Oleh: Gayuh Rahayu Utami
Kondisi perempuan di negeri ini jauh dari kesejahteraan yang hakiki. Berbagai kasus yang dialami di antaranya, kasus pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, angka kematian ibu juga tidak kalah mengkhawatirkan. Namun ide kesetaraan gender terus digaungkan untuk mengatasi masalah yang dialami oleh perempuan.
Tahun 2024, komitmen KemenPPPA untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak akan terus ditingkatkan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menambahkan pihaknya akan berfokus pada penguatan kelembagaan dan perbaikan pelayanan publik, terutama terkait lima arahan prioritas Presiden dengan mengedepankan sinergi dan kolaborasi lintas sektor mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, dunia usaha, dan media.
Program indeks pembangunan gender mulai digaungkan tahun ini dengan tujuan untuk menyelesaikan berbagai problematika yang menimpa pada diri perempuan yang hari ini jauh dari kata ketentraman baik dari segi fisik maupun batin. Namun seiring waktu berjalan untuk mengatasi persoalan pada perempuan masih jauh dari panggang api. Pada program ini makna berdaya adalah perempuan berkiprah di dunia kerja dan dunia parlemen. Kemudian perempuan harus bisa mencetak uang dan berpenghasilan agar kedudukannya sama dengan laki-laki.
Memang, program ini seolah-olah bagus dan solutif. Namun pada faktanya, solusi seperti ini adalah solusi tambal sulam. Pandangan kapitalisme bahwa perempuan dianggap tidak mengikuti zaman jika tidak bekerja dan menghasilkan uang. Perempuan dalam kehidupan kapitalisme dipaksa untuk mencari nafkah untuk memenuhi anggota keluarganya. Bahkan tidak sedikit yang berangkat pagi pulang malam tidak bisa mendampingi dan mendidik anak-anaknya dengan maksimal. Lowongan kerja untuk laki-laki sedikit. Lebih banyak yang dibutuhkan dalam perusahaan adalah kaum hawa.
Akibat himpitan ekonomi yang dialami oleh rakyat negeri ini maka seolah-olah perempuan yang menjadi penyebab kemiskinan. Padahal jika kita melirik persoalannya yang begitu sistemik terletak pada sistem yang diterapkan saat ini yaitu kapitalisme sekuler dan ekonominya berbasis liberal. Maka terjadinya penyempitan lapangan pekerjaan di negeri ini dan semakin susah karena negara hari ini tidak memberikan fasilitas lapangan kerja melainkan diserahkan kepada swasta. Sumber daya alam dirampas oleh kaum oligarki yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat khususnya pada perempuan.
Berbeda halnya dengan penerapan Islam. Dalam Islam, perempuan itu sejatinya bukan pencari nafkah melainkan dinafkahi oleh suaminya. Jika suaminya meninggal atau bercerai maka dikembalikan kepada walinya yaitu ayahnya. Jika ayahnya tidak ada, maka diserahkan kepada saudara laki-laki. Kemudian jika tidak punya saudara laki-laki, maka penafkahan diserahkan kepada paman. Jika tidak ada anggota keluarga dan kerabat yang menafkahi, maka perempuan dinafkahi oleh negara.
Sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem ekonomi Islam. Di mana negara memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada laki-laki untuk mencari nafkah. Layanan publik didapatkan dengan mudah dan terjangkau seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan transportasi. Hasil sumber daya alam wajib diberikan kepada rakyat agar kesejahteraan yang sebenarnya dapat dirasakan oleh rakyat.
Jika Islam diterapkan secara sempurna, maka perempuan bisa maksimal menjalankan sebagai fitrahnya sebagai pengatur rumah tangga, mendidik putra-putrinya menjadi generasi shalih shalihah. Kalaupun perempuan bekerja, negara mengatur jam kerja yang sesuai dengan kondisi perempuan dan benar-benar merupakan pilihan bukan karena terpaksa.
Jati diri perempuan akan kembali seutuhnya jika negara tersebut menerapkan aturan Islam secara paripurna. Kesejahteraan perempuan hanya didapatkan dengan Islam tidak ada jalan lain selain kembali kepada aturan Allah di tengah kondisi yang serba rusak dan tidak ideal. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google