Jum'at dini hari kemarin saya tiba di Petarukan hampir bersamaan dengan datangnya mobil ambulan yang membawa jezanah Dulmatin dari RS Polri Kramat Jati pada Kamis malamnya. Sekitar pukul 3 pagi mobil ambulan tersebut memasuki pasar Petarukan, karena rumah orang tua Dulmatin tempat dimana jenazah akan disemayamkan berada tepat didepan pasar Petarukan tersebut.
Ratusan pelayat pada pagi hari itu sudah datang, beberapa datang dari Solo, Pekalongan dan Kudus. Spanduk putih bertuliskan Ammar bin Usman Sovie Bukan Teroris Tapi Mujahid menyambut di tengah jalan. Pekikan takbir menggema di pagi hari itu menyambut peti jenazah yang digotong dari dalam mobil untuk dimasukkan ke rumah bercat hijau terang tersebut.
Setelah peti tiba didalam rumah dan dibuka keluarga dan kerabat Dulmatin dapat menyaksikan bagaimana kondisi jenazah. Pihak keluarga menyambut baik kedatangan para pelayat yang ingin menyaksikan dan mendoakan jenazah. Maka suasana didalam rumah pun menjadi sangat sesak dengan pelayat. Saya yang waktu itu ingin mendekat dan mencium jenazah agak kesulitan karena harus mengambil gambar dan foto diantara sesaknya pelayat. Akhirnya saya hanya mengambil foto saja secukupnya.
Secara sekilas, kondisi pada bagian wajah cukup baik, maksudnya tidak ada luka di wajah, kecuali di bagian bawah dagu sebelah kanan (kondisi jenazah para "teroris" lain yang pernah saya temui tidak seperti ini, dimulai dari Air Setiawan dan Eko Peyang, bagian muka mereka jelas remuk redam dengan luka tembak di jidat dan memar-memar lainnya, bagian belakang kepala jenazah jelas hancur dan ditutup dengan plastik semacam kresek. Pada Jenazah Urwah dan Adib Susilo yang kedua nya ditembak mati di Mojosongo akhir Ramadhan lalu juga sama, wajah dan bagian kepala mereka hancur total). Terdapat semacam luka tembak atau tusuk, tapi kenapa lukanya dari bawah? Bukanya Dulmatin gugur tertembak bukan di leher?
Dibawah kain kafannya tubuh jenazah dibungkus dengan plastik hitam, sayangnya saya tidak sempat membuka untuk melihat kondisi tubuh pada leher ke bawah, tapi saya dapat info kalau salah satu keluarga mempunyai foto kondisi tubuh bagian leher ke bawah yang mengatakan ada beberapa luka tembak teratur, mungkin akan saya tuliskan suatu hari nanti jika data itu sudah saya miliki. Pada kain kafan di bagian bawah sekitar kemaluan terdapat bercak darah yang masih basah, jadi saya kira darahnya masih mengalir, entah luka apa yang ada di bagian tersebut.
Akhirnya saya keluar dari rumah dan menunggu bersama pelayat lain sambil menunggu adzan Subuh. Setelah solat Subuh saya duduk-duduk di sekitar pasar bersama warga dan tetangga keluarga Dulmatin. Dari cerita rekan-rekan saya yang disitu mereka ngobrol dengan tetangga keluarga Dulmatin, tetangga tersebut mengatakan kalau keluarga Dulmatin ini sangat baik hubungannya kepada tetangga sekitar, keluarga Dulmatin kerap sekali memberi bantuan beras atau kebutuhan lainnya kepada tetangga yang membutuhkan. Keluarga Dulmatin dikenal sebagai keluarga yang cukup kaya. Bahkan keluarga ini mempunyai sebuah gedung cukup besar yang berada 1 km sebelum makam Dulmatin yang digunakan sebagai tempat sarang burung walet. Saya bisa mengira berapa penghasilan dari rumah penghasil sarang walet yang saya lewati saat berangkat menuju makam tersebut. Aneh memang, Dulmatin dari keluarga yang kaya tapi mengapa ia tinggalkan semua itu dan memilih berperang di Filipina, menjadi orang yang diburu Amerika, Filipina, Indonesia dan sekutu lainnya?? Hanya Dulatin yang bisa menjawab pertanyaan ini namun itu tidak akan terjawab lagi sebab orangnya sudah tidak bisa bicara.
Akhirnya, pukul 7 pagi hari Jum'at keranda hijau berisi jenazah Dulmatin diangkat keluar dari rumah dan digotong ribuan pelayat menuju Masjid Agung Petarukan yang jaraknya cukup jauh dengan berjalan kaki. Selepas disolatkan hingga beberapa gelombang jenazah dibawa ke pemakaman Dowo, Desa Loning, Petarukan, Pemalang yang berjarak sekitar 4 km dari rumah Dulmatin.
Sama sekali tidak ada suara penolakan-penolakan pemakaman, aneh memang. Disepanjang jalan ribuan warga desa menyambut iringan mobil pembawa keranda jenazah. Bahkan salah satu warga berkata " penyambutan ini melebihi datangnya presiden saja" dengan dialeg khas Pemalangan.
Benar memang, dilokasi pemakaman ribuan orang hadir disana, persis seperti saat saya datang di pemakaman Ali Ghufron dan Amrozi beberapa tahun lalu di Lamongan. Bahkan saya sampai kecapekan merekam proses pemakaman diantara desakan ribuan orang tersebut. Saya menunggu lama sekali setelah proses pemakaman selesai, niatnya untuk mengambil video clossing prosesi pemakaman. Tapi saya tunggu lama sekali, para pelayat tak kunjung sepi, mereka datang bergantian. Malah, setelah pelayat gelombang pertama meninggalkan kuburan, banyak orang datang dan duduk disamping kuburan melakukan ritual bid'ah dengan membaca Qur'an disamping kuburan. Sayang tidak ada yang mengingatkan dan mengusir mereka, sayapun sudah sangat kecapekan dan harus kembali ke mobil yang diparkir jauh sekali dari lokasi pemakaman. Sesaat sebelum saya beranjak dari makam, warga yang berada di pemakaman heboh berteriak-teriak sambil menunjuk langit di sebelah timur, ternyata ada "lagi-lagi" awan yang membentuk lafal Allah yang terlihat jelas, saya sudah duduk kecapekan dan menghidupkan kamera tapi saya hanya rekam kerumunan warga yang lagi heboh, tangan saya tidak kuat lagi mengangkat kamera untuk mengambil gambar awan tersebut.
Ada beberapa "Untold Story" yang insha Allah akan kami angkat mengenai jenazah Dulmatin ini, namun saya masih menunggu data-data pendukung.
Ibnu Fuad, Solo
[muslimdaily.net]