Oleh: Ameena N
Tren buka hijab, sebuah tren yang membandingkan antara dua foto yang memiliki waktu dan keadaan yang berbeda. Bisa tahun atau bulan. Seperti contoh, tahun 2022 masih berkerudung, tahun 2023 sudah buka kerudung. Dan ternyata banyak sekali yang mengikuti tren ini. Banyak perempuan yang awalnya berkerudung kemudian memutuskan untuk tidak berkerudung. Faktornya bisa banyak, namun alasan yang paling mendukung adalah karena fashion.
Sampai di 2023 kemarin kita mendapati bahwa fashion sudah semakin berkembang dengan berbagai bentuk busana, riasan wajah, riasan rambut, aksesoris, dan lain-lain. Hal-hal yang berbau penampilan semacam itu memang merupakan sesuatu yang bisa membuat para perempuan, khususnya remaja haus dan penasaran.
Semakin banyak wanita cantik yang mengumbar kecantikannya, semakin membuat perempuan yang lain haus akan pengakuan yang serupa. Tren riasan rambut, tren riasan wajah, tren model baju yang terus bertambah dan berganti membuat para perempuan menjadi semakin penasaran. Belum lagi ditambah dengan para selebritas yang mengenakannya dan membuat semua hal itu semakin menggemparkan.
Itu masih dari segi penampilan. Ada lagi yang alasannya karena merasa belum siap untuk menjadi baik secara sempurna. Belum siap untuk tidak ikut tren joget di TikTok misalnya. Apalagi zaman sekarang ada yang namanya “dance cover K-Pop” yang mana hal ini juga memiliki pengaruh. Ketika seseorang menari di depan umum entah itu di sosial media atau secara langsung, jika mereka masih mengenakan kerudung, maka tentu saja akan menjadi pembicaraan khalayak.
Walaupun banyak juga yang tetap melakukan tarian tersebut dengan tetap memakai kerudung namun tetap saja, pandangan orang-orang terhadap yang berkerudung dengan yang tidak berkerudung berbeda. Yang berkerudung cenderung akan mendapatkan tekanan dan kritikan yang lebih banyak. Mereka jadi merasa tidak nyaman karena tidak bebas. Akhirnya mereka menyerah dengan kerudung mereka.
Dampak fenomena FOMO
FOMO adalah singkatan dari Fearing of Missing Out atau definisi singkatnya, takut ketinggalan tren. Seperti contoh, sedang tren berburu Cromboloni, kita akan merasa cemas bahkan jika tidak ikut memakannya juga atau seperti banyak orang yang pergi liburan ke Bali, kita juga jadi merasa harus melakukannya. Jika tidak melakukannya, maka ada perasaan seperti cemas, gelisah, tidak puas, karena menganggap bahwa kita tidak keren, tidak gaul, sehingga menghinakan diri sendiri, merendahkan diri sendiri, kecewa, tidak bahagia karena menilai bahwa yang menjadi tren itulah bentuk kebahagiaan, dan lain-lain.
Tentu saja, fenomena ini memiliki pandangan serius dari segi medis. Reaksi utama dari fenomena FOMO adalah rasa cemas. Rasa cemas, mampu memicu stres berlebih sehingga dapat mengganggu tidur, makan, mood, kesehatan dan mempengaruhi kehidupan sosial kita. Kita akan cenderung terobsesi untuk terlihat sempurna di mata orang lain, dibandingkan menjadi diri sendiri.
Masalahnya, obsesi inilah yang dapat membuat kita semakin kehilangan arti hidup. Alih-alih untuk beribadah kepada Allah, kita akan lebih banyak menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi. Dan itu terbukti dengan adanya tren buka hijab ini. Hanya karena ingin mencoba rambut model baru, baju model baru yang terbuka, dance challenge, kita rela membuka hijab. Padahal, dibandingkan itu semua, seharusnya perintah Allah dan ketakutan kita terhadap Allahlah yang paling utama.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Al-Ahzab: 59).
