allah SWT.:
“...Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (Q.S. Al-Mujadillah: 11)
Bukti lain bahwa Islam memandang literasi sesuatu yang urgen, yaitu dibangunnya Baitul Hikmah di masa Kekhilafahan Abbasiyah sebagai pusat literasi dan ilmu pengetahuan sehingga mencetak banyak ulama-ulama muslim yang produktif dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Pada saat itu kaum Muslimin mencapai puncak keemasan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tepatnya pada saat Khalifah Harun Ar-Rasyid memimpin.
Sebenarnya banyak sekali bukti bahwa literasi merupakan salah satu faktor kejayaan kaum Muslimin. Salah satu faktor kemunduran kaum Muslimin di antaranya adalah dengan meninggalkan literasi. Kemunduran Islam bermula sejak dijauhkannya umat Islam dari pemahaman berbahasa Arab. Padahal kekuatan bahasa Arab dan Islam merupakan satu kesatuan, karena Al-Qur’an sendiri diturunkan dengan berbahasa Arab, maka bagaimana kaum Muslimin mampu memahami kalam Allah jika bahasa Arab dipisahkan dari umat Islam?
Belum lagi di era sekarang dimana 3F (Food, Fun, Fashion) disuntikkan ke negara-negara mayoritas muslim hal ini menjadikan umat malas untuk melakukan apa pun, terutama membaca. Di Indonesia sendiri yang merupakan negara dengan mayoritas muslim, menjadi negara yang tingkat literasinya rendah. UNESCO menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. (Kominfo.go.id 10/10/2017)
Padahal dengan meningkatkan literasi, pemikiran umat Islam tidak akan mudah dipengaruhi dengan pemikiran asing yang bertentangan dengan Islam. Umat Islam tidak akan mudah menerima berita-berita hoax menjatuhkan Islam yang sering disebarkan oleh kaum kafir dan munafik.
Dari pemaparan di atas, salah satu upaya untuk membentengi pemikiran kaum Muslimin adalah dengan mengembalikan semangat literasi pada kaum Muslimin. Para ulama dan kaum Muslimin terdahulu tidak menjadikan kewajiban menuntut ilmu sebagai beban, melainkan sebuah kenikmatan, bagaimana bisa hal tersebut terjadi?
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz hafidzahullah mengatakan, “Jiwa itu mempunyai sifat tertarik untuk mendengar dan mengetahui keutamaan sesuatu. Karena terkadang dia menyangka bahwa keutamaan dari sesuatu itu hanya satu dan tidak berbilang. Ketika keutamaannya banyak, akan semakin banyak pula sisi ketertarikannya terhadap sesuatu tersebut. Dia akan perhatian kepadanya, bersemangat mendapatkannya, dan menjelaskan kepada manusia tentang keutamaan yang akan mereka dapatkan kalau memegang teguh tauhid ini.”
Keutamaan menuntut ilmu yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah sebagai pemantik semangat mereka dalam menuntut ilmu. Di antara keutamaan menuntut ilmu selain untuk kejayaan Islam adalah dimudahkan baginya jalan menuju surga (H.R. Muslim, no. 2699), akan ditinggikan derajat orang yang berilmu (Q.S. Al-Mujadillah:11), Rasulullah menyukai orang yang berilmu (H.R. Abu Daud No. 3175), memiliki keutamaan (H.R. Bukhari No. 4640), dan dimintakan ampun oleh seisi langit dan bumi (H.R. Ibnu Majah No.235)
Semangat dan kecintaan kaum Muslimin terhadap ilmu juga didukung penuh oleh negara dengan menjadikan perpustakaan sebagai sarana pendidikan yang nyaman dan menyenangkan. Negara juga memberikan fasilitas pendidikan secara penuh dan bebas biaya. Berbanding terbalik dengan kondisi di sistem saat ini dimana biaya untuk mendapatkan pendidikan yang layak terlampau tinggi. Bagaimana mungkin sistem kapitalisme mampu mendukung kaum Muslimin dalam peperangan bernama ghazwul fikri ini? Justru sistem inilah yang malah memupuk serangan-serangan tersebut agar semakin masif.
Selain membaca, menulis juga termasuk kedalam literasi. Maka menulislah sebagai metode menyebarkan opini Islam yang kaffah, yaitu sebagai senjata kaum Muslimin untuk melawan balik pemikiran-pemikiran Barat yang menyesatkan. Menulislah, agar ilmu yang kau dapat tak kabur begitu saja.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Semua penulis akan meninggal, hanya karyanyalah yang akan abadi sepanjang masa. Maka tulislah yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti.”Wallahu a'lam bisshawab. (rf/voa-islam.com)