Oleh: Sunarti
"Bagai menegakkan benang basah" adalah idiom yang tepat ketika hendak memperbaiki kondisi perundungan yang terjadi saat ini. Tidak hanya sekali dua kali, tapi sudah banyak yang melakukan bully-an atau yang menjadi korban dari perundungan tersebut.
Sebut saja aksi bullying atau perundungan kembali terjadi di lingkungan pendidikan. Seorang siswa di SMP Baiturrahman, Kota Bandung, menjadi korban.
Aksi perundungan tersebut terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial. Dalam video yang diunggah akun Twitter @DoniLaksono, tampak seorang siswa memasang helm pada korban. Kemudian pelaku menendang kepala korban hingga terjatuh.
Rekan korban yang ada di dalam kelas tersebut hanya melihat aksi bully tersebut. Korban yang terjatuh juga dibiarkan dan malah ditertawakan rekan-rekannya. Dari narasi yang beredar, korban sempat dilarikan ke rumah sakit (Kumparan.news.com).
Tidak hanya satu berita saja yang terjadi, ternyata ada kasus-kasus serupa di lain tempat. Seperti para remaja yang menendang seorang perempuan lansia hingga terjungkal. Pelakunya para pelajar yang mengendarai sepeda motor pelat T.
Sangat disayangkan ketika para pelajar yang seharusnya memiliki adab dan akhlak yang baik, justru menjadi pemuda yang tega melakukan kekerasan terhadap teman, juga ada yang melakukan terhadap perempuan yang sudah lansia pula.
Bukan hanya di lingkungan sekolah. Beberapa waktu lalu juga beredar kabar seorang santri di sebuah pondok yang juga wafat karena kasus bullying. Namun seolah adanya kasus bullying di berbagai tempat, terkesan ditutup-tutupi dan kasusnya menghilang begitu saja dari pemberitaan.
Tak ada akibat jika tidak ada sebab. Maraknya aksi bullying bukan hanya disebabkan oleh individu (anak-anak remaja atau pelajar) tersebut. Mereka yang sudah menipis iman, bahkan sudah tidak lagi memiliki adab dan akhlak yang baik, ditambah dengan kondisi lingkungan yang membawa emosional mereka tidak bisa terkendali. Mereka dipengaruhi oleh gaya hidup di tempat tinggalnya atau di sekolah mereka. Seperti, menampakkan eksistensi diri di lingkungan mereka.
Mereka dengan mudahnya melakukan kekerasan karena telah luntur nilai-nilai moral dan kehilangan rasa perikemanusiaan. Akhirnya begitu saja melakukan kekerasan yang melukai orang lain, bahkan hingga ada yang merenggut nyawa.
Kasus-kasus bullying terkesan diselesaikan dengan cara mudah dan tidak memberi efek jera. Hukuman yang sifatnya hanya nasehat, tidak akan memperbaiki kondisi perundungan yang terjadi di negeri ini. Baik para pelaku maupun masyarakat, akan tidak lagi takut untuk mengulang hal yang sama.
Lebih disayangkan lagi, para pelaku aksi bullying masih dianggap sebagai anak-anak. Itu disebabkan undang-undang yang berlaku usia 17 tahun masih dikategorikan anak-anak, sehingga tidak terkena hukuman. Hanya dianggap sebagai kenakalan remaja biasa.
Sisi lain, bisa juga disebabkan mereka kehilangan rasa kasih sayang di dalam rumah orang tuanya. Kecenderungan untuk melampiaskan amarahnya, diarahkan untuk melakukan perundungan terhadap orang lain. Lepasnya kasih sayang, perhatian dan keharmonisan keluarga, bisa mempengaruhi emosional mereka.
Semua ini menunjukkan bahwa sistem sekuler tidak lagi bisa dipertahankan. Faktanya, sistem ini telah menjadikan generasi penerus bangsa menjadi generasi yang rusak, tak memiliki adab dan akhlak yang baik serta mulia. Padahal mereka adalah generasi muda yang diharapkan menjadi generasi yang tangguh dan berkepribadian unggul. Menjadi generasi yang mengemban peradaban mulia.
Perbaikan harus dilakukan sesegera mungkin agar kasus ini tidak berlanjut hingga lebih parah. Adalah sesuatu yang harus diperhatikan oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:
Pertama, pentingnya penanaman akidah pada anak sejak usia dini. Hal ini bisa mencetak generasi yang tangguh dan kuat dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Terutama ketika menghadapi kehidupan sehari-hari yang bergelut dengan ganasnya sistem kapitalis. Anak harus disiapkan, agar bisa menyelesaikan problematika dengan cara yang Allah dan RasuNya ajaran.
Kedua, menanamkan akhlak yang baik pada anak sejak usia dini. Apabila saat ini anak sudah terlanjur memiliki budi pekerti yang tak baik, maka perlu rehabilitasi maksimal dari lingkungan keluarga dan difasilitasi oleh negara.
Yang ketiga adalah memperbaiki kondisi lingkungan. Jika lingkungan kondusi, yang artinya seluruh masyarakat memiliki kesadaran akan penanaman akhlak baik bagi anak (generasi penerus) maka ini akan sangat membantu terhindarnya kawula muda dari jeratan saling membully. Akan ada warga sekitar yang selalu tanggap munculnya berbagai gelagat yang tidak baik atas anak-anak di lingkungannya.
Mereka akan "sayuk saekoprojo" (saling bahu-membahu dan bersamaan) menjaga kebaikan akhlak mereka dan juga anak-anak mereka. Akan selalu menjaga pengaruh dari luar lingkungan mereka dan menjauhkan hal-hal yang bisa memunculkan kekerasan di lingkungan mereka juga anak-anak mereka. Karena suasana keimanan selalu tertanam secara kuat.
Keempat adalah peran negara sebagai penegak hukum. Seharusnya negara menerapkan aturan yang bisa memberikan efek jera. Tindakan tegas juga dilakukan kepada pelaku aksi bullying tersebut.
Kelima, aturan perundang-undangan yang menetapkan usia anak-anak tidak dipukul rata di usia 17 tanun. Karena bisa saja anak-anak yang berada di bawah usia tersebut, mereka sudah balighdan dianggap sudah dewasa. Jadi memungkinkan untuk menerapkan hukum sebagaimana mestinya.
Keenam, sistem pendidikan yang seharusnya meletakkan adab, akhlak dan keimanan di ranah pendidikan dasar harus ditetapkan. Agar anak-anak di tingkat pendidikan tinggi (SMP, SMA juga mahasiswa) mengetahui konsekuensi atas apa yang dilakukannya. Yang diharapkan generasi penerus bangsa yang memiliki kepribadian yang tangguh serta beradab mulia bisa terwujud.
Yang terakhir adalah evaluasi secara menyeluruh terhadap penerapan semua sistem. Karena satu sistem dengan sistem yang lain selalu berkaitan efek samping yang ditimbulkan. Karena munculnya persoalan tidak hanya muncul dari satu sisi saja. Karena sejatinya sistem sekuler yang diterapkan saat ini, adalah sistem yang cacat sejak lahir.
Untuk itu, tidak layak sejatinya jika semua menyalahkan aturan Islam yang seringkali ditawarkan oleh berbagai kalangan. Jika saja ada banyak yang melihat alternatif lain untuk merubah kondisi, maka solusi kembali pada aturan Islam yang belum pernah dilirik untuk menggantikan sistem yang rusak ini. Wallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google