View Full Version
Sabtu, 23 Dec 2023

Darurat! Anak Indonesia Kecanduan Judi Online

 

Oleh: Wike Wijayanti

Sejumlah anak usia sekolah dasar didiagnosis kecanduan judi online. Laporan terbaru PPATK menemukan 2,7 juta orang Indonesia berpenghasilan di bawah Rp100.000 per hari, terlibat judi online. Sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar.

Pengamat keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, mengatakan pemerintah mesti menyeriusi persoalan ini karena target judi online bukan lagi orang dewasa, tapi generasi muda. Anak-anak sekolah dasar disinyalir sering menghabiskan waktu untuk menonton konten live streaming para streamer gim yang secara terang-terangan mempromosikan situs judi slot.

Berdasarkan riset dokter spesialis anak, jika dibiarkan mereka akan terindikasi kecanduan judi yang diantaranya boros, uring-uringan, tidak bisa tidur dan makan, menyendiri, dan performa belajar terganggu. Alih-alih untuk jajan, uang saku pemberian orang tua mereka gunakan untuk berjudi. Jika uang mereka habis karena kalah judi, perilaku mereka menjadi tak terkendali.

Mencari Akar Masalah

Anak terjerat judi online merupakan masalah besar yang wajib diseriusi semua pihak. Jika kita simpulkan, ada tiga faktor besar yang bertanggung jawab atas permasalahan ini yaitu faktor keluarga, masyarakat atau lingkungan dan negara.

Faktor pertama keluarga. Peran orang tua dalam mendidik hari ini mendapat tantangan yang sangat berat. Selain sistem pendidikan sekuler yang tidak membentuk karakter mulia, anak-anak tumbuh pada era digital yang serba bebas. Penggunaan gawai yang tidak terkontrol merupakan salah satu penyebab anak dapat mengakses segala hal di dunia digital.

Awalnya bermain gim, lalu merambah ke judi online. Dari kesenangan sejenak, berubah menjadi kecanduan yang parah. Apalagi jika anak-anak diberi sarana dan fasilitas yang memudahkan mereka berselancar di internet tanpa pendampingan orang tua. Baik gim atau judi online, sama-sama berbahaya. Kalau sudah kecanduan, anak tidak akan pernah merasa puas.

Perilaku-perilaku buruk akibat kecanduan judi online akan turut menyertainya, semisal boros uang, sensitif, emosi meledak-ledak, tidak punya semangat hidup, tidak fokus, kinerja belajar menurun, stres, depresi, berbuat kriminal, dan yang paling fatal melakukan aksi bunuh diri.

Faktor Kedua, lingkungan atau masyarakat. Masyarakat yang terbentuk dalam sistem kapitalisme cenderung individualistis. Rasa peduli yang rendah membuat masyarakat tidak mau terlalu mencampuri urusan orang lain. Dalam sistem sekuler, tidak ada pembiasaan menyerukan kebaikan dan mencegah kerusakan. Mereka cenderung pasif jika kemaksiatan terjadi di depan mata.

Sebagai contoh, jika ada seorang pelajar mendatangi penyedia jasa internet, orang di sekitarnya tidak akan peduli apa yang ia akses, yang penting ia bayar tarif internet. Masalah konten yang dilihat atau sedang bermain apa dianggap ranah privasi yang tidak boleh diganggu siapa pun.

Faktor ketiga, negara. Jika judi online sudah menyasar anak-anak, ini adalah tamparan keras bagi negara dalam melakukan fungsinya sebagai pelindung generasi. Meski Kemkominfo sudah melakukan upaya pemblokiran situs hingga rekening pelaku, nyatanya hal tersebut belum cukup mampu memberangus gurita judi online.

Komitmen negara tampak masih kurang dalam memberantas segala hal yang merusak generasi. Bahkan, beberapa artis malah menjadi influencer judi online. Artinya, perangkat hukum di negeri ini belum memberikan efek jera bagi pelaku kriminal. Dalam sistem sekuler, sebagian masyarakat menganggap judi online sah-sah saja, bukan perilaku yang harus dijauhi.

Mirisnya lagi, judi online dianggap sebagai solusi masalah keuangan. Mereka memilih jalan pintas demi hasil instan. Sehingga kita dapati bahwa komitmen negara untuk menyelesaikan persoalan ini tidak kuat, dan jelas-jelas tidak menyelesaikan masalah sampai ke akarnya.

Mencari Solusi

Inilah salah satu potret buruk sistem kehidupan sekuler yang meminggirkan agama (Islam) sebagai pengatur kehidupan. Islam cenderung dilupakan dan terlupakan ibarat aturan usang dan terbuang. Nyatanya, sepanjang sejarahnya, sistem dan peradaban Islam telah sukses mencetak generasi gemilang dengan segudang prestasi dunia dan akhirat.

Pertama, daulah islam menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Dalam aspek keluarga, orang tua harus mendidik anak-anaknya menjadi hamba Allah yang taat, tidak bermaksiat, dan gemar beribadah. Anak-anak harus mengenal jati dirinya sebagai hamba Allah Taala.

Kedua, masyarakat yang terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka tidak akan menoleransi perilaku maksiat di sekitarnya. Hal ini akan turut mendukung suasana keimanan di tengah masyarakat, yang menjadi tempat anak-anak tumbuh dan berkembang. Dengan begitu, anak-anak akan terjaga dari perilaku buruk dan menjadi pelajar taat.

Ketiga, negara menerapkan sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam yang akan membentuk pola pikir dan pola sikap pelajar sesuai arahan Islam. Pelajar akan memiliki standar perbuatan berdasarkan Islam. Bukan hanya kesenangan materi, tetapi mereka akan memilih aktivitas yang Allah ridai. Negara akan menutup setiap akses judi online juga akan melarang konten-konten yang memuat keharaman atau yang tidak mengedukasi masyarakat untuk taat.

Selain itu, negara memberi sanksi hukum yang memberi efek jera bagi setiap pelaku kriminal dan kemaksiatan. Maka dengan hal ini Islam akan melahirkan generasi qur’ani, bukan generasi pecandu gim atau judi. Sistem yang sempurna dan komprehensif ini hanya akan terealisasi melalui penerapan Islam secara kaffah. Wallahu'alam Bishawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version