Oleh: Sunarti
"Tidak ada asap jika tidak ada api" artinya tidak ada persoalan tanpa sebab. Begitulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi perempuan saat ini. Sudah jamak diketahui jika persoalan yang menimpa kaum perempuan tidak pernah usai. Dari mulai kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual hingga tereksploitasinya kaum perempuan serta persoalan lain yang tak kalah mirisnya. Alih-alih semua solusi yang ditempuh menuai hasil, justru menambah kondisi keterpurukan kaum perempuan.
Ada anggapan bahwa seluruh problem yang menimpa perempuan akibat dari ketimpangan gender, terutama dalam bidang ekonomi. Poin ini dianggap sebagai faktor signifikan yang mendorong ketimpangan besar dunia. Maka dibukalah seluas-luasnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi. Harapannya perempuan bisa lebih berdaya untuk kesejahteraan bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia.
Hal itu sesuai dengan tema Hari Perempuan Sedunia tahun 2024 yaitu "Inspire Inclusion" yang menekankan pentingnya peran inklusi dalam kesetaraan gender. Menurut Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Fahira Idris, tema yang diusung tersebut menunjukkan perlunya aksi konkret dan efektif untuk membuka halangan dan menghilangkan stereotip terhadap perempuan.
Lebih lanjut Fahira mengatakan “Ciptakan lingkungan di mana semua perempuan dihargai dan dihormati. Artinya, pemberdayaan perempuan tidak mengurangi keberdayaan laki-laki karena sejatinya perempuan dan perempuan adalah mitra, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara."
Hari Perempuan Internasional diperingati setiap 8 Maret untuk meningkatkan kesetaraan, menghilangkan diskriminasi, serta menjamin hak-hak kaum perempuan di dunia. Peringatan ini menjadi simbol perjuangan emansipasi perempuan dan sebuah momentum untuk menghargai perjuangan dalam kesetaraan hak dan kesempatan (Nasional.kompas.com; 10 Maret 2024).
Alasan Tidak Sejahteranya Kaum Perempuan
Menilik semua solusi yang ditawarkan saat ini, semua mengarah pada ketidaksetaraan gender. Pandangan kesetaraan gender ini muncul sebenarnya dari pandangan Bangsa Barat yang kehidupan mereka tidak diatur oleh agama.
Kesejahteraan tidak hanya didasari pada posisi perempuan yang berkiprah di ranah publik, namun bagaimana sebuah sistem menempatkan posisi perempuan sesuai kodratnya. Namun bangsa-bangsa Barat (kafir) justru menjadikan alasan ketidakberdayaan perempuan bersumber pada posisi perempuan yang di belakang kaum laki-laki. Bahkan aturan Tuhan (baca Islam) dianggap sebagai faktor penghalang. Mereka menyebut budaya patriarki.
Di masa lalu, gerakan-gerakan kesetaraan gender ini sudah dimulai karena kaum perempuan yang dinomorduakan di negeri Barat memang tampak jelas. Seperti yang ditulis dalam Detik.com bahwa sejumlah tokoh dan penulis seperti Christine de Pizan, Margaret Cavendish dan Mary Wollstonecraft mulai mengangkat isu-isu kesetaraan perempuan selama berbagai periode. Bahkan dalam halaman yang sama juga menyebut bahwa dari laman History Channel, sejarah feminisme dimulai dengan pemikiran Plato tentang kesetaraan gender dan Yunani kuno.
Tidak cukup sampai di sini, gerakan kesetaraan juga telah mengambil alih pada Konvensi Seneca Falls tahun 1848, ketika tokoh seperti Elizabeth Cady Stanton dan Lauretia Mott mengeluarkan deklarasi Sentimen yang mengajukan hak pilih perempuan (Detik.vom).
Demikianlah, mereka bangsa Barat selalu menuduh berbagai persoalan yang menimpa perempuan bersumber pada posisi tidak setaranya perempuan dengan kaum laki-laki. Padahal ketimpangan yang terjadi juga atas perlakuan mereka terhadap kaum perempuan.
Dari sini terlihat jika tidak sejahteranya perempuan bukan dari tidak setaranya perempuan dengan laki-laki. Akan tetapi bagaimana sebuah sistem diterapkan dalam kehidupan. Tidak sejahtera tidak saja menimpa kaum perempuan, akan tetapi juga kaum laki-laki.
