View Full Version
Senin, 03 Mar 2025

Kenapa Standar TikTok Bikin Kamu Kurang Bahagia?

 

Oleh: Alga Biru

Istilah "standar TikTok" merujuk pada fenomena netizen, terutama pengguna TikTok. Mereka punya standar tertentu meski pada hakikatnya ini semacam ilusi realitas akibat terpapar konten yang  terlalu idealis dan tidak realistis.

Orang yang termakan standar TikTok tertekan dengan ekspektasinya sendiri yang ia persepsikan akibat paparan konten-konten yang ditawarkan algoritma. Contoh kasus, seorang istri yang awalnya melayani suami  sepenuh hati. Ia dinafkahi lahir batin dengan baik alias aman-aman saja, tiba-tiba terusik ketika dihadapkan realita yang berbeda di TikTok.

Para influencer memamerkan pencapaian, kebiasaan dan kehidupan mereka yang hedon sebagai standar kebahagiaan personal. Seolah hidup belumlah hidup jika tidak mendapatkan jatah liburan ke luar kota atau bahkan ke luar negeri sekeluarga. Uang bulanan belasan juta dinilai masih kurang, dan harusnya seorang istri diberi keluasan finansial minimal segini dan segini, barulah dikatakan memenuhi standar jatah bulanan.

Akhirnya, para istri yang tidak memenuhi standar tersebut merasa terbodohi dan dimanipulasi suaminya. Mereka pikir hidup mereka  tidak normal, sebab kenormalan yang mereka lihat adalah kesempurnaan para influencer. Rumah tangga yang tadinya tentram berubah runyam dan banyak tuntutan.

Sebelum kita terbuai dengan konten provatif, edukatif maupun hiburan yang ada di TikTok atau media lainnya, ingat ya, tidak semua yang ditampilkan di konten itu nyata, utuh dan sebagaimana mestinya. Bisa saja ada bagian yang dilebih-lebihkan, dikurang-kurangi dan dirahasiakan demi reputasi. Lagipula, sangat naif bagi manusia manapun untuk membuka semua ruang pribadi dan eksistensinya di media sosial meski dia artis ternama sekalipun.   

Persepsi yang hadir ke benak seorang  yang gemar kepoin kesuksesan influencer cenderung bias dan tidak objektif. Bias konfirmasi (confirmation bias) terjadi tatkala orang percaya pada apa yang mereka percaya aja. Jika mereka merasa kurang sukses dan kurang beruntung, maka mereka pikir semua orang di media sosial lebih bahagia dan lebih berhasil hingga mereka menderita dengan perasaan tersebut.

Mereka merasa FOMO (Fear Of Missing Out) alias takut banget ketinggalan sesuatu yang baru dan cemas akan masa depan di kehidupan  yang serba cepat. Kecemasan demi kecemasan terus hadir hingga berdampak nyata pada fisik dan kehidupan nyata mereka.

Agar tidak terjebak dalam ilusi ini, penting untuk menyadari bahwa media sosial bukanlah representasi utuh dari kehidupan seseorang. Berpikirlah kritis atas opini dan fakta yang beredar. Jika terlalu berisik, maka kurangi waktu dan tenaga dalam berselancar di media sosial. Gunakan waktu untuk aktivitas  nyata yang memberi dampak langsung dalam kehidupan sehari-hari. Pada titik tertentu, media sosial bukan lagi ceruk inspirasi tetapi alat manipulasi, sumber distraksi dan cikal bakal seseorang mengalami anxiety atau isu kesehatan mental lainnya.

"Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS. Al-Hadid: 20).

Kehidupan  dunia hanyalah fana dan sementara, terlebih lagi apa yang ditampilkan seseorang di beranda maya. Jika bukan ilusi dan kefanaan maka sebagian lainnya adalah kejujuran yang tidak utuh. Jangan terjebak pada obsesi kesempurnaan demi terlihat luar biasa. Kebahagiaan adalah penerimaan kita atas takdir dan potensi yang Allah titipkan bagi kita detik ini. Nikmatilah waktu kini dengan kesadaran penuh dan apa adanya. Fokuslah pada tujuan akhirat yang lebih abadi. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version