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat ayat 56).
Media sosial bukanlah kehidupan nyata
Media sosial memiliki peran paling penting di fenomena ini. Orang-orang biasanya cenderung lebih banyak berekspresi ketika mereka bermain media sosial. Ekspresi-ekspresi inilah yang secara tidak langsung membuat kita berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di mata orang lain bahkan sampai ada yang memalsukannya demi sebuah pengakuan.
Media sosial bukanlah kehidupan nyata. Seperti contoh, ada orang yang membangun pribadinya bak orang yang kaya dengan memamerkan barang-barang jenama di sosial media, padahal sebenarnya, barang-barang jenama yang dia kenakan adalah barang-barang pinjaman dari temannya. Tidak sedikit pula yang mengenakan barang palsu. Namun siapa peduli, jika ribuan pujian bisa diraih.
Siapa pun bisa memiliki rasa iri melihat tipuan itu. Lalu, rasa iri yang timbul ini akan merambah ke rasa rendah diri. Rasa rendah ini pula akan menimbulkan rasa cemas. Lalu, rasa cemas ini akan memutuskan tindakannya, seperti melakukan segala cara agar mendapatkan reaksi yang serupa. Itulah mengapa kasus kejahatan seperti korupsi, mencuri, menjadi simpanan, prostitusi, marak di berbagai negara. Karena terlalu banyak hajat duniawi demi eksistensi yang perlu dipenuhi namun kemampuan finansial masih jauh dari kata mampu.
Jangan hidup berdasarkan tren
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepadaNya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran ayat 102).
Mengikuti apa-apa yang sedang tren itu boleh-boleh saja. Asal tahu batasannya, jangan sampai dijadikan sebagai acuan hidup. Allah membimbing kita lewat Al-Qur’an dan Sunnah. Jika mau mengikuti tren, maka perhatikan Al-Qur’an dan Sunnah-nya dulu. Sesuai, tidak? Melanggar, tidak? Karena bagaimana pun, kita adalah manusia yang memiliki rasa ingin diakui dan mempertahankan diri. Di dalam Islam disebut dengan “Gharizah Baqa’”.
Jika ingin berpakaian seperti yang sedang tren, lebih baik dipertimbangkan dulu. Apakah benar-benar perlu? Jika masih tetap ingin, maka pakailah di dalam rumah saja—untuk pakaian yang tidak menutupi aurat. Model rambut juga, bisa dicoba di rumah saja. Berkaca, dinikmati secara pribadi. Bagaimana dengan tren tarian? Maka menarilah di rumah juga, sebagai olahraga misalnya. Tidak semua hal di dunia ini harus ditunjukkan pada dunia. Hal-hal itu juga bentuk penjagaan dari Allah untuk kita.
Seperti yang dijelaskan oleh surat Adz-Dzariyat sebelumnya bahwa kita diciptakan oleh Allah semata-mata hanya untuk beribadah kepadanya, maka dedikasihkan hidup kita sebagaimana semestinya. Jika memang dengan mengikuti semua tren bisa menjadikan kita manusia yang paling baik, maka silahkan saja menjadikan tren sebagai pembimbing hidup kita. Namun kenyataannya tidak begitu. Kita malah menimbulkan permusuhan, iri, dengki, bahkan bencana bagi manusia lainnya.
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya. (HR. At-Tirmidzi no. 3895).
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelaajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027)
“Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari no. 6035).
Sebaik-baiknya manusia, Allah sudah banyak menyebutkannya, salah tiganya—seperti ketiga dalil di atas—adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, bermanfaat bagi manusia lainnya, dan yang paling baik pada keluarganya. Bisa disimpulkan bahwa Allah sangat ingin hidup kita penuh dengan cinta pada sesama. Bukan berlomba-lomba dalam eksistensi duniawi. Jadi fokuslah pada Allah, bukan pandangan dan pengakuan manusia. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google