Oleh: Ameena N
Banyaknya permasalahan keluarga di Indonesia membuat sebutan ‘Keluarga Cemara’ menjadi sesuatu yang dirindukan.
Bagaimana tidak? Ada 3 juta lebih keluarga di Indonesia yang mengalami konflik cerai hidup. Ada 20 ribu lebih anak di Indonesia yang mengalami kekerasan dan klater tertingginya adalah keluarga. Ada 5 ribu lebih kasus KDRT di Indonesia pertahunnya.
Dari semua permasalahan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa semua orang berhak menjadi orangtua, tapi tidak semua orang layak menjadi orangtua.
Semua orang memiliki hak yang sama dalam memiliki anak. Namun tidak semuanya layak. Contohnya seperti, seorang ibu yang membuang anaknya akibat hamil di luar nikah. Dia berhak memiliki anak itu. Tapi apakah layak? Dengan dia membuang anak tersebut entah alasannya karena belum siap menjadi ibu atau malu, itu saja sudah membuktikan bahwa dia belum layak menjadi orangtua.
Contoh lainnya, ada seorang ibu yang memberikan anaknya susu kental manis saat usia sang anak masih bayi, hingga pada umur 16 bulan, anaknya mengalami obesitas. Mengapa bisa? Mengapa sang ibu memberinya susu kental manis alih-alih susu formula? Yang pertama, karena sang ibu tidak belajar dulu tentang nutrisi apa yang dibutuhkan oleh anaknya, dan apakah benar susu kental manis adalah solusi? Yang kedua, karena keadaan ekonomi yang membuat ia tidak mampu untuk membeli susu formula. Berhubung susu kental manis yang harganya sangat jauh lebih murah, maka tentu saja hal tersebut menguatkan pilihan sang ibu untuk membeli susu kental manis ketimbang susu formula.
Bagaimana menjadi orangtua yang layak?
Jadi, menjadi orangtua yang layak itu seperti apa seharusnya? Apakah harus kaya dulu?
Jawabannya adalah tidak. Kaya itu pendukung namun bukanlah pendukung utama dalam proses menjadi orang tua yang baik. Karena banyak sekali kasus di mana orangtuanya kaya raya, namun hubungan antara anak dan orangtua sama sekali tidak baik. Seringnya karena orangtua yang terlalu sibuk dalam mencari uang sehingga lupa dengan tanggungjawabnya pada anaknya. Padahal menjadi orangtua itu tidak hanya menjadi penyedia materi namun juga pembimbing. Jadi, memiliki ekonomi yang bagus ketika memiliki anak memang penting. Namun bukan yang paling penting. Lantas, hal apa yang paling penting dalam proses menjadi orangtua yang baik? belajar adalah jawaban tepatnya.
Mengapa menjadi Belajar? Bukankah banyak orangtua yang juga berpendidikan namun tetap gagal dalam mendidik anak-anaknya? Memang. Namun yang kita maksud dengan belajar di sini adalah orangtua yang mau belajar hal-hal baru, khususnya cara menjadi orangtua yang baik. Karena orangtua yang berpendidikan, yang memiliki gelas strata 1, strata 2, dan seterusnya belum tentu mau belajar menjadi orangtua yang baik. Banyak sekali dari mereka yang enggan belajar mengenai ilmu parenting.
Semua orang pasti setuju jika kita katakan bahwa orangtua kita itu baru pertama kali menjadi orangtua. Sehingga banyak sekali kebingungan dan kesalahan yang mereka tidak bisa luruskan. Apalagi jika orangyua-orangtua tersebut juga merupakan korban dari kegagalan orangtua mereka dalam membangun keluarga. Maka dari itu, memiliki mental mau belajar itu penting.
Bayangkan saja, dari anak yang baru lahir, sampai dengan dia dewasa dan siap untuk menikah nanti, ada berapa fase pertumbuhan yang akan kita hadapi? Ada saat mereka masih balita, lalu kanak-kanak, lalu remaja, lalu dewasa. Fase-fase tersebut, dalam menghadapinya tidaklah sama dan tidaklah mudah. Sebab itu, sebagai orangtua, memiliki mental ‘mau belajar’ itu penting.