Hampir seluruh negara di dunia, ketika menerapkan sistem yang jauh dari aturan Tuhan, maka masyarakatnya jauh dari sejahtera. Jika saja sejahtera diakibatkan dari ketidaksetaraan gender, maka seharusnya hari ini sudah tampak kesejahteraan yang diharapkan itu. Sebab telah sekian waktu solusi ini digadang-gadang dan selalu diagendakan sebagai solusi yang tepat menyelesaikan problem perempuan.
Ketidaksetaraan Gender = Mendiskriminasikan Aturan Agama
Sebenarnya agenda kesetaraan ini bukan semata untuk solusi bangsa Barat sendiri. Lebih jauh, kesetaraan ditujukan untuk menyeret kaum perempuan pada jurang kesengsaraan yang sesungguhnya. Bangsa Barat terutama musuh-musuh Islam berusaha keras menggelontorkan pemahaman kesetaraan pada bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia. Inilah sejatinya propaganda jahat kepada kaum muslim.
Untuk keberhasilan propaganda Barat, mereka memanfaatkan antek-anteknya yang ada di berbagai wilayah atau negara. Melalui merakalah agenda-agenda yang mengarah pada kesetaraan gender berhasil menembus negeri-negeri muslim.
Selain itu, upaya kesetaraan dilakukan hanya untuk memajukan sektor perekonomian. Perempuan dijadikan alat untuk menghasilkan uang semata. Terbukti strategi yang digunakan membuka akses sumber daya ekonomi seluas-luasnya dan pasar tenaga kerja, meningkatkan kewirausahaan, serta menghapus kekerasan pada perempuan.
Karena perempuan harus berdaya guna, ini menyebabkan mereka disibukkan bekerja di luar rumah. Akibatnya rumah tangga yang seharusnya menjadi perhatian, justru ditingkatkan. Dari sinilah munculnya berbagai persoalan dalam rumahnya.
Perempuan Butuh Solusi Paripurna
Dalam sistem sekular-liberal perempuan hanya dipandang sebagai komoditas saja. Pandangan ini jelas jauh dari sistem Islam yang memandang perempuan sebagai makhluk Tuhan yang harus dilindungi dan dimuliakan. Sayangnya sistem kapitalis-sekular telah menafikkan aturan tersebut dengan alasan agama membuat tidak setaranya perempuan dengan laki-laki.
Allah memuliakan perempuan dengan segenap aturanNya yang sangat lengkap lagi terperinci. Ada kedudukan, hak dan kewajiban masing-masing antara laki-laki dan perempuan dengan adil dan proporsional.
Perempuan wajib terjaga serta terjamin kehidupannya. Karena perempuan adalah sosok pendidikan pertama dan utama generasi penerus. Sehingga segala kehidupannya musti terjaga. Larangan dalam aturan Allah SWT. ditujukan semata untuk menjaga kehormatan para perempuan, bukan dalam rangka mengekang kebebasannya.
Laki-laki dan perempuan di hadapan Allah memiliki kedudukan yang sama yaitu ketaatan. Yang dinilai di hadapan Allah adalah ketaatan mereka kepada hukum-hukum Allah. Maka dari itu, Allah memberikan aturan yang komplit agar tidak tumpang tindih dalam kehidupan manusia. Laki-laki dengan hal dan kewajibannya dan perempuan juga dengan hak dan kewajibannya sesuai aturan syariat Allah. Hal ini sudah sesuai kodratnya manusia yang diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan.
Allah Swt., sebagaimana firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS An-Nisa [4]: 124).
Dalam sistem Islam negara juga menjamin kehidupan seluruh penduduk negeri yang meliputi jaminan keselamatan (nyawa), jaminan keamanan harta dan jaminan kehormatan.
Kebutuhan pendidikan dan kesehatan dijamin pula oleh negara tanpa membebani rakyat. Karena termasuk riayah (pelayanan) negara kepada rakyatnya. Hal ini akan membuat warga negara, terutama kaum laki-laki, waktunya akan terfokus pada pemenuhan kebutuhan nafkah dan untuk ibadah.
Demikian pula beban nafkah bagi laki-laki akan benar-benar diperhatikan negara dengan penjagaan sistem ekonomi yang baik yang sesuai aturan syariat. Perekonomian yang mensejahterakan rakyat dalam negeri negara Islam, bukan untuk kepentingan dan keuntungan para pemilik modal asing dan aseng. Jadi, kaum perempuan tidak harus berususah payah untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Jika semua berjalan dengan baik maka niscaya permasalahan perempuan dan seluruh manusia akan terselesaikan. Penderitaan manusia juga akan tersolusikan dengan baik. Wallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google