Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan kita sebagai orang yang beriman. Segala puji bagi-Nya atas karunia besar menjadi pengikut Nabi Muhammad saw di saat banyak orang mengingkari risalahnya. Segala puji hanya layak untuk-Nya yang telah menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diterima di sisi-Nya.
Seseorang dikatakan mukmin hakiki bila ia memahami betul rukun iman, rukun islam, dan hakikat ihsan lalu menegakkannya. Ketiga fondasi itu bukan untuk sekedar dihapal layaknya anak sekolah dasar, namun untuk difa-hami dengan sungguh-sungguh. Bila pema-haman sudah benar, maka komitmen dalam menegakkannya pun akan lurus dan tidak me-nyimpang. Sebaliknya bila pemahaman terhadap tiga fondasi itu keliru, otomatis pene-rapannya pun akan keliru juga.
Untuk itulah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad saw. Tujuannya agar manusia hidup sebagai manusia dan berjalan sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Risalah ini yang akan membedakan dan meninggikan derajatnya atas makhluk Allah lainnya. Termasuk juga menyelamatkan manusia dari penyimpangan dan kesesatan. Semua itu hanya bisa digapai dengan keimanan sejati (iman hakiki) melalui petunjuk Nabi Muhammad saw.
Sejauh manakah kita mengenal kepribadian dan profil Nabi Muhammad saw?
Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Rasulullah itu menjadi teladan yang baik untuk kamu dan untuk orang yang mengharapkan mene-mui Allah di hari kemudian dan yang mengi-ngati Allah sebanyak-banyaknya." (Q.S. Al Ahzab [33]: 21). Kita tidak mungkin menjadi mukmin hakiki tanpa mengenal secara mendalam profil beliau. Sebab, hany dengan itu kita tahu bagaimana seharusnya mengamalkan agama Islam ini. Apa kita sama sekali belum tertarik untuk mengenal beliau lebih dekat? Apa mungkin karena kita menganggap hal itu tidak terlalu penting? Semoga saja tidak.
Sebagai seorang Muslim kita berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia terbaik yang pernah ada. Keyakinan ini sangat wajar. Para ulama salaf dan khalaf bersepakat atas hal itu. Namun ketika seorang penulis Barat bernama Michael H. Hart, yang notabene kafir secara fair dan objektif menilai demikian tentu sedikit aneh. Bahkan, ia menempatkan sosok Muhammad saw pada rangking pertama dalam 100 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. “Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi” Rilisnya.
Tidak ada alasan lagi untuk tidak mengenal Nabi kita. Setidaknya ada 3 cara sederhana tapi penting untuk mendekatkan diri dengan pribadi agung ini. Bila kita bisa penuhi, niscaya kita sudah mengenal Nabi kita.
Baca siroh/sejarah kehidupan beliau
Ini adalah pintu pertama bagi siapa saja yang ingin mengenal beliau lebih dekat. Seseorang bisa mengetahui sisi-sisi kehidupan seorang tokoh atau publik figur berdasarkan siroh/biografi hidupnya. Banyak juga di antara para tokoh itu menulis langsung sejarah hidupnya dalam bentuk autobiografi. Dengan itu pembaca akan mengetahui beberapa rahasia penting, alasan-alasan mereka melakukan beberapa keputusan controversial, bahkan hal-hal yang sifatnya pribadi sekalipun.
Berbeda dengan Nabi kita. Beliau tidak menulis sedikitpun catatan kehidupan beliau. Bukan karena tidak pandai, tapi karena beliau tidak bisa baca tulis (ummi). Memang saat itu bangsa Arab pada umumnya buta akan baca tulis tapi kecerdasan otak dan lekatnya hapalan mereka di atas rata-rata, terutama beliau sendiri Itulah keistimewaan beliau yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
Untuk langkah pertama, kita bisa melacak dan menelaah siroh beliau melalui kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama, baik itu kitab-kitab klasik maupun kontemporer.