Kasih sayang orangtua
Manusia memiliki kebutuhan emsional. Kebanyakan permasalahan anak yang juga menjadi kegagalan bagi orangtua adalah kurangnya kasih sayang pada anak. Kurangnya kasih sayang orangtua pada anak juga ini bisa berakibat fatal bagi kejiwaan dan pengembangan karakter anak, seperti, tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, salah pergaulan, gangguan mental, kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain, perkembangan kognitifnya terganggu, perilaku menyimpang, dan lain-lain.
Jadi, bagaimana caranya sebagai orangtua, kita bisa memberika kasih sayang dan perhatian yang cukup kepada anak? Kita bisa menggunakan bahasa cinta, atau biasa disebut dengan love language. Love language sendiri memiliki 5 tipe, yakni Acts of Service, Words of Affirmation, Quality Time, Physical Touch, dan Receiving Gift.
Acts of Service adalah tindakan seperti membuatkan bekal yang sehat dan bergizi bagi anak, ayah yang mengantar jemput anaknya, merapikan rambut anak, dan semacamnya.
Words of Affirmation, atau memberikan pujian, apresiasi atau perkataan-perkataan yang baik seperti orangtua mengucapkan terimakasih pada anak, menyatakan kebanggaan, atau motivasi. Tidak hanya secara lisan, namun secara tulisan juga termasuk.
Quality Time, atau menghabiskan waktu bersam, seperti berdiskusi, saling bercerita atau mencurahkan isi hati, liburan bersama, olahraga bersama, dan banyak lagi aktivitas lain yang bisa dilakukan bersama-sama.
Physical Touch, atau sentuhan fisik, seperti memberikan pelukan, kecupan, merangkul, dan elusan di kepala.
Receiving Gift, atau memberikan atau menerima hadiah, seperti memberikan baju baru, makanan yang anak sukai, oleh-oleh ketika pulang bekerja, dan lain-lain. Tidak harus memberikan sesuatu yang mahal atau mewah. Cukup sesuatu yang sederhana namun tulus. Karena sesuatu yang diberikan dengan perhatian dan ketulusan bisa memberikan energi yang positif dan kebahagiaan bagi yang diberi. Apalagi jika yang memberi adalah orang yang anak sayang dan penting bagi mereka, yakni orangtua mereka.
Mungkin tidak mudah untuk memberikan anak semua bahasa cinta tersebut, namun begitulah seharusnya tugas orangtua. Mulailah belajar untuk memberikan itu semua pada anak agar pertumbuhan dan perkembangannya baik.
Orangtua yang berhasil
Keberhasilan bisa kita rasakan di saat anak-anak kita tidak takut bercerita apa pun pada kita. Karena kenyataannya, banyak sekali permasalahan anak yang tidak diketahui oleh orang tuanya karena mereka enggan bercerita. Tidak masalah jika permasalahannya adalah hal-hal kecil seperti makanan di kantin yang tidak enak, atau teman yang memiliki tempat pensil yang lebih bagus. Jika permasalahannya serius seperti pembulian, pergaulan bebas, pelecehan seksual, dan semacamnya, tentu saja akan menjadi hal yang mengkhawatirkan dan mengancam. Faktor mengapa anak enggan bercerita apa pun terhadap orangtuanya perihal masalahnya adalah karena mereka menganggap bahwa orangtuanya tidak akan mendengarkannya, atau justru menyalahkannya. Demikianlah perlunya pembangunan komunikasi antara orangtua dan anak akan menumbuhkan rasa saling percaya di antara keduanya.
Jangan sampai anak menjadi korban atas ketidaklayakan kita sebagai orangtua seperti kurang ilmu, kurang memberikan waktu dan perhatian, atau sampai membuat mereka harus menanggung kehidupan yang tidak layak dan susah karena perekonomian. Hal ini juga sering terjadi.
Harus dipahami bahwa orangtua itu tidak hanya menjadi orangtua saja yang menyediakan kebutuhan anak secara materi, namun juga seorang guru, konselor, teman, sahabat, yang memenuhi kebutuhan emosional anak, pertumbuhan anak, perkembangan karakternya, dan kecerdasan intelektualnya.
Jadi sudah siap memiliki dan membimbing anak? Belum? Maka persiapkan. Jangan hanya memantaskan diri untuk jodoh saja, namun untuk anak juga harus memantaskan diri. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google