Oleh: Diana Rahayu
Ga kuat banget baca berita sadis pasutri jaman ini. Ada suami nusuk perut istri berkali-kali, membenturkan kepalanya ke tembok hingga menggorok leher istri dengan pisau dapur, yang semuanya berujung kematian. Apa sebab? Takterima dituntut cerai, tak suka ditagih uang belanja, sampai kesal masalah uang 100 ribu hasil kerja suami sebagai juru parkir, yang dipegang istri ga boleh dimita kembali. Sadisnya, hal tersebut ada yang dilakukan suami di depan anaknya yang masih balita.
Kasus ngeri domestic violence (kekerasan dalam dalam rumah tangga), dengan beragam sebab sampai pada tindak kriminal pembunuhan, membuat kita tak habis pikir. Bagaimana bisa, wanita yang dulu dicinta, dipuja dan diperjuangkan untuk diminta dari orang tuanya, dengan mudah dibunuh hanya karena hal sepele. Seperti ada yang ga konek. Tapi sih, hal mendasar kenapa bisa sampai terjadi kriminalitas, kuncinya ada pada lemahnya pengelolaan emosi.
Bicara emosi, semua manusia sejak lahir dikasih Allah swt naluri bertahan pada dirinya. Dia ga mau dijatuhin begtu saja harga dirinya, dianggap tak berdaya atau dihinakan. Kasus suami yang merasa tak punya power di hadapan istri karena dianggap ga becus cari nafkah, sangat mudah memicunya untuk marah. Apalagi, seorang lelaki itu pantang direndahkan oleh wanita. Ditambah beratnya kehidupan dengan gaya sekuler kapitalis yang menghimpit, bikin makin tipis daya tahan dalam menghadapi ujian berumahtangga.
The fact, potret buram kehidupan sekuler kapitalistik memang jauh melempar manusia dari keimanan. Tak ada lagi rasa diawasi oleh Sang Maha Kuasa. Hilang harapan pada Sang Pemilik Jagat Raya. Merasa hidup hanya sebatas dunia, akhirat hanya dongeng semata. Jadinya enteng aja berbuat kejahatan tanpa takut kelak akan dihisab oleh Allah swt. Na’udzubillahi min dzalika
Padahal ya, kalau kita muslim nih, akidah Islam harusnya jadi support kekuatan dan kesabaran yang lebih dari cukup, untuk menghadapi kesulitan dan beratnya kehidupan. Yakin bahwa ujian bagi mukmin itu penggugur dosa dan penambah pahala. Imannya jadi perisai untuk sabar dan tetap waras saat ketemu masalah. Hingga tak jatuh berbuat maksiat, dan keep strong dengan tawakkal pada Allah swt. Dia pun selalu ingat sabda Rasululah saw dari Shuhaib,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Lantas, darimana atmosfer iman itu bisa cukup terpasok untuk semua masyarakat? Supaya mereka kebal dengan ujian, ga lembek dan ga sumbu pendek? Nah, disinilah perlu hadirnya negara untuk membantu rakyatnya agar hidup tenang, aman dan damai. Negara ga boleh absen dalam menciptakan suasana keimanan dalam kehidupan rakyat. Dengan cara apa? Didik mereka dengan syariat agama yang benar, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Akses sosial media pun harus dikawal dengan nafas iman, agar masyarakat selalu terselimuti dengan dorongan kebaikan.
Finally, kebutuhan dasar dan pokok masyarakat haruslah dipenuhi, dan beneran dipastikan hingga masing-masing person tercukupi dengan sempurna. Kesejahteraan rakyat menjadi nomor satu yang yang harus terwujud, jika ingin mereka selamat dari kriminalitas, baik sebagai pelaku maupun korban. Hal tersebut tentulah membutuhkan sebuah institusi negara yang faham tugas melayani rakyat tanpa pamrih. Negara yang bukan tegak di atas sekulerisme, tetapi negara yang tumbuh dari iman dan akidah yang benar. Dari sinilah akan lahir bangunan rumah tangga yang penuh rahmah, jauh dari amarah. Wallahu a’lam bishawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google