Di antara kitab-kitab siroh klasik adalah as-Siroh an-Nabawiah karya Imam Abdul Malik bin Hisyam. Kitab ini terkenal dengan nama siroh Ibni Hisyam. Ada pula as-Siroh an-Nabawiah karya Imam Ibnu Katsir, Zadul Ma’ad karya Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziah dll. Ketiga kitab di atas dapat kita jumpai di toko-toko buku Islami. Adapun kitab-kitab kontemporer di antaranya ar-Rohiq al-Makhtum karya Syaikh Safiyurrahman Mubarakfuri, Fiqhu as-Siroh masing-masing karya DR. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dan DR. Muhammad al-Ghozali. Alhamdulilah saat ini kitab-kitab di atas sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia guna memudahkan para pembaca.
Memiliki referensi tentang diri Nabi saw amat penting. Menurut DR. Yahya Mahmud Salman, urgensi mengkaji siroh beliau bukan hanya mengetahui kepribadian beliau sebagai seorang utusan Allah SWT saja, namun lebih dari itu. Menurut DR Yahya dalam as-Siroh an-Nabawiah-nya, siroh Nabi saw juga memiki urgensi lain seperti:
- Mendeskrifsikan sosok Nabi saw sebagai teladan utama bagi manusia dalam setiap perkara
- Membantu memahami al-Qur’an dan mendalaminya. Karena banyak peristiwa penting pada masa Nabi saw menjadi asbab an-nuzul ayat-ayat al-Qur’an.
- Menjadi tsaqofah Islamiah baik yang berhubungan dengan akidah, hukum, dan akhlak.
- Menjadi modul dan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran bagi para dai dan pengajar. Karena Nabi saw adalah seorang murobbi dan ustadz yang ukses mentarbiah para sahabatnya.
- Menggambarkan kepribadian para sahabat dalam mengamalkan al-Qur’an.
Melalui siroh Nabi saw juga, kita akan mengenal beliau sebagai sosok unggul dalam segala bidang. Nabi saw adalah presiden bijak, panglima perang tangguh, orator ulung, manager professional, ahli ekonomi, sahabat sejati, suami romantis, ayah yang penyayang, dan kakek yang lucu. Dapatkah kita membayangkan ada tidak tokoh pada zaman ini yang memiliki kepribadian komplit sekaliber beliau? Jawabannya, tidak ada.
Teladani akhlak beliau
Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qolam 4)
Setelah Allah SWT memuji Nabi-Nya yang mulia seperti itu, apa artinya pujian kita. Betul sekali, beliau amat layak dipuji karena akhlak beliau yang rupawan seperti wajah beliau. Dan tidak salah karena beliau diutus untuk itu. Beliau bertutur, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”(HR. Malik, Ahmad dan Baihaqi).
Kenapa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia?
Saat itu bangsa Arab memiliki beberapa kelebihan dibanding bangsa-bangsa lainnya. Mereka amat teguh memikul amanah, menepati janji, jujur dalam bergaul, menghargai pemimpin, dan sebagainya. Tapi di sisi lain mereka gemar bertikai, hobi mabuk-mabukan dan be-rjudi, doyan zina, membunuh anak-anak pe-rempuan, dan segudang kebobrokan akhlak lainnya. Akhlak mulia itu tidak hanya bermoral di satu sisi tapi amoral di sisi lain. Tidak hanya berakhlak kepada sesama manusia tapi be-rakhlak terhadap sesama makhluk dan kepada Sang Pencipta juga. Inilah yang direkonstruksi semuanya oleh Nabi saw.
Akhlak mulia adalah bukti dan buah dari keimanan yang benar. Iman tidak berarti apa-apa jika tidak melahirkan akhlak. Hal ini disinyalir Nabi saw, “Iman bukanlah angan-angan, tetapi sesuatu yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan perbuatan.” (HR. ad-Dailami)
Akhlak yang mulia adalah implementasi berbagai bentuk ibadah dalam Islam. Tanpa akhlak, ibadah hanya menjadi ritual dan gera-kan yang tidak memiliki ruh dan nilai. Allah menekankan tentang shalat
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. al-Ankabut:45)
Rasulullah saw menegaskan, ”Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, ia menjadi semakin jauh dari Allah.” (HR. Thabrani)
Subhanallah, jika shalat itu belum bisa merubah dan menuntun kita, maka shalat baru sebatas olahraga. Kita sudah mengerjakannya, namun ia belum merubah akhlak kita.
Allah SWT berfirman tentang zakat. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan” (QS. at-Taubah:103)
Subhanallah, ternyata tujuan zakat adalah membersihkan diri dalam rangka proses perbaikan akhlak. Hanya dengan berzakat dan bersedekahlah rasa prihatin, empati, dan kasihan itu lahir. Setelah itu hati kita akan menjadi suci lagi bersih Di saat kita melihat orang susah, kita merasa prihatin. Saat melihat orang yang menderita, kita pun turut merasakan sakitnya.
Secara keseluruhan, ibadah-ibadah yang Allah titahkan mengandung pesan-pesan moral. Kita akan mudah menyelaminya bila kita mengkaji dan merenungi akhlak-akhlak Nabi kita. Setidaknya kitab Riyadus Sholihin karya Imam an-Nawawi atau Syamail al-Muhammadiyyah milik Imam at-Tirmizi bisa membantu. Bila kita memilih pembahasan yang lebih sederhana, buku Ustadz Amru Kolid, Akhlaq al-Mukmin (sudah diterjemahkan menjadi semulia akhlak Nabi) juga bagus. Silahkan baca dan renungilah buku-buku di atas, maka kita akan berdecak kagum pada Baginda Nabi saw dan mengenal siapa beliau sebenarnya.
Tujuan mempelajari akhlak Nabi saw diantaranya adalah menghindari pemisahan antara akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama dengan dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah urusan akhirat sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau ungkapan, ”Agama adalah urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka jangan heran terhadap seseorang yang beribadah, kemudian di lain waktu akhlaknya nggak bener. Ini merupakan kesalahan fatal. Kita pun sering menjumpai orang-orang yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak shalat. Ini juga keliru.
Islam menghendaki kita optimal dalam berakhlak dan beribadah tanpa memilah antara keduanya. Bila akhlak kita baik terhadap sesama tapi tak berakhlak dengan enggan beribadah pada Allah SWT, ini kurang ajar. Begitu pun sebaliknya. Yang demikian itu bukan wajah Islam tapi sekulerisme.
Diharapkan setelah membaca seputar akhlak Nabi saw, kita bisa meneladani beliau. Kemudian lihatlah diri kita! Berkacalah! Sejauh mana diri kita dibandingkan akhlak Nabi. Setelah itu lihat orangtua kita, saudara, anak dan keluarga kita pada umumnya! Sudahkah semuanya meneladani Rasulullah saw? Jika belum, kewajiban kita untuk sama-sama berubah.
Setelah membaca seputar akhlak Nabi saw, apapun profesi kita, berusahalah untuk meneladani beliau. Menjadi pemimpin, akh-aknya akhlak Nabi. Menjadi guru, akhlaknya akhlak Nabi. Menjadi mahasiswa dan pelajar, ikuti akhlak Nabi. Menjadi supir, akhlaknya akhlak Nabi. Bahkan menjadi pemulung dan pengamen sekalipun, akhlaknya harus seperti Nabi. Karena akhlak nabi itu bukan milik ulama, kiyai atau ustadz saja. Ia adalah milik umat. Milik kita semua.
Pelajari tata cara ibadah beliau
Ibadah dalam perspektif Islam adalah kepasrahan total dan merasakan keagungan Dzat yang disembah. Ibadah merupakan anak tangga yang menghubungkan makhluk dengan penciptanya. Di sisi lain, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ibadah memberi pengaruh yang sangat dalam ter-hadap pola hubungan antara sesama makhluk. Dalam Islam, semua sisi kehidupan adalah ibadah. Dan itulah makna yang bisa dipetik dari firman Allah, “Katakanlah: Sesunggu-hnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”(QS al-An’am:162)
Dalam ruang yang lebih spesifik, ibadah adalah rukun Islam yang lima. Kemudian ibadah terbagi tiga: Pertama, Ibadah badan berupa syahadat, shalat dan puasa. Kedua, ibadah harta dalam bentuk zakat. Ketiga, ibadah badan dan harta sekaligus berupa haji ke baitullah.
Selama ini apakah kita sudah mengenal bagaiman ibadah Nabi saw? Lalu sudahkah kita mempraktikkannya?
Bila ibadah ditunaikan bukan atas dasar ilmu, maka ia bisa mengancam eksistensi agama. Seperti yang diungkapkan Imam al-Ghazali bahwa perusak agama itu ada 4: Pertama, orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya. Kedua, orang yang beramal tanpa dasar ilmu sehingga ia lebih dekat dari pada bid’ah. Ketiga, orang bodoh yang tidak mau mencari ilmu. Dan keempat, orang yang membenci ahli ilmu.
Kita dapat mempelajari bagaimana tata cara ibadah Nabi saw melalui kitab-kitab yang ditulis para ulama. Dalam hal ini khususnya kitab-kitab fiqih. Kitab-kitab ulama kontem-porer yang membahas fiqih amat mudah ditemukan. Sebutlah misalnya Fiqhu As-Sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Ibadat karya Syaikh Hasan Ayyub atau ensiklopedi mini Islamnya Syaikh Abu bakar al-Jazairy yaitu kitab Minhajul Muslim. Kita bisa meningkatkan pemahaman akan shifat (tata cara) ibadah Nabi melalui kitab tersebut. Bisa jadi kita baru menyadari bahwa ibadah kita selama ini belum persis seperti apa yang dicontohkan Nabi saw.
Dari mulut Nabi saw tidak pernah terlepas untaian kalimat zikir dan doa. Setiap kesempatan dan keadaan. Dari bangun tidur sampai tidur kembai. Demikianlah bagi orang yang mencintai Tuhannya, ia pasti gemar menye-butnya. Bila kita hendak belajar mencintai Allah, ikutilah zikir-zikir dan doa-doa beliau. Kita dapat membacanya dengan memiliki al-Adzkar karya Imam an-Nawawi atau Hisnul Muslim karya Syaikh DR. Said al-Qohthoni. Untuk zikir pagi dan petang. Jangan lupa membaca al-Ma’tsurat yang dihimpun oleh Imam Hasan al-Banna. Kita pun boleh melafalkan doa yang dikarang oleh para ulama asalkan tidak menyakininya lebih baik dan mujarab dibandingkan doa yang diajarkan Nabi saw.
Setelah kita mempelajari salah satu dari kitab tersebut, bertanyalah kepada ulama mengenai hal-hal yang belum dimengerti. Karena dengan bertanya, ilmu akan bertambah. Selanjutnya hadirilah majelis-majelis ilmu yang membahas tema-tema keislaman terutama masalah akidah, ibadah, dan dakwah. Dengan itu kita bisa memerangi kebodohan dan keawaman kita. Bukankah menjadi orang awam dan bodoh itu tidak enak, Lalu kenapa banyak orang yang menikmatinya? Padahal akidah, ibadah dan dakwah adalah masalah prinsipil dalam agama Islam yang wajib diketahui oleh pemeluknya.
“Tak kenal maka tak cinta” demikianlah kata pepatah. Tidak mungkin orang mencintai Nabi saw, bila ia tidak mengenalnya lebih dekat. Mencintai Nabi saw berarti juga meneladani karakter dan kepribadiannya secara utuh. Mencintai beliau artinya melek terhadap syariat agama ini.
Menjadikan Maulid Nabi sebagai barometer kecintaan pada Nabi saw tidak tepat. Artinya, bagi yang merayakan Maulid disebut pecinta Nabi. Sebaliknya yang tidak merayakan, dianggap tidak cinta. Apalagi standar Ahlus Sunnah kerap dipakai oleh dua kelompok yang berseberangan. Ahlus Sunnah, ya Maulidan. Kelompok yang berbeda menyataan Ahlus Sunnah, ya tidak Maulidan. Seolah-olah Al-Wala dan Al-Bara-nya ditentukan dari perayaan Maulid saja. Bukankah di dalam kubur malaikat tidak akan pernah bertanya, ”Berapa kali anda merayakan Maulid?”
Adalah tugas kita semua, mencintai Nabi dengan jalan mengenal profil beliau lebih dekat. Tidak hanya di bulan Rabiul Awwal saja, tapi juga di bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan membaca dan meresapi siroh Nabi. Lalu meneladani akhlak beliau yang mulia dan beribadah sesuai dengan tuntunan beliau, insya Allah semua itu akan menghadirkan cinta sejati Allah SWT berfirman: “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron:31)
Wallohu a’lamu bisshowab
Habib Ziadi
Alumni Mahad An-Nu'aimy jakarta dan Ma'had Aly Isy karima Jateng
[muslimdaily.net]